Itulah tantangan dunia kesenian, mengembangkan gagasan, mencari kebenaran.
Oleh
BRE REDANA
·2 menit baca
HERYUNANTO
Bre Redana
Perjalanan ke Yogya bagi saya adalah perjalanan kebudayaan, seperti kali ini menuju Yogya untuk ArtJog, acara tahunan seni rupa yang kini memasuki tahun ke-15. Bakal dibuka resmi tanggal 20 Juni nanti, tema kali ini adalah Motif: Amalan. Amalan, dari kata amal, merupakan praksis kehidupan untuk berbuat baik, atau dalam kredo perguruan saya di Bogor, karena ilmu berasal dari alam maka menjadi kewajiban kita untuk mengembalikan ilmu kepada alam melalui masyarakat dan kebudayaan.
Seiring ArtJog yang berlangsung dua bulan, memanfaatkan kesempatan ramainya tamu dari berbagai kota dan negara, para seniman akan membuka studio-studio mereka, membikin acara sendiri, dari pameran, diskusi sampai peluncuran buku. Pada kesempatan seperti itu seni memainkan salah satu fungsi utamanya, bahwa seni adalah srawung, sarana mengembangkan semangat bebrayan, ikhtiar untuk memelihara kejujuran, yang pada era digital dikorup menjadi image, termasuk representasi diri yang bisa seperti apa saja kecuali diri yang sebenarnya.
Sebagian besar krisis kemanusiaan zaman ini, yang tecermin dalam krisis politik, ekonomi, kesehatan nalar, dan lain-lain, tak bisa dipisahkan dari efek digitalisasi kehidupan. Para pejabat cuma sibuk memantas-mantas diri di dunia virtual—sebutannya ngonten. Mereka menjelma jadi manusia semu layaknya raksasa-raksasi negeri siluman. Sumpah tidak ada yang enak dilihat. Tumbal kekuasaan mereka adalah rakyat, demikian kalau memakai analogi pewayangan.
Pada dunia karya, keterampilan teknis melahirkan kerajinan. Keterampilan teknis ditambah personifikasi meningkat jadi karya seni. Ditambah lagi kreativitas, menghasilkan karya seni yang baik. Karya seni yang baik umumnya juga mengandung gagasan dan kejujuran. Itulah tantangan dunia kesenian, mengembangkan gagasan, mencari kebenaran. Dalam tema pameran Butet Kartaredjasa nanti, Eling Sangkan Paraning Dumadi.
Saya percaya, nilai-nilai yang terkandung dalam karya seni, termasuk kejujuran, hanya bisa dinikmati melalui imersi individu saat berhadapan dengan karya. Itu sebabnya, museum-museum dan galeri-galeri, terutama di Barat, senantiasa ramai dikunjungi orang. Syukurlah, gejala serupa kian tampak pada ArtJog.
Berhadapan dengan suatu karya seni—karya apa saja—merupakan kesempatan di mana baik si pencipta maupun yang menikmatinya bebas masuk ke area yang sebelumnya tidak dikenal. Dengan itulah manusia terus berkembang dengan segala kemungkinan tak terduga.
Bukan karena merujuk khusus pada buku saya, yakni SilatSuratyang kini hendak terbit dalam versi bahasa Inggris berjudul The Sword and the Pen, tapi saya suka ungkapan penyair Goenawan Mohamad tentang olah tubuh dan bela diri dalam buku itu. Katanya: kiat bela diri ini sebagai ikhtiar kearifan yang terus-menerus, tidak diproyeksikan sebagai sesuatu yang agresif, melainkan perubahan yang tak terperangkap satu tujuan.
Terhadap beberapa teman yang terus berkarya dan beberapa hendak berpameran nanti, saya merasa memiliki keterhubungan, affinity. Mereka menggunakan medium cat minyak, akrilik, besi, dan material-material tangible atau bisa disentuh lainnya. Seperti pada dunia surat, literature, saya adalah bagian dari segelintir manusia yang masih bertahan dengan warisan zaman Renaisans dengan media cetak buku, koran, dan lain-lain yang kini disebut sebagai ”media konvensional”. Dalam dunia konvensional, kata-kata, bahasa, merupakan alat untuk menyatakan kebenaran, bukan menyembunyikannya.
Nyatanya kemajuan yang mengalir sedari zaman Renaisans telah menghadirkan paradoks. Kini apa saja di ambang diambil alih kecerdasan buatan. Hasilnya kepalsuan.
Penguasa dan para buzzer menguasai dunia palsu. Kita ibarat hidup pada dunia di mana para pasien mengambil alih manajemen rumah sakit jiwa. Semua orang menunjuk raja, seperti dalam dongeng HC Andersen, The Emperor’s New Clothes, sebagai berbusana indah meski sebenarnya raja telanjang.
Sampai kemudian semua tersentak, ketika pada arakan-arakan di mana raja tak mengenakan apa-apa, seorang bocah berseru: raja telanjang. Itulah magis kejujuran. Orang-orang pulih kewarasannya. Tidak perlu membohongi diri sendiri, raja memang telanjang, mengidap gangguan jiwa.
Kesenian bukan sebatas urusan cuan, motif populer zaman sekarang. Kriteria kesenian bukan seberapa laku, seberapa banyak terjual, tapi pada seberapa jauh kesanggupannya memberi tahu siapa kita, dari sudut pandang yang tak mungkin diberikan penguasa, yang urusannya semata-mata merakit dan membikin kebohongan jadi tampak benar.***