Perguruan tinggi adalah tempat mengolah kesadaran, menukik pada kedalaman dari gejala permukaan berupa klise dan slogan.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
HERYUNANTO
Bre Redana
Karena teman seangkatan yang sudah pensiun dari pekerjaan ada beberapa yang melanjutkan kuliah, tak urung saya sering menerima pertanyaan: mengapa kamu juga tidak kuliah lagi. Dengan serius saya jawab bahwa otak saya tidak seencer mereka, ketika jadi mahasiswa puluhan tahun lalu nilai saya pas-pasan, hal yang bisa saya ingat cuma pers kampus dan pesta. Lagi pula kuliah butuh biaya. Saya bukan politisi, menteri, komisaris yang banyak duit untuk sebuah gelar doktor.
Selain jawaban serius di atas, saya memiliki jawaban kurang serius karena saya menganggap perguruan tinggi di Indonesia belakangan ini juga bukan sesuatu yang serius. Sekarang ini bukan lagi zamannya Arnold Toynbee yang berpandangan bahwa perguruan tinggi adalah pilar untuk mengembangkan pemikiran kritis (critical thinking) untuk menghadapi kekuatan-kekuatan yang diam-diam menentukan individu maupun masyarakat melakukan sesuatu sesuai ketersediaan pilihan karena tidak tersedianya pilihan lain.
Harap dimaklumi, Toynbee adalah sejarawan, pemikirannya tak bisa lepas dari anggapan bahwa kemungkinan perkembangan manusia sangat ditentukan oleh kekuatan historis. Dalam arus besar yang cenderung menyeragamkan manusia, Toynbee dikenal dengan konsepnya yang jadi greget mahasiswa kala itu, tekad menjadi minoritas kreatif (creative minority).
Nilai-nilai tersebut ketika itu tidak cuma disosialisasikan di kelas atau pada kuliah umum untuk seluruh mahasiswa di balairung, tapi juga dalam pergaulan sehari-hari yang cair di kalangan civitas academia. Mudah untuk ngobrol dengan dosen, para doktor, profesor mengenai segala hal dari soal kemiskinan struktural sampai bahaya fasisme yang entah kenapa tidak pernah disadari di negeri ini. Sering sore-sore rektor jalan-jalan di lingkungan kampus yang asri dengan udara sejuk tiada duanya, ikut nonton para mahasiswa berolahraga di lapangan. Ah, jadi ingat pacar.
Tertinggal oleh kemajuan zaman, saya masih mengira kampus adalah ajang kontestasi kebenaran, tempat di mana kebenaran perlu terus diuji oleh argumentasi tentang kemungkinan kebenaran yang lain dari waktu ke waktu. Perguruan tinggi adalah tempat untuk mengolah kesadaran, menukik pada kedalaman dari gejala permukaan berupa klise dan slogan-slogan.
Terlebih pada situasi masa kini, di mana kebenaran atau truth mendapat gempuran dari segala penjuru, dalam istilah sekarang sebutannya hoax atau fake news. Tambah runyam, karena mungkin sudah jadi tabiat bawaan, produsen fake news terbesar adalah penguasa. Perguruan tinggi—sama seperti pers—banyak yang mulai linglung. Mereka ikut jadi agen untuk menyemaikan kesadaran palsu: false consciousness.
Pada zaman yang kian membingungkan ini kita tak lagi mudah bersepakat mengartikan apa itu benar, baik, berani, dan hal-hal prinsipiil lainnya. Tidak semua bisa bersepakat misalnya, bahwa demonstrasi itu baik. Kalangan mapan merasa itu mengganggu, bikin macet jalanan. Kalangan yang dicederai oleh ketimpangan struktural dan telanjur menerima kemiskinan sebagai takdir, khawatir nasib malah jadi kian tidak keruan.
Begitu pun tentang demokrasi. Pihak yang terlanjur enak dan nyaman hidupnya, mengajari demokrasi harus sopan, harus santun. Benarkah demokrasi harus sopan? Apakah moral force harus didahului kursus di sekolah kepribadian? Adakah menghadapi pihak yang tidak punya tradisi berargumentasi dan hanya mengenal komando tidak boleh berteriak?
Pengertian keberanian (courage) selama ini dikuasai oleh pengertian militeristik bahwa berani harus dimanifestasikan dalam keberanian fisik, bukan keberanian moral. Yang dianggap berani, pahlawan, adalah yang menunjukkan keberanian fisik, setiap saat berseru ucapan kosong siap mati demi ini demi itu. Terhadap yang tampak ringkih tapi tetap setia berjuang menegakkan moral, celakanya banyak orang malah curiga, beberapa mengolok-olok.
Masih menurut Toynbee, selain pemikiran kritis perguruan tinggi juga wajib fokus pada tantangan moral dan religius (kampus saya dulu punya semboyan setia kepada firman) yang makin kompleks.
Itulah beberapa hal yang saya anggap perguruan tinggi tidak menanggapi serius kini. Maka terhadap pertanyaan mengapa tidak kuliah lagi, jawaban tidak serius saya adalah: saya khawatir tak boleh pakai T-shirt, harus pakai topi baja, disuruh baris-berbaris, mengikuti disiplin militer bukan disiplin kewajaran kehidupan.
Tidak sudi. Biarlah kampus cukup saya kenang dengan kebebasannya, dengan lagu ”Gaudeamus igitur”, dengan pers mahasiswa, dan pesta.***