Ia melukiskan, hubungan dia dengan pihak militer adalah hubungan dalam ”ke-saling-tidak-mengertian”.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
HERYUNANTO
Bre Redana
Di tengah arus besar pendapat umum yang menjustifikasi anak nakal sebaiknya dikirim ke barak militer; demi ketahanan pangan perlu diterjunkan militer bahkan angkatan laut yang tidak dinyana ternyata juga cakap berladang; dan lain-lain termasuk para pejabat harus dilatih baris-berbaris di akademi militer; saya satu dari segelintir orang yang tidak percaya bahwa apa pun masalahnya militer jawabannya. Saya kurang mengerti dunia militer, tapi pidato penulis tersohor Gabriel Garcia Marquez yang terhimpun dalam buku I’m Not Here to Give a Speech (Viking, 2014) yang saya temukan secara tidak sengaja menggerakkan saya untuk menulis catatan ini.
Pada acara konferensi yang diselenggarakan oleh menteri pertahanan Kolombia tahun 1996, Garcia Marquez diundang jadi salah satu pembicara. Makalah dia berjudul ”A Different Nature in a World Different from Ours” menyentak saya. Seperti pengenalan saya tentang tentara saat saya masih bocah pada pertengahan 1960-an, Gabo, demikian panggilan akrab Garcia Marquez, mendengar tentang militer pada masa kanak-kanak dari kakeknya.
Dari sang kakek dia mendapat cerita berdarah bagaimana para buruh perusahaan pisang di Cienaga yang melakukan demonstrasi disambut dengan rentetan tembakan oleh militer. Drama pembantaian itu diakui Gabo sebagai yang paling intens menghuni benaknya tatkala bocah. Pembaca karya-karya Gabo pasti percaya pengakuannya tidak mengada-ada. Peristiwa di United Fruit Company yang dihapus dari sejarah negeri tersebut muncul pada berbagai karyanya, yang paling monumental dalam novel One Hundred Years of Solitude.
Di situ digambarkan 3.000 orang mati, jasadnya ditumpuk-tumpuk di 200 gerbong kereta, diangkut dan dibuang ke laut. Gabo mengakui telah melakukan penggambaran berlebihan, tapi ia punya alasan, bahwa inspirasi utama dia adalah untuk memulihkan kehormatan para korban. Ini semacam tandingan versi resmi sejarah yang mengglorifikasi penguasa yang dianggap benar, berhasil menegakkan hukum dan peraturan.
”Saya percaya visi saya tentang drama para pekerja perusahaan pisang yang diceritakan kakek adalah sesuatu yang paling intens pada masa kecil saya, dan paling awet (tersimpan di otak). Sampai pada tingkat yang menurut saya sekarang, merupakan subyek yang menjadi obsesi keluarga, teman, dan para kerabat sepanjang masa kanak-kanak saya dan membentuk hidup kami, selamanya,” demikian kurang lebih tulis Gabo.
Dalam hal itu saya bisa menyejajarkan dengan peristiwa 1965, yang membekas sampai sekarang, yang juga mengondisikan keluarga kami, atau bahkan jutaan keluarga di negeri ini. Ada wajah korban, orang paling dekat, ada yang menulis memoar atau novel tentang peristiwa tadi berdasar pengakuan sejumlah korban yang masih hidup, tapi tentang siapa pelaku tidak jelas sosok, nama, identitasnya, atau kalau ada, mereka adalah pahlawan.
Gabo mengakui, seumur-umur berusaha untuk mengusir hantu yang tidak dikenalnya yang terus menghuni otaknya tapi pengenalan dia tentang militer terbatas sekali. Selama 50 tahun hidupnya tatkala bicara di forum itu ia mengaku tak lebih dari enam tentara ia pernah bercakap-cakap (khusus hal ini saya curiga dia melebih-lebihkan).
Semasa mahasiswa di fakultas hukum katanya di kelas dia ada dua militer. Keduanya masuk kelas bersama-sama, dengan seragam yang sama, tak pernah telat, duduk tertib, serius dan sangat metodik. Berbeda dari teman-teman lain yang acak-acakan, Gabo menggambarkan kedua makhluk berseragam itu mungkin memiliki dunia sendiri. Ia melukiskan, hubungan dia dengan pihak militer adalah hubungan dalam ”ke-saling-tidak-mengertian”.
Mungkin persis di situ tulisan Gabriel Garcia Marquez ini menarik perhatian saya. Yakni tentang subyek yang tidak kita mengerti, tapi senantiasa membayangi pikiran kita, hidup kita, termasuk bagaimana sehari-hari mobil mereka tetot-tetot menyingkirkan pengemudi lain yang lelah kerja.
Saya pernah membaca cerita jenderal terkenal, Winston Churchill. Dia adalah pencinta sastra dan drama, membaca karya Oscar Wilde, George Orwell, Boris Pasternak, dan lain-lain. Pernah dalam suatu wawancara dia ditanya, siapa kiranya yang ia ingin ketemu pada kehidupan yang lain nanti, dan tanpa ragu Churchill menjawab: Oscar Wilde.
Dengan tentara masuk sekolah, kampus, ladang pertanian, dan lain-lain, saya kadang bertanya, mana lebih baik, para anak sekolah, mahasiswa, dan petani belajar baris, atau tentara belajar baca sastra. Yang lebih paham dunia militer mungkin bisa bantu menjawab.***