Memecah Misteri Hari Lahir KPU
Pemilihan Umum di Indonesia sudah digelar sejak tahun 1955. Namun, sampai saat ini, hari lahir lembaga penyelenggara pemilu masih menjadi misteri.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F09%2F15%2Fe4677b89-a694-448f-ae7f-0e6e3481d2dd_jpg.jpg)
Gedung Komisi Pemilihan Umum di Menteng, Jakarta Pusat.
Berawal dari pencarian hari lahir Komisi Pemilihan Umum, mantan komisioner KPU, Viryan Azis, justru menemukan data dan literatur menarik mengenai perjalanan panjang demokrasi di Nusantara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, praktik demokrasi ternyata telah diterapkan di berbagai daerah. Ini bukti bahwa demokrasi telah hidup dan menjadi ideologi yang berkelanjutan di Indonesia.
Baru seminggu Viryan Azis menuntaskan masa baktinya sebagai komisioner KPU periode jabatan 2017-2022. Namun, Viryan telah berhasil menelurkan buah pikirannya selama tiga tahun dalam bentuk buku Asal-usul Manajemen Pemilu Indonesia. Buku itu disusun di sela-sela kesibukannya di Divisi Data dan Informasi KPU.
Saat peluncuran buku, Senin (18/4/2022), Viryan mengatakan, buku tersebut memang disusun dari pertanyaan awal tentang misteri hari lahir Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari pertanyaan awal itu, Viryan menelusuri data dan literatur tentang penyelenggaraan pemilu. Ternyata, hasilnya cukup mengagetkan. Dia mendapatkan banyak harta karun informasi, tidak sekadar hari lahir penyelenggara pemilu. Lebih jauh, dia menemukan praktik demokrasi yang sebenarnya sudah hidup dan mengakar di budaya bangsa ini.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F02%2F22%2Fd88a74cf-9229-44e4-bbf7-ec98e05436e4_jpeg.jpg)
Anggota KPU, Viryan Aziz, di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (22/2/2019).
”Praktik-praktik dan jejak demokrasi tua di Nusantara sebenarnya sudah ada sejak masa lampau. Misalnya, masyarakat Minahasa yang mulai mempraktikkan musyawarah pinawetengan atau musyawarah kesepakatan pembagian daerah,” kata Viryan.
Di wilayah Sumatera, tepatnya masyarakat Minangkabau, juga mempraktikkan demokrasi tua sejak abad XIV hingga XVI. Masyarakat Minangkabau kala itu mengambil keputusan berdasarkan logika dan keadilan. Dua hal itu menjadi posisi teratas dalam pengambilan sikap dan keputusan dalam tradisi demokrasi di Minangkabau.
Kemudian, beranjak setelah Indonesia merdeka di tahun 1945, upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis pun terus diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dengan berbagai cara.
Dalam Bab IV buku yang ditulis Viryan Azis itu disebut pula bahwa tahun 1946 ada desakan dari Partai PNI (Partai Nasionalis Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), dan Masyumi untuk membentuk lembaga perwakilan rakyat dengan cara pemilu. Dari usulan itu kemudian lahir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1946 tentang Pembaharuan Komite Nasional Pusat (KNP). UU ini mengatur tentang komposisi keanggotaan KNP yang terdiri dari 200 orang dan terbagi dalam tiga kelompok dengan pola rekrutmen berbeda. Rinciannya, 110 orang ditetapkan menurut pemilihan daerah, 60 orang merupakan wakil-wakil perkumpulan politik, dan 30 orang lainnya ditunjuk oleh presiden.
Praktik-praktik dan jejak demokrasi tua di Nusantara sebenarnya sudah ada sejak masa lampau. Misalnya, masyarakat Minahasa yang mulai mempraktikkan musyawarah pinawetengan atau musyawarah kesepakatan pembagian daerah.
UU No 12/1946 juga mengatur bahwa pelaksanaan pembentukan KNP baru dilakukan oleh Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat (BSP-KNP). Keanggotaan BPS terdiri atas wakil partai politik dan wakil daerah yang diangkat oleh Presiden. Masa kerja BPS selama lima tahun.
Anggota BPS diangkat kali pertama berjumlah sembilan orang. Mereka terdiri dari Soepeno dari Partai Sosialis (anggota merangkap ketua), Mr Soejono Hadinoto Brotokoesoemo (Partai Kedaulatan Rakyat Indonesia), Boerhanoeddin Harahap (Partai Masyumi), Sjamsoedin Soetan Makmur (Partai Nasional Indonesia), dan RAJ Djoepri Nitimihardjo (Partai Katolik Republik Indonesia). Selain itu ada Moechasim Hadiprabowo dari daerah Sunda Kecil, A Tahya (Maluku), Manai Sophian (Sulawesi), dan Goesti Abdoel Moeis (Kalimantan).
Meskipun BPS selaku penyelenggara pemilu telah terbentuk, pemilu urung dilaksanakan karena terjadi agresi militer Belanda. Selain itu, dinamika politik nasional juga memanas. Hasil perundingan Linggarjati antara Pemerintah Indonesia dan Belanda kala itu juga memberikan dampak teknis. Ini karena wilayah Indonesia berubah secara de facto menjadi Jawa, Madura, dan Sumatera.
Usulan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis kembali disuarakan pada tahun 1948. Melalui UU Nomor 27 Tahun 1948, nama penyelenggara pemilu diubah dari BPS menjadi Kantor Pemilihan Pusat (KPP). Jumlah anggota KPP diatur paling sedikit lima orang anggota dan tiga orang wakil anggota dengan masa kerja satu periode selama lima tahun. Pengangkatan dan pemberhentian anggota KPP dilakukan oleh presiden. Sama seperti BPS dan KNP, KPP juga gagal menyelenggarakan pemilu tidak langsung.

Pemilu 1955
Akhirnya, pemilu nasional pertama baru digelar oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) pada 1955. Pemilu pertama itu dilakukan untuk memilih DPR dan Dewan Konstituante secara langsung.
PPI merupakan penyelenggara pemilu pengganti KPP yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1953. PPI diketuai oleh S Hadikusumo dan Rustam Sutan Palindih sebagai wakil ketua. Anggota adalah Sudarnadi, Surjaningprojo, Sudibjo, Sofjan Siradz, Soemarto, Hartojo, dan Asrarudin. Mereka bertugas selama empat tahun.
Pengaturan tahapan pemilu yang disusun PPI hingga kini masih menjadi kerangka dasar tahapan pemilu. Manajemen Pemilu 1955 juga dinilai sebagai wajah otentik demokrasi Pancasila secara elektoral. Pemilu 1955 diikuti oleh seluruh pendiri negeri dengan partainya dan berlangsung sangat demokratis dan berintegritas. Saat itu, tak ada penolakan hasil pemilu oleh peserta pemilu yang kalah.
Baca Juga: Pemilu 1955, Pembelajaran dari Era Partai Ideologis
Pemilu nasional berikutnya diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Lembaga yang menempati kantor sejak tahun 1982 berkantor di Jalan Imam Bonjol 29, Jakarta, itu menyelenggarakan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, hingga 1999.

Setelah amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001, barulah KPU dibentuk. KPU didesain menjadi lembaga penyelenggara pemilu yang independen, mandiri, dan bersifat nasional. Sejak 2004 hingga kini, pemilu diselenggarakan oleh KPU.
Baca Juga: Misteri Hari Lahir KPU
Sejarawan Anhar Gonggong mengapresiasi buku yang ditulis Viryan. Buku ini disebut sebagai buku pertama yang mengulas mengenai sejarah demokrasi dan manajemen pemilu di Indonesia. Buku dianggap berhasil menelusuri pencarian proses awal bangsa Indonesia mencari cara dalam kehidupan berdemokrasi. Secara tradisi, ternyata demokrasi lekat dengan kehidupan kerajaan di Nusantara. Di Wajo, Sulawesi Selatan, misalnya, tak mudah seseorang bisa menjadi raja karena harus melakukan pemilihan. Calon raja dipilih oleh kaum ningrat dari sekitar 40 kandidat.
”Ini menunjukkan bahwa para pemimpin kita di masa lampau, sebelum kita mencapai kemerdekaan, sejak awal kita sudah ada semangat untuk membangun pemerintahan secara demokratis,” kata Anhar.
Selain itu, sisi menarik buku ini menurut Anhar adalah para pemimpin pendahulu tidak pernah berhenti berupaya untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Soekarno sempat disebut sebagai presiden diktator dengan sistem pemerintahan demokrasi terpimpinnya. Namun, saat itu, dia ditentang oleh militer yang menuntut untuk segera membubarkan parlemen. Namun, Soekarno menolak membubarkan parlemen karena dia menyebut dirinya sebagai seorang demokrat.

Sejarawan Anhar Gonggong
”Soekarno saat didemo oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution di tahun 1952 menyatakan bahwa, jika parlemen dibubarkan, TNI juga akan dibubarkan. Soekarno tegas menyebut tidak akan melakukan tuntutan karena dia adalah seorang demokrat,” kata Anhar.
Pengajar di FISIP Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti, juga sependapat, dia menilai buku yang ditulis Viryan sangat menarik karena perspektif sejarah yang digunakan. Berbekal pengalaman selama hampir 20 tahun sebagai anggota KPU di daerah dan pusat, Viryan dinilai memiliki modal sosial untuk meneliti isu tersebut secara mendalam. Viryan juga mampu melacak ke belakang, dari akar sejarah lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.
”Buku ini sangat menarik, saya tidak bisa berhenti membacanya karena saya suka sejarah. Ternyata, pengaturan asas-asas manajemen pemilu yang kita gunakan saat ini di demokrasi modern sudah ada bibitnya sejak masa lampau,” kata Valina.

Pengajar di FISIP Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti, seusai menandatangani pakta integritas di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Di Minahasa, Sulawesi Utara, misalnya, sejak tahun 1919 sudah menggunakan sistem pemilihan anggota dewan seperti pemilu modern. Ada alat rekayasa politik untuk mengubah suara dalam bentuk kursi-kursi. Ada pula istilah tempat pemungutan suara yang sudah dipakai sejak dulu, hingga pemungutan dan penghitungan suara yang selalu dilakukan dalam satu hari.
Meskipun sampai saat ini hari lahir KPU belum ditetapkan, setidaknya pencarian mengenai tanggal itu telah menuntun Viryan menemukan warisan sejarah demokrasi bangsa yang amat berharga.