Hutan, laut, gunung, lembah, dan sungai bagian dari alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, bisa menghidupkan imajinasi.
Oleh
BRE REDANA
·4 menit baca
HERYUNANTO
Bre Redana
Taman Nasional Tanjung Puting seluas sekitar 400 hektar di Provinsi Kalimantan Tengah adalah secuil hutan basah (rain forest)yang masih tersisa di negeri ini. Selebihnya telah dibabat dan digunduli untuk berbagai kepentingan, dari industri kayu lapis yang pernah jaya dari proses penggundulan hutan, perkebunan sawit, sampai yang paling memalukan proyek food estate.
Meninggalkan kapal masuk pedalaman hutan pada malam hari bersama beberapa pemandu, salah satunya yang saya panggil adalah Pak Rustam berbisik pada saya: ”Kalau beruntung, akan ketemu tarsius.” Tarsius adalah makhluk nokturnal alias aktif pada malam hari, ukurannya kecil kurang lebih dua kepalan tangan orang dewasa, matanya besar, leher bisa memutar 180 derajat. Meski kecil, jangan main-main dengannya. Ia bisa menelan ular. Tarsius memang tergolong karnivora, biasa menyantap kodok, kadal, burung yang lengah—pendeknya para korban boleh jadi tidak menyangka bahwa makhluk ini ternyata tidak seimut penampilannya.
Dengan penerangan lampu senter, kami menapaki tanah yang lembab, basah, melangkahi pohon tumbang, menghindari genangan agar tidak terjeblos, terus masuk ke hutan yang dalam, tapi tidak sunyi, ramai oleh suara para penghuni. Ada gesekan bunyi sayap tonggeret, lolongan di kejauhan, suara seperti orang tersedak yang sempat saya duga suara monyet kelolotan batu, suara mendehem berat dari binatang yang barangkali menderita asthma, dan masih banyak lagi yang sulit dilukiskan saking ajaibnya.
Bintang di langit tidak tampak, tertutup oleh kanopi pohon-pohon tinggi. Sebaliknya muncul kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang beterbangan di atas payau-payau. Selain terbawa kenangan masa kecil di rumah Bude di kampung dulu tatkala kunang-kunang belum punah, juga jadi teringat cerita pendek Umar Kayam yang indah, Seribu Kunang-kunang di Manhattan.
Para pemandu dengan telaten, dengan suara pelan agar tak mengganggu kesakralan hutan, menunjukkan dan menjelaskan apa saja yang kami jumpai. Tarantula keluar sarang, di atas pohon tinggi ada tumpukan kayu, katanya itu adalah sarang orang utan. Kerja orang utan selain makan adalah bikin sarang, sehari bisa beberapa kali saking rajinnya. Mereka makhluk terbesar yang hidup di ketinggian pohon. Diperingatkan pula akan adanya kucing hutan yang bisa berbahaya. Tentang urban, saya lumayan memiliki pengetahuan dan orientasi, tetapi tidak tentang hutan.
Salah satu pemandu menowel lengan saya. ”Sssttt…,” ia memberi isyarat. Di ranting rendah, persis di sebelah saya, ada burung tengah tidur, meringkus dalam dekapan sayap seperti kebiasaan saya tidur dalam sarung.
Terenyak saya. Burung ini sangat indah. Bulunya biru dengan semburat merah kuning di sana-sini. Agar saya puas menikmati, pemandu menyorotkan cahaya lampu senter padanya.
”Good nite, prince,”kata saya.
”Burung ini perempuan,” pemandu mengoreksi.
”Oh, kalau begitu, you’re my sleeping beauty.”
Pemandu memadamkan sorot lampu senter. Tidak boleh lama-lama karena, kata dia, cahaya yang kelewat kuat bisa merusak matanya yang rabun di malam hari.
”Sama saja, too much love will kill,” saya berucap.
Kami tinggalkan si putri tidur. Orang setempat menyebut burung ini pipit bayan. Pada kesempatan sesudahnya, Pak Rustam yang punya pengetahuan luas tentang hutan dan seluruh kawasan ini menerangkan, dalam bahasa Inggris sebutan untuk burung itu adalah Scarlet Vita. Nama yang indah. Di Bogor, saya punya teman namanya Vita, dan burung beonya pandai berceloteh menyebut namanya: Mbak Vita. Lagu favorit saya sendiri adalah ”Scarlet Ribbons”.
Hutan, laut, gunung, lembah, dan sungai bagian dari alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, bisa menghidupkan imajinasi ke mana-mana. Sayangnya, daya imajinasi manusia kian hari kian menyempit, sebatas cuan: istilah yang digemari banyak orang sekarang, termasuk media massa. Bikin risih. Segala hal melulu dilihat dari aspek techno-economics. Hutan dibabat, laut dipagari, Bumi dikeruk, tambang dikuras, dibagi-bagi untuk memenuhi haus akan harta dan kekuasaan segelintir kepala.
”Sayang, kita kurang beruntung. Tidak ketemu tarsius,” kata Pak Rustam.
”Andai ketemu pun, saya tidak merasa beruntung, tapi semata-mata merasa mendapatkan apa yang kita cari,” saya menanggapi. ”Justru saya merasa beruntung karena menemukan apa yang tidak saya cari, yakni Scarlet Vita.”
Pak Rustam tertawa.
Malam yang mengesankan di hutan Kalimantan.
Hutan harus dijaga. Begitu pun seluruh kekayaan alam negeri. Tidak semua hal dan segala sesuatu harus dimonetisasi demi uang.***