Paus Fransiskus menggunakan iman dan spiritualitas sebagai poros untuk mendorong perubahan.
Oleh
ALISSA WAHID
·4 menit baca
HERYUNANTO
Alissa Wahid
Dunia berkabung. Walaupun Paus Fransiskus adalah pemimpin umat Katolik sedunia, rasa dukacita disampaikan dari seluruh penjuru dunia lintas agama, lintas budaya, lintas negara. Agaknya, beliau sudah mencapai titik kepemimpinan mondial, di mana ia bergerak atas nama dan bagi kemanusiaan, bahkan bagi semesta planet bumi ini.
Bagaimanapun, sampai saat wafatnya Paus Fransiskus adalah satu-satunya pemimpin dunia non-politisi yang mengambil posisi kepemimpinan global saat ini. Beberapa pemimpin dunia lainnya memiliki pengaruh besar di kalangannya, tetapi kurang terasa kehadiran dan pengaruhnya dalam skala global utuh.
Walaupun telah menulis tentang Paus Fransiskus menjelang kunjungan kepausan ke Indonesia tahun 2024 lalu, saya mempersembahkan edisi kali ini sebagai penghormatan atas pesan beliau bagi dunia.
Ia mewariskan empat ensiklik, semacam kitab tematik bagi umatnya. Bersama Paus Benediktus (pendahulunya), ia menulis tentang Lumens Fidei (The Light of Faith) di tahun 2013, yang membahas bagaimana iman menjadi cahaya pemandu kehidupan.
Laudato Si’ (Praise Be To You – On Care For Our Common Home) diluncurkan di tahun 2015, diikuti Fratelli Tutti (On Fraternity and Social Friendship) pada tahun 2020. Menjelang wafatnya, Paus Fransiskus menyampaikan Dilexit Nos (On The Human And Divine Love Of The Heart Of Jesus Christ), tentang akar kemanusiaan, yaitu hati nurani dan cinta kasih.
Dari keempat ensiklik, Laudato Si’ dan Fratelli Tutti membawa pesan universal, menjadikan Paus Fransiskus sebagai pemimpin dunia. Keduanya lebih banyak membahas tentang kepentingan dunia dengan konteks dunia.
Laudato Si’ membahas merawat bumi sebagai rumah kita bersama. Batas antarnegara bisa membuat kita mengusir orang lain dari wilayah kedaulatan negara kita, tetapi kita tidak bisa mengusir mereka yang berbeda latar belakang dari planet bumi.
Paus Fransiskus membawanya ke tingkat yang lebih sistemik: kapitalisme yang memicu konsumerisme, pendekatan developmentalisme negara-negara berakibat pengerukan sumber daya alam yang tidak terkendali, dan ketidakadilan sosial. Ia mengkritik komitmen negara-negara yang lemah untuk isu krisis iklim ini, dipicu oleh kepentingan finansial belaka.
Fratelli Tutti membawa pesan persaudaraan bagi sesama manusia, yang sejatinya semakin hari semakin kesepian dan terasing di tengah semakin sesaknya dunia dan hubungan maya yang semakin mendominasi kehidupan. Tidak hanya sebatas membuka hati bagi manusia-manusia lainnya, Paus Fransiskus menyoroti hancurnya peradaban karena problem yang lebih sistemik.
Lagi-lagi Paus Fransiskus membawa ketidakadilan sosial sebagai salah satu faktor penyebabnya, bersumber dari globalisasi dan kemajuan tanpa arah (peta jalan) yang disepakati bersama. Destructionism dan ”Throwaway” World membuat kita memperlakukan manusia tanpa mengindahkan harkat martabatnya, demikian tulisnya. Kita bersikap enteng membuang manusia lain, saat tidak sesuai dengan keinginan kita.
Misalnya dalam hubungan transaksional pekerjaan di mana perusahan mudah saja membuang para buruh karena dianggap sebagai instrumen. Atau membuang para lansia dari kehidupan bermasyarakat, seakan kerentaan membuat mereka harus dipinggirkan. Atau menutup mata terhadap mereka yang lemah dan dilemahkan oleh sistem, seperti masyarakat adat yang terusir dari tanahnya atas nama proyek pembangunan.
Menyimak gagasan Paus Fransiskus membuat kita sadar bahwa ada persoalan fundamental dan sistemik, yang membutuhkan perubahan cara pandang kita terhadap kehidupan kita bersama. Ibaratnya, mendidik warga masyarakat di hilir sungai untuk membersihkan sungai dari sampah, tetapi di hulu sungai truk-truk sampah tetap membuang sampah berton-ton.
Apabila tidak mengubah problem fundamental dan sistemik terkait bagaimana kita memperlakukan bumi dan sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki hak dan perlu dihormati, maka kita tidak akan menahan laju penghancuran planet bumi dan peradaban kita saat ini.
Dan, Paus Fransiskus menggunakan iman dan spiritualitas sebagai poros untuk mendorong perubahan. Ajaran agama perlu digali kembali dan digunakan sebagai kerangka membangun peradaban yang lebih baik dan berkesinambungan. Ensiklik pertama dan keempat banyak membahas tentang bagaimana umat Katolik perlu kembali kepada iman dan hati nuraninya, karena ia meyakini berbagai problem dunia saat ini muncul karena jauhnya manusia dari kedua hal tersebut.
Pandangan Paus Fransiskus ini sejatinya beresonansi dengan ajaran universal dari berbagai agama. Di kalangan umat Hindu Bali, kehidupan dibangun dengan poros Tri Hita Karana: kebersatuan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam. Di kalangan umat Islam, dikenal trilogi hubungan yang seimbang, yaitu Hablum min Allah (hubungan manusia dengan Tuhan), Hablum min an-nas (hubungan dengan sesama manusia), dan Hablum min al-alam (hubungan dengan alam). Begitu juga dengan agama-agama lain.
Banyak orang menulis, tetapi tidak dapat menindaki. Banyak orang bertindak, tetapi tidak memiliki kerangka pikirnya. Banyak orang memiliki kerangka pikir, tetapi tidak mampu menuliskannya dengan baik. Dan, banyak orang membangun gagasan dan kerangka pikir, serta bekerja keras menjalankannya, tetapi tidak memiliki kemampuan menggerakkan. Keistimewaan Paus Fransiskus adalah ia mampu menjalankan semuanya, dilandasi oleh keyakinan akan peran dirinya sebagai citra Tuhan di muka bumi.
Namun, semua harapan tersebut belumlah terwujud. Dunia masih di tengah defisit antara upaya memajukan peradaban dan perusakan di sisi berlawanan. Lalu, siapa yang akan melanjutkan dan merawat warisan perjuangan dan pemikirannya sampai mewujud?
Agaknya tugas Paus Fransiskus adalah menyiapkan bekal bagi kita semua warga dunia. Sekarang tugas itu sudah tunai. Di tangan kitalah untuk mewujudkannya. Bukan untuknya, melainkan untuk masa depan umat manusia. Terima kasih, Paus Fransiskus.