Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk
Aktivis prodemokrasi bersuara. Mereka menolak payung hukum yang mengancam demokratisasi di Indonesia. Produk hukum semacam ini bisa membuat demokrasi Indonesia di ujung tanduk.
”Ini belum disahkan! Kita masih bisa bersuara! Tunda demi semua!”
Seruan ini digemakan dalam aksi teatrikal oleh Semalam Theatre Group pada Minggu (15/9/2019), di Jakarta, sebagai perwakilan rakyat untuk menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dilakukan dengan terburu-buru. Aksi ini juga sebagai peringatan Hari Demokrasi Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jika RKUHP tetap dikebut dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 24 September 2019, KUHP sebagai produk hukum nantinya akan mengancam, bukan melindungi rakyat. Inilah yang membuat demokrasi Indonesia sedang di ujung tanduk.
Aksi teatrikal tersebut menampilkan bagaimana anggota DPR tidak peduli terhadap masukan masyarakat selama ini. Salah satu yang ditampilkan yaitu mengenai isu tindak pidana khusus bagi pencandu narkotika. ”Malang benar nasib para pengguna narkotika. Mereka sudah terjerat candu, masih pula dihukum ini itu. Padahal, yang mereka butuhkan itu rehabilitasi, bukan masuk bui,” ujar rakyat.
Anggota DPR pun menjawab, ”Mereka para pencandu narkotika itu harus dibuat geram dan ini sudah merupakan hukum yang bulat. Kita ada Pasal 611 sampai 616 yang menjadi tonggak utama dalam memberantas para pencandu narkotika. Kalau masalah rehabilitasi, itu bukan merupakan suatu hak yang harus dijamin. Salah sendiri kenapa kamu mau terjerumus.”
Baca juga : Problem Akut Partai Kita
Dalam kesempatan yang sama, Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi (Amuk) juga menyuarakan penolakan atas pengesahan RKUHP. Salah satu tolok ukur dalam peninjauan ulang keadaan demokrasi yaitu kebebasan dan partisipasi masyarakat sipil.
Perwakilan dari Amuk di antaranya Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana; perwakilan Aliansi Reformasi KUHP, Astrid Permata; Ketua Komisi Nasional Perempuan Azriana Manalu; perwakilan Gusdurian, Anita Wahid; Ketua Umum Serikat Buruh Nining Elitos; Ketua Divisi Advokasi YLBHI Arip Yogiawan; dan Direktur Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah.
Jika RKUHP tetap disahkan, kebebasan sipil akan semakin menurun karena masih banyak delik pidana yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM. Salah satunya, RKUHP masih mencantumkan pasal penghinaan terhadap presiden atau pasal haatzaai artikelen (penyebar kebencian) yang pada 2006 dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Kompas mencatat, padahal, saat merancang KUHP baru, pemerintah pernah menyatakan tak akan mencantumkan pasal haatzaai artikelen dalam RUU Hukum Pidana yang baru (Kompas, 7/8/1974). Jika pasal itu tetap dicantumkan, publik pun menilai terjadi sebuah kemunduran dalam pengaturan hukum pidana di negeri ini.
Sementara dalam aspek partisipasi publik, skema perumusan legislasi di parlemen dinilai tidak partisipatif, bahkan tertutup. Sebab, perumusan RKUHP yang minim dengar pendapat, perumusan RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba, RUU Sumber Daya Air tidak mengakomodasi kepentingan rakyat.
Bahkan, revisi UU KPK yang hingga saat ini masih dibahas oleh legislatif tanpa melibatkan pihak dari KPK. ”Dapat dikatakan, Indonesia sedang menggali kuburan kematian demokrasinya sendiri,” ujar Arif Maulana.
Tunda pengesahan
Arif menyatakan, konstitusi seharusnya menjadi rujukan pertama dari sebuah negara untuk menjalankan kekuasaan agar tidak menjadi sewenang-wenang. Namun, hukum telah menjadi alat kekuasaan bagi penyelenggara negara.
Baca juga : BJ Habibie dan Kebangkitan Demokrasi Indonesia
Laporan indeks demokrasi dari The Economist Intelligence Unit tahun 2018 menempatkan Indonesia di posisi ke-65 dari 167 negara di dunia, lebih rendah daripada Malaysia (52) dan Filipina (53). Artinya, kondisi demokrasi Indonesia masih tergolong demokrasi cacat. ”Keadaan ini ditandai dengan penurunan skor pada partisipasi politik, proses elektoral dan pluralisme politik, kebebasan sipil, rendahnya budaya politik, dan ketidakberfungsian pemerintah,” ujar Arif.
Menurut Arif, berbagai peraturan perundang-undangan saat ini lahir tanpa menggunakan dan memperhatikan partisipasi publik. Padahal, dalam negara demokrasi, kuncinya adalah kedaulatan di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal mutlak.
Maryati Abdullah pun menyoroti kondisi parlemen yang sangat terburu-buru dalam mempercepat beberapa revisi UU. Bahkan, partisipasi publik dalam perencanaan kebijakan publik, baik dari sisi legislasi maupun dari sisi pemerintahan, seolah tak diindahkan. ”Akses masyarakat untuk terlibat dalam memberikan masukan seharusnya terbuka guna menjaga transparansi dan akuntabilitas UU keterbukaan informasi. Namun, proses revisi UU kita itu upnormal,” ujar Maryati.
Pasalnya, jika RKUHP tetap dikebut dalam waktu tinggal sembilan hari lagi, proses demokrasi, khususnya dalam hal partisipasi publik, akan terbengkalai. Maryati menegaskan, RKUHP seharusnya dibahas oleh DPR mendatang agar perdebatan substansial dapat dilakukan.
Tak sesuai prosedur
Azriana Manalu menyampaikan, dikebutnya pembahasan RKUHP dan kemunculan pembahasan revisi UU KPK telah mengesampingkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang seharusnya menjadi prioritas pembahasan, bahkan harus segera disahkan.
”Revisi UU KPK sebenarnya, kan, tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional, tapi tiba-tiba muncul untuk dibahas dalam waktu singkat. Sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah masuk prolegnas prioritas sejak tahun 2016, tetapi tidak kunjung dibahas hingga saat ini. Korban kekerasan seksual pun terus berjatuhan,” ujar Azriana.
Keadaan ini mencerminkan bahwa negara telah membiarkan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak terlindungi secara utuh dengan sistem hukum yang berlaku. Para pelaku kekerasan seksual pun terus mendapatkan impunitas.
”Kita masih punya waktu. Selain meminta RKUHP ditunda, kita meminta pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual guna melindungi korban dan masyarakat yang berpotensi menjadi korban kekerasan seksual,” ucapnya.
Anita Wahid menegaskan, apabila pasal-pasal bermasalah tetap lolos, bukan tidak mungkin kita akan kembali pada masa Orde Baru. Jalur ini akan membuat kehancuran demokrasi. ”Apabila kita gabungkan pasal-pasal bermasalah itu menjadi satu, kita sedang mengarah ke arah pembatasan. Kita tidak lagi bisa bersuara jika pasal-pasal ini lolos. Kita tidak akan memiliki kebebasan untuk menjadi siapa kita,” ujar Anita.
Untuk itu, nilai-nilai demokrasi harus tetap diperjuangkan, yakni nilai kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, persaudaraan, dan pembebasan. Maka, pembahasan RKUHP harus ditunda dan revisi UU KPK dihentikan.