Jiwaku Bergetar di Laos
Saya gowes dulu sejauh 17 kilometer dari hotel. Di titik itu, saya berhenti sejenak kemudian menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” dan ”Padamu Negeri” serta diakhiri dengan memekikkan yel merdeka sebanyak tiga kali.
Hari Ulang Tahun Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, Kamis, 17 Agustus 2023, ini sungguh istimewa untuk saya. Baru pertama kali saya merayakannya di luar negeri. Di Laos pula. Semakin seru lagi saya berada di Laos melalui bersepeda dari Jakarta dalam perjalanan menuju Paris. Ini momentum yang langka. Mungkin terjadi hanya sekali dalam hidup saya.
Pagi harinya, saya memperingati HUT RI ini dengan acara yang sangat sederhana.Saya gowes dulu sejauh 17 kilometer dari hotel. Di titik itu, saya berhenti sejenak kemudian menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” dan ”Padamu Negeri” serta diakhiri dengan memekikkan yel merdeka sebanyak tiga kali.
Baru kali ini saya merayakan HUT RI seperti ini. Bertahun-tahun sejak sekolah hingga berdinas sebagai polisi, peringatan kemerdekaan RI saya lalui dengan kemeriahan, penuh sukacita dan dihadiri oleh banyak orang.
Tahun ini saya melakukan seorang diri. Di tepi Sungai Mekong pula. Sungguh terharu dan menggetarkan jiwa! Saya tetap menjadikan momentum ini untuk memompa sekaligus membakar semangat sehingga terus laju mengayuh sepeda hingga di Paris sesuai rencana.
Setelah itu, saya melanjutkan mengayuh sepeda menuju golden triangle sejauh 60 kilometer. Di sana, ada titik di mana Sungai Mekong yang mengalir dari utara membelok ke barat. Lengkungan itu berada di barat laut Laos, timur Myanmar dan utara Thailand. Di titik itulah menjadi kawasan perbatasan Thailand, Laos, dan Myanmar. Wilayah ketiga negara ini hanya dipisahkan oleh Sungai Mekong.
Sungai Mekong berhulu di Tibet. Dari sana, airnya mengalir melewati Yunnan (China) terus menuju ke Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan Vietnam dengan panjang kurang lebih 4.350 kilometer. Termasuk salah satu sungai terpanjang di dunia. Sungai Mekong juga memiliki wilayah jangkauan seluas 795.000 kilometer persegi.
Disebut golden triangle karena di masa lampau merupakan segitiga emas perdagangan opium. Kabarnya kawasan pegunungan di wilayah itu merupakan penghasil opium terbesar di dunia, sekitar 75 persen. Buah opium merupakan bahan baku morfin dan heroin.
Di sana ada museum opium. Ada pula tugu perbatasan ketiga negara serta patung Buddha raksasa. Hal itu menjadi daya tarik bagi wisatawan. Pengunjung terbanyak berasal dari China.
Saat ini, di Golden Triangle Laos dibangun kota baru yang lebih modern. Ada banyak hotel berbintang dan apartemen. Investor terbanyak juga dari China. Pembangunan kota masih terus berlangsung.
Meski demikian, posisi golden triangle ini boleh dibilang masih tergolong pelosok Laos. Itu sebabnya, kondisi jalan raya menuju wilayah tersebut cukup minim. Di mana-mana masih dijumpai kerusakan jalan. Masih ada jalan tanah sehingga saat hujan menjadi becek dan saat musim panas sangat berdebu. Kondisi ini diperparah lagi dengan di kiri dan kanan jalan pun belum dilengkapi saluran air.
Dalam perjalanan dari golden triangle menuju penginapan, saya menghadapi hujan cukup lebat. Saya memilih tetap gowes meski menghadapi kondisi yang becek.
Cycling to Save the Earth Royke Lumowa
Sistem kanan
Saya memasuki wilayah Laos pada Selasa, 15 Agustus 2023, pagi. Hari itu, sejak pukul 04.30, saya bersepeda dari kota Chun dan tiba di pintu perbatasan Chiang Khong (Thailand)-Huay Xai (Laos) lebih kurang pukul 10.00.
Sebelum memasuki area border, saya dan kru sempat menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” dan mendengarkan lagu kebangsaan Thailand via telepon genggam. Ini sebagai tanda kami resmi akan meninggalkan Thailand dan melanjutkan petualangan ke negara berikutnya, yakni Laos.
Proses pelaporan di imigrasi dan bea cukai Chiang Khong berjalan lancar. Pintu batas negara pun dibukakan untuk kami, dan langsung menghadapi jembatan Sungai Mekong yang membelah garis perbatasan wilayah Thailand dan Laos.
Lebar Sungai Mekong di perbatasan Thailand dan Laos ini tergolong cukup pendek: hanya sekitar 15 meter. Selepas sungai, kami langsung berada dalam border Laos, yakni kawasan Huay Xai untuk melapor diri: dilakukan cap paspor di imigrasi, lalu cap dokumen untuk mobil pengiring pada bea dan cukai setempat. Prosesnya berjalan lancar dan tidak memakan waktu lama sehingga pukul 11.15 sudah keluar dari border Laos. Laos menjadi negara kelima yang saya singgahi.
Begitu memasuki wilayah Laos, kami pun langsung diarahkan melewati jalur sebelah kanan. Hal itu terjadi karena lalu lintas di Laos menerapkan sistem kanan, berbeda dengan Indonesia yang menggunakan sistem kiri. Sistem lalu lintas di Laos sama seperti di Eropa. Jadi, selama di Laos bisa menjadi kesempatan belajar untuk menyiapkan diri menghadapi sistem lalu lintas di Eropa.
Kami inap pada salah satu penginapan yang letaknya tidak lebih dari 1 kilometer dari border, tetapi masih dalam kota Huay Xai. Total perjalanan hari itu sekitar 115 kilometer, tetapi saya memutuskan gowes hanya sampai di kilometer 80.
Selanjutnya loading, sebab pukul 14.00 saya harus menghadiri acara keluarga di rumah saya di Jakarta secara virtual. Puji Tuhan semuanya berjalan lancar dan aman. Waktu di Laos sama dengan waktu Indonesia bagian barat dan Thailand.
Suasana lalu lintas di Huay Xay ini cukup mengagetkan juga. Di banyak titik terdapat kerusakan jalan. Sampah banyak berserakan di tepi jalan. Para pengendara sering melawan arus. Hal seperti ini sama sekali tidak dijumpai selama perjalanan dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Maka, begitu menyaksikan kenyataan ini di Laos membuat saya cukup kaget juga sebab jauh di bawah ekspektasi saya. Ada perbedaan yang sangat menonjol di wilayah Laos dan Thailand. Di wilayah Thailand, meski jauh dari perkotaan, daerah-daerah itu tertata rapi dan bersih. Masyarakatnya bersahaja dan memiliki disiplin tinggi dalam berlalu lintas.
Rabu, 16 Agustus 2023, saya memanfaatkan waktu ini untuk pemulihan fisik. Saya istirahat total di penginapan. Hanya tidur dan makan.
Penginapan di Huay Xai ini cukup bagus. Tarifnya sekitar Rp 500.000 per malam jika dalam kurs rupiah. Jika dibandingkan dengan fasilitas kamar, harga ini sangat murah. Di Indonesia, fasilitas kamar seperti ini mungkin harganya lebih mahal.
Tanjakan di utara Thailand
Perjalanan dari Bangkok menuju ke utara Thailand memang menarik. Misalnya, dari Noen Sawan menuju Hat Kruat pada Sabtu, 12 Agustus 2023, sejauh 164 kilometer. Ruas jalan yang ada lebar. Setiap jalur selalu memiliki tiga lajur utama ditambah bahu jalan. Jalan sejauh 164 kilometer itu pun beraspal mulus.
Bahkan, di setiap kawasan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) dilengkapi dengan kafe dan restoran, mirip seperti rest area jalan tol di Indonesia. Saya pun berhenti beberapa kali untuk istirahat sejenak dan makan sebab di jalur ini jarang tersedia warung di tepi jalan.
Sekitar pukul 16.00, saya sudah masuk penginapan di Hat Kruat. Waktu tiba lebih cepat sebab saya memulai bersepeda sejak pukul 04.30 seperti yang dilakukan hari-hari sebelumnya. Hat Kruat berada di Distrik Mueang Uttaradit, Provinsi Uttaradit.
Hari berikutnya, Minggu, 13 Agustus 2023, dalam rute Hat Kruat menuju Song, Provinsi Phray, sejauh 123 kilometer, saya beberapa kali melewati tanjakan dengan total ketinggian (elevation gain) mencapai 654 meter. Kondisi jalan pun beraspal mulus. Rambu lalu lintas pun terpasang di mana-mana.
Masyarakat Thailand tergolong sangat disiplin dan patuh terhadap peraturan lalu lintas. Itu sebabnya jarang terjadi kecelakaan lalu lintas. Antara pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas memiliki korelasi yang erat. Setiap kecelakaan umumnya didahului dengan pelanggaran. Maka, kalau tidak ada pelanggaran, otomatis takkan terjadi kecelakaan lalu lintas.
Yang menarik di pagi itu adalah saya menikmati pemandangan persawahan yang luas dan menarik. Ada para petani sedang menuju sawah. Suasana ini mirip seperti di Bali atau Jawa Tengah.
Tidak lama kemudian tampak ada rambu lalu lintas yang mengingatkan akan adanya tanjakan. Benar saja, tidak jauh dari situ mulai ada tanjakan. Jaraknya sekitar 1 kilometer dengan kemiringan sekitar 10 derajat.
Memang tidak berat jika dibandingkan dengan banyak tanjakan di Indonesia, seperti arah Kintamani di Bali atau ke puncak Bogor. Namun, selama bersepeda dari Singapura, lalu Malaysia dan selatan Thailand, saya tidak pernah menghadapi tanjakan sehingga kondisi ini perlu dihadapi dengan bersemangat tinggi.
Saya sungguh menikmati perjalanan ini. Saat melewati tanjakan itu, saya menikmati suhu udara yang sangat sejuk. Tampak pemandangan perbukitan dan keindahan alam khas dataran tinggi yang menyegarkan mata.
Meski jaraknya sudah cukup jauh dari Bangkok, penataan jalan tetap bagus. Jalan tanjakan dipapas agar kemiringannya tidak tinggi. Tebing dipangkas, lekukan-lekukan dibikin lurus, dan jurang dibangun jembatan. Singkatnya, kondisi jalan dibuat sedemikian rupa agar nyaman bagi para pengendara sehingga terhindar dari kecelakaan lalu lintas.
Siang itu, saya kesulitan mendapatkan warung di tepi jalan. Yang ada tetapi lokasinya agak jauh. Sementara saya mulai lapar. Apalagi saya memulai gowes pada pukul 04.30 demi efisiensi tenaga sehingga tidak terkuras habis akibat paparan panas mentari di siang hari.
Menjelang tiba di Song, kami menemukan sebuah restoran Eropa yang berada di tengah sawah. Kami makan di situ. Pemiliknya adalah suami-istri yang pernah bersekolah kuliner di Swiss. Dalam hamparan cukup luas itu, mereka memelihara sapi Australia dalam kandang.
Daging yang disajikan dalam restoran ini diambil dari sapi yang dipelihara. Pasangan ini juga menjadi tukang masak sekaligus pelayan. Makanannya enak dan lezat. Cocok sekali dengan lidah orang Indonesia.
Tiba di Song masih siang. Kami akhirnya memutuskan mengunjungi rumah milik salah seorang pesepeda asal Song bernama Fo yang saya jumpai saat menjajal jalur sepeda (Sky Line) Suvarnabhuni di Bangkok. Saat itu, kami berkenalan dan Fo memberikan alamat rumahnya di Song dan mengharapkan saya mengunjungi rumah yang dihuni ibunya.
Kebetulan 12 Agustus merupakan hari libur nasional di Thailand. Tanggal itu adalah hari ulang tahun permaisuri raja Thailand sehingga ditetapkan sebagai hari ibu, yang dijadikan sebagai hari libur nasional. Fo memutuskan mudik saat liburan tersebut sehingga meminta saya mengunjungi rumahnya saat berada di Song.
Sore itu, saya dan kru pun mengunjungi rumah ibunda Fo di Desa Bhan Nun Thai. Begitu tiba di rumah, Fo sudah ada bersama ibunya. Mereka menerima kami dengan sangat ramah dan bersahaja. Mereka menaruh rasa hormat sebab saya memenuhi janji untuk mengunjungi rumah sang ibunda.
Fo sempat mengajak saya mengunjungi sebuah bendungan di desa itu yang bernama Nam Mai. Bendungan tertata bagus dan indah. Airnya bersih. Air dari bendungan itu juga dialirkan ke permukiman, perkantoran, dan lain sebagainya, selain untuk persawahan. Bendungan ini juga selalu dikunjungi wisatawan.
Song sebetulnya kota kecil. Tidak banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang, tetapi tersedia lampu lalu lintas. Warga setempat pun sangat patuh terhadap peraturan lalu lintas. Jika lampu merah, pengendara sepeda motor pun berhenti. Kondisi ini jauh berbeda dengan di Indonesia.
Tunggu jadwal masuk China
Hari berikutnya, Senin, 14 Agustus 2023, saya mengayuh sepeda dari Song menuju Chun, Phayau, sejauh 124 kilometer. Rute hari ini cukup berat sebab melewati tanjakan yang lebih banyak lagi. Total ketinggian mencapai 1.208 meter atau dua kali lipat dibandingkan sehari sebelumnya.
Saya memutuskan berangkat lebih pagi juga, yakni pukul 04.30. Sepanjang perjalanan menghadapi hujan cukup lama. Saya terus mengayuh, terus melaju. Jalan naik dan turun yang berkali-kali tidak menjadi penghalang. Beberapa kali menghadapi turunan yang langsung diikuti turunan panjang sehingga tidak banyak menguras tenaga. Malah membuat waktu tempuh lebih cepat. Saya tiba di Chun sekitar pukul 14.00.
Kali ini saya mendapatkan penginapan yang kurang begitu nyaman. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya di mana penginapan sederhana tetapi suasana di dalamnya terasa nyaman.
Di penginapan itu, saya melihat dua anjing yang lucu. Sebagai penyuka anjing, saya senang sekali dan sempat bermain dengan kedua anjing tersebut.
Malam hari saat menjelang tengah malam, salah satu anjing menggonggong keras sekali. Posisinya tidak jauh dari kamar saya. Terasa sangat mengganggu.
Akhirnya, saya pun keluar kamar dan meminta anjing itu berhenti menggonggong. Ternyata dia patuh juga. Dalam hati saya berkelakar, jangan-jangan anjing itu mengerti juga bahwa orang yang memintanya berhenti menggonggong adalah orang Manado. Dia khawatir juga kalau bandel, ha-ha-ha....
Saya masih bertahan cukup lama di Laos sebelum masuk ke China. Selama beberapa hari ini saya bakal bersepeda ke sejumlah tempat. Namun, saya tidak mengunjungi kota Vientiane, ibu kotaLaos, sebab jarak dari Huay Xai sekitar 650 kilometer.
Saya akan masuk China melalui border Boten di utara Laos, lalu menuju wilayah Mohan, Yunnan, China. Jarak dari Huay Xai menuju Boten 221 kilometer atau gowes selama dua hari. Sesuai jadwal, saya baru diizinkan masuk wilayah China pada 22 Agustus 2023 pukul 09.00.