Saya mengenal satu perempuan—merangkap informan saya ini—yang bereaksi terhadap situasi ini dengan bisnis.
Oleh
JEAN COUNTEAU
·3 menit baca
HERYUNANTO
Jean Couteau, Penulis Udar Rasa
Saya suka melihat transformasi positif di sekitar saya. Di desa tempat tinggal saya, saya ”suka” mencatat bahwa tidak terlihat lagi ibu-ibu yang menyemplung separuh tubuh di sungai untuk mengais pasir untuk dijual ke proyek konstruksi. Ibu-ibu yang bekerja sebagai buruh kasar kini semakin langka. Perempuan-perempuan muda dan setengah baya kini kian banyak ditampung di dalam industri pariwisata. Bukankah berarti Bali telah bebas dari kaum proletar asal Bali, tetapi mereka kini datang dari seberang laut.
Pendatang itu telah lama datang dari pulau-pulau tetangga: Jawa, Madura, Lombok. Mereka kini menjadi bagian dari masyarakat lokal, dengan komunitas-komunitas tersendiri, lengkap dengan prasarana kultural-religius terkait. Bukanlah pendatang tanpa masalah, tetapi, terlepas dari wacana senator tertentu, tradisi ”Islam Nusantara” yang mereka bawa, lengkap dengan penekanan pada kebersamaan daripada pada perbedaan, memungkinkan terciptanya rasa kebangsaan lintas agama yang kokoh. Apalagi tak sedikit pendatang ”terdidik” lain—kaum borju atau seniman dari Jakarta/Surabaya/Yogya—khusus datang ke Bali untuk merayakan kebersamaan lintas agama.
Namun, kini muncul gelombang pendatang yang lebih baru. Demi meraup untung lebih banyak, pengusaha-pengusaha lokal tak segan merekrut tenaga kerja yang paling murah, dari mana pun asalnya. Maka dari mana tenaga kerja ini datang? Dari pulau-pulau miskin di timur, yang tetap menghasilkan surplus demografis. Mereka berijazah SMA, tetapi tak ada lapangan kerja di Flores, Sumba, Alor, Timor, dan lain-lain hingga Papua. Lalu, ke mana mereka pergi? Mereka membeludak ke Bali, rela bekerja apa saja, demi mengirim uang kepada keluarga di pulau yang terlupakan.
Lalu, muncul masalah klasik: marjinalisasi berbau ”rasisme”, meskipun istilah itu pantang dipakai. Mungkin karena dianggap sebagai patologi sosial orang bule saja.
Kembali ke masalah inti: bila Anda orang asal Indonesia timur, ketika baru datang di Bali, harus mencari tempat tinggal, kan? Yang pada umumnya bukan kos-kosan mahal ber-AC, tetapi kosan kumuh nan murah. Bila muka dan nama Anda rada ”Jawa”, masih oke, tak terlalu sulit mencari penginapan. Tetapi, bila Anda berkulit sawo matang bernuansa gelap dengan asal Anda dari timur nun makin jauh dari sana itu, pasti susah. Kosan-kosan yang katanya ”bebas” tiba-tiba penuh, apalagi bila Anda pria.
Memang, bila Anda pria Indonesia timur, susah mencari kos sendiri. Lalu, apa jalan keluarnya? Numpang di kamar teman, atau keluarga yang sudah tinggal di Bali. Kalau Anda beradab halus, bergaya malu, masih oke. Tetapi, bila Anda tergolong ”pekerja kasar”, peminat minuman dan musik keras, tetangga terganggu. Lalu, bila pada dua orang dalam sekamar ditambah lagi seorang, yang suka minum-minum, tetangga-tetangga tidak lagi terganggu, tetapi diganggu, dan merasa terganggu!
Situasi seperti ini sering memicu terbentuknya kelompok-kelompok tertutup yang berperilaku gagah-gagahan: ”geng” dengan segala potensi negatifnya. Kadang bisa diredam lewat perantara gereja atau organisasi sosial, kadang tidak. Gesekan telah sering terjadi dengan kaum Adam Timur yang sok jagoan ini.
Untuk perempuan lebih mudah, tetapi terdapat juga aneka prasangka yang menimpa mereka. Sindiran di pasar: ”kau sebenarnya cantik, sayangnya hitam” …atau pernyataan polos ”sayang rambutmu keriting” menyertai keseharian mereka sehingga kerap tidak disadari ditimpa prasangka.
Namun, perempuan bisa juga bereaksi dengan cara yang menarik. Saya mengenal satu perempuan—merangkap informan saya ini—yang bereaksi terhadap situasi ini dengan bisnis. Bisnis apa? Bisnis rambut: dia menjadi ”tukang smoothing rambut keliling”. Dia sering dicari oleh perempuan NTT berambut keriting yang habis smoothing selama dua jam, keluar dari perawatannya dengan rambut lurus ”ideal”, seperti halnya orang Jawa atau orang Tionghoa. Aneh, kan: bisnis terlahir dari prasangka.
Apa tujuan tulisan ini? Penyadaran. Pembangunan bangsa dan ekonomi telah melahirkan pergaulan lintas suku yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perbedaan itu nyata, dan kerap menimbulkan prasangka dan gesekan sosial. Tapi, marilah kita sadari: di balik semua perbedaan itu, terdapat kesamaan mendasar kita sebagai sesama manusia.
Ayuk, sadari… dan lampaui prasangka masing-masing.