Kendaraan Listrik di Indonesia: Kilas Balik, Regulasi, Tantangan, dan Strategi Percepatan
Kendaraan listrik berbasis baterai akan terus dikembangkan dan dilakukan percepatan produksinya di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia juga menargetkan menjadi pemain utama industri kendaraan listrik di kancah dunia. Kendaraan listrik lebih ramah lingkungan jika dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak maupun solar.
Sejak tahun 2019, Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan implementasi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Pemerintah mendorong ekosistem ini karena Indonesia memiliki potensi besar untuk menciptakan kendaraan listrik.
Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya nikel yang melimpah, yang merupakan modal dasar bagi pembangunan industri baterai. Indonesia juga kaya akan sumber daya mineral, seperti bijih besi dan aluminium yang mampu mendorong peningkatan investasi di sektor otomotif. Karena itu, transportasi berbasis baterai bisa menjadi sebuah alternatif dalam kebutuhan transformasi energi.
Mobil listrik digadang-gadang bisa menjadi salah satu solusi menekan ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, dalam beberapa dekade terakhir, defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) menjadi sebuah persoalan.
Selama 10 tahun terakhir, produksi minyak bumi di Indonesia menunjukkan penurunan dari 346 juta barel atau 949 ribu barel per hari pada 2009 menjadi sekitar 283 juta barel atau 778 ribu barel per hari pada 2018, berdasarkan data Outlook Energi Indonesia 2019 oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Penurunan itu disebabkan produksi utama minyak bumi bersumber dari sumur-sumur tua, sedangkan produksi sumur baru relatif masih terbatas.
Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan bermotor pada 2019 mencapai 133,6 juta unit, naik sekitar 7,1 juta unit dibandingkan pada 2018.
Meningkatnya kebutuhan energi termasuk di sektor transportasi membuat cadangan sumber energi fosil Indonesia kian menipis, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor terus bertumbuh dari tahun ke tahun.
Dengan beralih menggunakan energi listrik untuk kendaraan, ketergantungan impor BBM bisa dikurangi sekaligus meningkatkan pemanfaatan energi lokal sebagai pembangkit. Energi listrik juga disebut lebih murah bila dibandingkan BBM.
Selain itu, kebijakan kendaraan listrik nasional juga didorong oleh kepedulian terhadap isu-isu lingkungan, antara lain pencemaran udara terutama akibat emisi gas buang dan kemacetan di kota-kota besar, serta isu perubahan iklim dan pemanasan global.
Polusi udara ikut terkatrol ketika pertumbuhan kendaraan dan pemakaian BBM terus meningkat. Dengan energi listrik, penggunaan bahan bakar yang sumber dari fosil dapat dikurangi karena lambat laun cadangan bahan bakar tidak terbarukan itu bisa saja habis.
Mobil listrik dianggap sebagai moda transportasi masa depan dan ramah lingkungan yang dapat membuat bumi bebas dari polusi udara, karena tidak mengeluarkan emisi gas dari dalam kendaraan.
Kilas balik pengembangan kendaraan listrik
Pengembangan mobil listrik di Indonesia sejatinya sudah lama diusahakan kendati mengalami pasang surut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bisa dibilang lebih dulu melakukan riset pengembangan mobil listrik. Sejak 1997, LIPI mengembangkan mobil listrik untuk digunakan di kalangan terbatas.
LIPI berhasil membuat prototipe mobil listrik nasional. Pada 2001, hasil penelitian Masrah mulai memperlihatkan hasilnya dengan membuat prototipe mobil listrik dengan penggerak roda belakang. Pengembangan mobil listrik yang dijuluki Marlip (Marmut Listrik LIPI) itu dilakukan di Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik (Telimek) LIPI.
Setelah itu, pengembangan kendaraan listrik mulai serius dilakukan lagi sejak tahun 2012 dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, Dahlan Iskan yang menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dipilih sebagai koordinator pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.
Dahlan kemudian meminta kepada Ricky Elson, seorang anak muda Indonesia yang ahli di bidang motor listrik, untuk mengembangkan mobil listrik buatan Indonesia. Ricky adalah salah satu pemuda Indonesia yang telah memiliki 13 hak paten internasional atas mobil listrik di Jepang.
Berkat kepercayaan yang diberikan oleh Dahlan Iskan, Ricky membalasnya dengan kehadiran tiga buah mobil bertenaga listrik pada 2014. Mobil listrik pertama bernama Tucuxi. Namun sayangnya mobil itu dicap gagal. Remnya blong saat uji coba yang dilakukan langsung oleh Dahlan Iskan.
Kegagalan itu mendorong Ricky menciptakan dua mobil lainnya, yaitu Selo dan Gendhis. Sebelumnya, purwarupa kedua mobil listrik itu sempat dipamerkan di ajang KTT APEC pada 2013 di Bali dan di ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2014.
Namun sayangnya, pengembangan mobil listrik yang digagas Dahlan tak mendapat dukungan besar dari instansi-instansi terkait lainnya. Ujungnya, proyek mobil listrik tersebut berhenti.
Di tahun-tahun sesudahnya, beragam lembaga penelitian dan lembaga pendidikan tinggi turut serta mengembangkan beragam varian kendaraan listrik, baik yang murni kendaraan listrik, maupun hybrid. Namun hingga saat ini, hanya sedikit yang bisa masuk ke pasaran. Salah satunya adalah motor listrik Gesits yang berhasil masuk industri dan diproduksi secara massal.
Wacana pengembangan mobil listrik juga muncul di era Menteri ESDM yang saat itu dijabat Ignasius Jonan. Ia mendorong pembuatan regulasi dan pengembangan kendaraan listrik lewat sebuah surat kepada Presiden Joko Widodo pada medio 2017. Jonan memandang sudah saatnya Indonesia mengembangkan mobil listrik agar tak ketinggalan dari negara-negara lain.
Kemudian sejak 2019, dengan diterbitkannya Perpres 55/2019 mengenai kendaraan bermotor listrik, pengembangan mobil listrik mulai digalakkan lagi. Beberapa pabrikan juga sudah mengeluarkan mobil listrik yang diperkenalkan di Indonesia, baik yang sudah dijual bebas ataupun yang masih sebatas perkenalan.
Sejak saat itu pula, pengembangan banyak dilakukan di dalam negeri, mulai dari sisi regulasi, kesiapan infrastruktur, hingga sisi industrinya. Terakhir beberapa perusahaan besar mulai menyuntik modal untuk pengembangan pada industri baterai hingga kendaraan listrik.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pasar kendaraan listrik di Indonesia hingga kini masih rendah dan belum mencapai satu persen terhadap penjualan mobil di dalam negeri.
Per September 2021, pangsa pasar kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) hanya 0,1 persen (611 unit) dari total penjualan kendaraan bermotor yang mencapai 627.537 unit. Sementara, pangsa pasar untuk kendaraan hibrida (hybrid electric vehicle) 0,3 persen dengan total 1.737 unit.
Regulasi terkait kendaraan listrik
Untuk mengakselerasi penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri, pemerintah telah menyiapkan beragam regulasi mulai dari peraturan presiden hingga turunannya setingkat kementerian.
Aturan pertama yang diundangkan yakni Perpres 55/2019 tentang Percepatan Program kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Peraturan itu diundangkan sejak 12 Agustus 2019. Perpres ini menjadi aturan awal yang disebut sebagai payung hukum kendaraan listrik Indonesia.
Perpres yang terdiri dari 37 pasal ini tak hanya mengatur soal produksi kendaraan tersebut, tetapi juga tentang kepemilikan perorangan atas kendaraan yang bergerak dengan energi listrik. Regulasi ini diharapkan dapat mendorong industri otomotif dalam negeri bergerak ke arah lebih ramah lingkungan.
Pemerintah juga menerbitkan PP 73/2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Ketentuan baru soal PPnBM ini ditetapkan pada tanggal 15 Oktober 2019 oleh Presiden Joko Widodo dan akan berlaku dua tahun setelahnya, yakni pada 2021. Ketentuan ini akan digunakan pemerintah dalam merumuskan pajak kendaraan, khususnya PPnBM.
Pada aturan PPnBM baru itu, pengenaan tidak lagi berdasarkan bentuk kendaraan seperti aturan sebelumnya. Pengenaan PPnBM akan berdasarkan emisi gas buang yang dihasilkan kendaraan. Itu berarti semakin besar emisi yang dikeluarkan maka semakin besar pula pajaknya. Ini bakal menguntungkan kendaraan berteknologi hijau, terutama murni listrik.
Di tingkat kementerian, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengeluarkan Permenhub 45/2020 tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Kendaraan tertentu yang dimaksud antaranya skuter listrik, sepeda listrik, hoverboards, sepeda roda satu listrik, dan otopet listrik.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan regulasi tentang penyediaan infrastruktur pengisian listrik untuk kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai. Aturan tersebut tertuang dalam Permen ESDM 13/2020. Aturan ditetapkan 4 Agustus 2020 oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan diundangkan 7 Agustus.
Ada sejumlah hal yang diatur dalam aturan tersebut, antara lain ruang lingkup infrastruktur pengisian listrik untuk KBL berbasis baterai, penugasan kepada PT PLN (Persero), skema usaha dan tarif pengisian listrik, hingga aturan mengenai keselamatan instalasi.
Permen ESDM 13/2020 mengatur bahwa pengisian ulang KBL berbasis baterai dapat dilakukan pada instalasi listrik privat dan/atau stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Sedangkan fasilitas penukaran baterai dilakukan pada stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU).
SPKLU disediakan oleh badan usaha yang memegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) terintegrasi atau IUPTL penjualan. Sedangkan untuk badan usaha SPBKLU bisa tidak memiliki IUPTL namun harus memiliki izin usaha.
Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Permendagri 8/2020 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Peraturan tersebut ditujukan untuk memayungi pengembangan ekosistem investasi mobil listrik.
Dalam permendagri tersebut, diatur soal pajak kendaraan bermotor berbasis listrik yang ditetapkan sebesar 30 persen dari dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dalam UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Tak hanya soal pajak, dalam peraturan tersebut juga dicantumkan tentang pengenaan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) untuk kendaraan bermotor berbasis listrik atau baterai untuk orang dan barang. Nilai yang ditetapkan untuk itu pun sama, yakni sebesar 30 persen dari BBNKB sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009. Sementara untuk pasal yang berkaitan dengan angkutan umum berbasis listrik, pajak retribusi bisa diambil paling tinggi sebesar 20 persen dari pajak kendaraan bermotor biasa.
Adapun Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menerbitkan dua regulasi sekaligus terkait dengan kendaraan listrik. Pertama adalah Permenperin 27/2020 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Regulasi kedua yakni Permenperin 28/2020 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Dalam Keadaan Terurai Lengkap dan Keadaan Terurai Tidak Lengkap sebagai bagian tahap pengembangan industrialisasi KBLBB di Indonesia.
Melalui kedua regulasi tersebut, Kemenperin memberikan petunjuk bagi para stakeholder industri otomotif tentang strategi, kebijakan dan program dalam rangka mencapai target Indonesia sebagai basis produksi dan hub ekspor kendaraan listrik.
Tantangan mobil listrik
Masih rendahnya penetrasi pasar kendaraan listrik, terutama mobil listrik, di Indonesia tersebut tidak lepas dari beragam tantangan yang dihadapi hingga kini. Dalam buku Peluang dan Tantangan Pengembangan Mobil Listrik Nasional yang ditulis Ridwan Arief Subekti dkk dan diterbitkan LIPI Press, disebutkan ada sejumah tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan industri mobil listrik nasional.
Pertama adalah jarak tempuh mobil listrik masih terbatas karena kapasitas baterai mobil listrik terbatas. Ini berbeda jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak yang memiliki jarak tempuh panjang karena dukungan ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar.
Kedua, harga kendaraan listrik masih relatif mahal, jika dibandingkan mobil konvensional berbahan bakar minyak ditengah daya beli masyarakat yang masih rendah. Sebab, komponen utamanya, yaitu baterai, memiliki harga jual yang mahal karena belum diproduksi secara massal. Harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik.
Hal itu pun memengaruhi konsumen untuk membeli. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat secara rata-rata harga mobil listrik murni masih berada pada kisaran Rp 600 juta sedangkan daya beli konsumen rentang Rp 200 juta hingga Rp 300 juta.
Ketiga, infrastruktur kendaraan listrik, termasuk ketersediaan stasiun pengisian daya atau charging station masih terbatas. Pengembangan mobil listrik terbilang sulit karena masih terbatasnya infrastruktur pendukungnya, seperti Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU). Hingga September 2021, Kementerian ESDM mencatat baru terdapat 187 unit SPKLU yang beroperasi dan tersebar di 155 lokasi di seluruh Indonesia.
Di samping SPKLU, telah terbangun pula 153 unit Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) yang tersebar di 86 lokasi (Jakarta dan Tangerang) demi menunjang infrastruktur ekosistem kendaraan listrik.
Keempat, keberpihakan pemerintah kepada mobil listrik nasional. Pengembangan kendaraan listrik sangat bergantung pada kebijakan pemerintah. Dibutuhkan niat yang kuat dari pemerintah dalam bentuk kebijakan dan langkah nyata untuk dapat mengembangkan industri mobil listrik nasional.
Kelima, industri pendukung. Pengembangan mobil listrik harus bersaing dengan mobil konvensional yang jauh lebih mapan di pasar otomotif. Di sisi produksi, mobil konvensional sudah tertata dari hulu sampai hilir. Karena itu, pengembangan mobil listrik nasional membutuhkan perencanaan, mulai dari industri utama sampai industri pendukungnya.
Sementara itu, industri otomotif nasional membutuhkan transisi sebelum menuju battery electric vehicle (BEV). Sebab, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) ke BEV sangat radikal dan akan mengubah struktur industri otomotif nasional, mulai dari pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen.
Keenam, belum ada pangsa pasar. Saat ini, pihak pabrikan mobil belum berani memproduksi mobil listrik secara massal karena belum terciptanya segmen pasar mobil listrik.
Prospek dan strategi percepatan mobil listrik
Kendati masih diselimuti beragam tantangan, mobil listrik diperkirakan memiliki prospek yang menjanjikan di masa depan seiring tren peningkatan penjualan kendaraan listrik di dunia.
Salah satunya karena pangsa pasar otomotif di Indonesia masih terbuka luas. Rasio kepemilikan mobil rumah tangga Indonesia tercatat masih sekitar 3/10 sedangkan rasio kepemilikan sepeda motor mencapai 7/10 rumah tangga. Besarnya populasi di Indonesia dan masih sedikitnya jumlah pengguna mobil listrik tersebut menjadi prospek untuk pengembangan bisnis mobil listrik.
Di samping itu, warga kelas menengah atas juga semakin sadar terhadap persoalan lingkungan sehingga ke depan penggunaan mobil listrik diperkirakan semakin masif.
Di sisi industri, besarnya cadangan nikel yang ada di dalam negeri diharapkan dapat menjadi pemantik bagi perusahaan otomotif untuk memproduksi baterai di tanah air.
Proyeksi Pertambahan Mobil Listrik
Sumber: Perusahaan Listrik Negara, PT (Persero) PLN
Dengan prospek itu, sederet upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mempercepat kendaraan listrik dengan membuat peta jalan pengembangan mobil listrik, pemberian insentif, hingga pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
Melalui Permenperin 27/2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV, dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal, pemerintah akan menciptakan ekosistem kendaraan listrik dengan melibatkan para pemangku kepentingan, seperti produsen, industri baterai, pilot project, konsumen, dan infrastruktur seperti stasiun pengisian daya.
Peta Jalan Industri Baterai untuk Kendaraan Listrik di Indonesia
- 2020: Pemerintah akan memilih partner bisnis dalam konsorsium baterai nasional.
- 2021: Membangun sistem penyimpanan energi berskala besar di sejumlah daerah yang diprioritaskan.
- 2022, Produsen peralatan asli (OEM) diharapkan sudah memulai produksi kendaraan listrik di dalam negeri.
- 2023: Proyek percontohan memproduksi sel baterai 200 MWh dalam bentuk pack
- 2024: Pemurnian high pressure acid leaching (HPAL) untuk prekusor dan katoda mulai beroperasi
- 2025: Direncanakan akan menjadi fase pertama produksi sel baterai 8-10 GWh dalam bentuk pack.
- 2026: Ibu kota negara yang baru ditargetkan menggunakan 100 persen transportasi kendaraan listrik.
- 2027: Industri daur ulang baterai listrik sudah dioperasikan.
Dalam peta jalan tersebut, pemerintah menetapkan peta jalan pengembangan kendaraan listrik hingga 2030. Targetnya, produksi kendaraan listrik pada 2030 dapat mencapai 600 ribu unit untuk roda empat atau lebih, dan untuk roda dua dapat mencapai hingga 2,45 juta unit.
Harapannya, dengan target produksi tersebut, diharapkan mampu menurunkan emisi karbondioksida (CO2) sebesar 2,7 juta ton untuk kendaraan roda empat dan 1,1 juta ton untuk roda dua.
Dalam peta jalan tersebut, diperkirakan pembelian kendaraan listrik untuk roda empat akan mencapai 132.983 unit, sedangkan untuk kendaraan listrik roda dua akan mencapai 398.530 unit.
Kemudian untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan membuat aturan yang mewajibkan kendaraan operasional di instansi negara menggunakan kendaraan listrik.
Selain itu, pemerintah akan memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal bagi konsumen EV, seperti Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0 persen melalui PP 74/2021 serta pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) sebesar 0 persen untuk Kendaraan Listrik Berbasis Baterai (KBL-BB) di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Peraturan Gubernur No. 3/2020.
Kemudian BBN-KB sebesar 10 persen Mobil Listrik dan 2,5 persen Sepeda Motor Listrik di Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dituangkan dalam Perda 9/2019, uang muka minimum sebesar 0 persen dan suku bunga rendah untuk kendaraan listrik melalui Peraturan Bank Indonesia No. 22/13/PBI/2020, diskon penyambungan dan penambahan daya listrik, dan lainnya.
Di samping itu, produsen EV juga dapat memanfaatkan berbagai keuntungan seperti Tax Holiday dan Mini Tax Holiday melalui UU 25/2007. Termasuk juga Peraturan Menteri Keuangan (PMK 130/2020), Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal 7/2020, tax allowance (PP 18/2015 Jo PP 9/2016, Permenperin 1/2018), dan Pembebasan Bea Masuk (PMK 188/2015).
Kemudian, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, dan Super Tax Deduction untuk kegiatan R&D (PP 45/2019, dan PMK No.153/2020). Hal ini merupakan fasilitas yang diberikan dalam rangka mendorong industrialisasi EV. (Antonius Purwanto/Litbang Kompas)