Suara Sastra untuk Literasi Kebangsaan
Kekuatan sastra adalah pada kemungkinannya dalam memperluas rasa kemanusiaan bagi pembacanya.

Idi Subandy Ibrahim
Dalam dunia yang kalut dan suram, apakah sastra masih memiliki makna dan tempat dalam ruang batin manusia? Dalam kebisingan politik, sejatinya suara lirih sastra masih didengar dan menyentuh hati warga dan pemangku kebijakan guna membuat negara-bangsa ini jadi lebih beradab dan berhati nurani.
Sejauh mana suara sastra memberi makna ketika dihadapkan pada kejadian sepanjang 2024 yang di luar nalar manusia, justru terjadi di ruang-ruang kebangsaan yang dinilai paling beradab: lembaga penegak hukum, pendidikan, dan keluarga. Polisi menembak siswa dan rekannya. Beberapa siswa merundung temannya hingga meninggal atau menderita sakit mental. Melenyapkan masa depan temannya dengan cara yang keji. Anak membunuh orangtuanya. Suami menganiaya istri dan anaknya. Istri membakar suaminya. Belum lagi soal korupsi yang kian menjadi-jadi, seperti gaya hidup sebagian politisi!
Kemudian, televisi dan media sosial berulang-ulang memberitakan modus pembunuhan, penganiayaan, pembakaran, perundungan, penembakan, kekejian, bunuh diri dengan berbagai alasan yang membuat rasa kemanusiaan kita tercabik. Kekejian dan kebrutalan tanpa empati diberitakan media berubah jadi hiburan pengisi waktu rehat keluarga. Betapa rasa empati dan penghargaan terhadap nyawa manusia terus merosot dalam taraf terendah di hati sebagian warga bangsa. Ajaran kebajikan agama dan kemanusiaan yang adil dan beradab seperti hanya angin lalu yang belum mampu memulihkan lahan kering hati manusia.
Dalam ruang digital, citra keburukan menjadi viral, lumrah menyingkirkan citra kebaikan. Sebagai pengisi waktu luang, ia terus meredupkan kehalusan ruang batin generasi layar di tengah lingkungan digital yang memesona dengan fantasi kesenangan dan kebahagiaan yang diajarkan oleh pemengaruh dengan pandangan dunia dan gaya hidup hedonisme dan konsumerisme.
Dalam tarikan harapan hidup yang tinggi dan sering jauh dari jangkauan itu, aneka fantasi hidup terus dijajakan dalam aneka platform media sosial. Tak heran, tawaran judi daring pun jadi primadona. Seperti pertaruhan harapan di tengah keisengan sebagian kalangan yang berubah menjadi depresi digital ketika adu peruntungan bagi kalangan bawah justru berubah jadi candu baru yang mencekik kehidupan dalam belitan penderitaan yang berlapis: kerugian dan utang.
Baca juga: Politik di Pentas Budaya Populer Digital
Menyimak beberapa peristiwa yang menimpa sebagian warga dan kehancuran nilai yang terjadi tersebut, menyadarkan betapa penting kini kita memperkaya ruang-ruang literasi kebangsaan. Ternyata pendidikan kewargaan dan budi pekerti yang ada selama ini seperti lumpuh di tengah aneka kejadian di luar nurani tersebut.
Di sini mungkinkah sastra bisa hadir? Apakah dengan membaca karya sastra yang baik, seorang anak manusia akan menjadi baik atau menjadi makhluk berempati tinggi untuk menghadapi lingkungan hidup yang keras? Kekuatan sastra adalah pada kemungkinannya dalam memperluas rasa kemanusiaan bagi pembacanya sehingga menjadi ruang literasi hidup individu.
Sastra adalah salah satu bentuk ekspresi manusia untuk memanusiawikan dirinya. Kebanyakan karya sastra konvensional tertulis, ada juga yang visual (seperti drama) dan lisan (seperti cerita rakyat). Bentuk utama karya sastra adalah prosa nonfiksi, prosa fiksi, puisi, drama, dan cerita rakyat. Di era digital, ruang ekspresi sastra meluas terutama bagi sastrawan dan seniman lokal dan jangkauan pembacanya tak terbatas.
Namun, dalam Why Reading Books Still Matters: The Power of Literature in Digital Times, Robert P Waxler dan Martha C Pennington (2017) mengingatkan mengenai budaya berbasis layar dan fokus kurikulum saat ini pada teknologi, sains, dan keterampilan praktis, yang sebenarnya tidak menyediakan dasar yang memadai untuk mengembangkan potensi anak secara penuh. Mereka berkeyakinan kekuatan sastra dan seni berperan penting menanamkan nilai-nilai manusia dalam mendorong perubahan. Pendidikan literasi yang mendesak adalah menekankan pentingnya pilihan bacaan sastra, nilai sastra, dan budaya buku guna menanamkan nilai-nilai tersebut.
Sebagai karya individual, sastra mentransmisikan budaya dari sudut pandang subyektif untuk memaknai kenyataan obyektif. Sastra berfungsi lebih luas dalam masyarakatnya. Sarana mempertanyakan kembali atau mengkritik nilai-nilai budaya, terutama nilai-nilai yang mengingkari rasa kemanusiaan.
Baca juga: Budaya Tanggap Bencana
Membangun kecintaan pada sastra berarti membuka medan pembelajaran bagi warga negara-bangsa yang beradab, ruang menumbuhkan empati, berbelas-kasih, tenggang rasa, menjunjung meritokrasi, menghargai kerja keras dan prestasi, merawat lingkungan dan mencintai kehidupan dalam arti yang luas dan dalam.
Di tengah gerak neo-liberalisasi pendidikan dan keyakinan sukses hidup serba-digital, apakah sastra kian terasing dari hati siswa, pendidik, dan orangtua? Sastra memang bukan obat penenang segala penyakit sosial politik atau medan pelarian psikologis untuk menyikapi hidup tanpa harapan. ”Kita harus mendengarkan semua orang di dunia dan tidak ada suara yang lebih baik daripada suara sastra untuk pengetahuan dunia ini,” ujar peraih Nobel Sastra 2008, Jean-Marie Gustave Le Clézio.
Suara sastra, jika menggunakan syair Rendra, seperti ”jerit hewan yang terluka”. Sastra adalah pekikan nurani manusia dalam narasi harapan yang kaya. Bagi Le Clézio, sastra digubah oleh orang-orang yang merasakan, bereksperimen, terkadang mereka harus menderita sendiri. Mereka mengekspresikan dalam buku-buku mereka, sebagian besar waktu, harapan, dan keinginan mereka bagi dunia yang lebih baik. ”Sastra mungkin adalah sekolah terbaik yang dapat kita berikan kepada anak-anak kita, untuk mendengarkan konser suara yang luar biasa ini yang merupakan ekspresi dunia,” demikian keyakinan Le Clézio.
Apakah potret Indonesia kini adalah gambaran dunia sastranya yang sedang ditinggalkan sebagian warganya? Jika demikian, kita harus memikirkan kembali pendidikan sastra dan seni (tidak hanya matematika) agar pertumbuhan kognisi dan empati atau rasa hati manusia sejak dini berjalan seimbang.
Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung dan Pengajar Luar Biasa di Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Brawijaya Malang