Inspirasi Rahayu Saraswati, Dukungan bagi Perempuan dan Orangtua Pekerja
Video Rahayu Saraswati membawa putrinya saat rapat di DPR menyejukkan. Namun, tak semua pekerja punya keistimewaan itu.

Neli Triana, Wartawan Kompas
Rahayu Saraswati, Wakil Ketua Komisi VII DPR, terekam kamera membawa anaknya saat rapat dengan salah satu menteri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/11/2024). Momen hangat itu dibicarakan publik di media sosial dan diberitakan di berbagai kanal media massa.
Perempuan yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra dan akrab dipanggil Sara tersebut terlihat tetap dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal sembari menikmati kebersamaan dengan putri kecilnya.
Di laman Kompas.com dijelaskan bahwa Sara tidak kali itu saja membawa anaknya saat ia bekerja. Saat sang anak sedang tidak ada jadwal sekolah, sedangkan ia harus bekerja, maka buah hatinya itu pun diajak ngantor.
Kemesraan Sara dan putrinya itu mengingatkan pada mantan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang membawa bayinya saat menghadiri sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, tahun 2018 lalu.
Trevor Mallard juga menggaet perhatian publik dunia pada 2019. Kala itu, Mallard yang menjadi Ketua DPR Selandia Baru mengasuh anak koleganya sembari memimpin sidang. Ia tampak santai menggendong dan menyusui bayi koleganya menggunakan botol susu bayi.
Laporan BBC.com, di Australia politisi Larissa Waters juga pernah menyusui bayinya saat sidang parlemen.
Sosok Ardern, Waters, Sara, juga Mallard mengingatkan khalayak bahwa menjadi orangtua yang mengasuh anak dan tetap bekerja bukan hal tak mungkin. Terlebih jika ada dukungan penuh dari orang sekitar.
Kemesraan dan perhatian langsung orangtua kepada anaknya, bahkan saat ayah atau sang ibu bekerja, itu menjadi angan-angan para pekerja perempuan maupun laki-laki di mana pun.
Sayangnya, bagi sebagian besar orang, bekerja sambil mengasuh anak adalah hal mustahil.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F06%2F22%2Fdef5b27a-0847-481e-98eb-dc30c244951a_jpg.jpg)
Sejumlah keluarga menitipkan anak mereka ke daycare karena tidak mempunyai asisten rumah tangga.
Pindah ke kota lain, menjadi pekerja, bertemu jodoh lantas menjalani kehidupan bersama menjadi kisah manis yang banyak dialami perantau. Namun, semua itu berubah ketika memiliki anak.
Tidak semua orang bisa mendatangkan orangtua, saudara, atau asisten rumah tangga (ART) dari kampung halaman untuk membantu mengasuh anak. Sudah menjadi kisah jamak para pekerja perkotaan kelimpungan mencari pengasuh yang dapat dipercaya atau fasilitas penitipan anak yang aman.
Pada Pasal 30 UU KIA Ayat 3 dan 4 diatur agar tempat kerja wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; penyediaan ruang laktasi; dan tempat penitipan anak.
Kerepotan karena berganti-ganti ART atau pengasuh tiap beberapa bulan sekali dialami banyak pasangan yang baru memiliki anak di perkotaan. Entah karena tidak cocok atau penyebab lain.
Perempuan pekerja yang juga seorang istri dan ibu banyak yang berhenti bekerja demi mengasuh anak. Peran ini diambil karena dalam norma sosial yang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan mengasuh anak. Laki-laki menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah utama.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F11%2F16%2Fa58fa9ef-f1e1-42ab-a36b-982ac6f4a247_jpg.jpg)
Seorang ibu merias anaknya sebelum tampil di Sanggar Anak Akar, Jakarta, Sabtu (16/11/2024).
Bagi yang keuangannya cekak, begitu salah satu pihak tak bekerja, pemasukan keluarga pun berkurang. Kondisi seperti ini yang terkadang membuat ekonomi keluarga stagnan, bahkan dalam kondisi tertentu membuat sulit terlepas dari jerat kemiskinan.
Perempuan yang terpaksa mengubur cita-citanya untuk berkembang menekuni karir dalam bidang tertentu ini tak jarang memendam sesal seumur hidup. Salah satu yang trending di X beberapa hari terakhir mengulas tentang isu ini.
Isu tersebut bagian dari isu lebih besar, yaitu belum terpenuhinya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Kondisi itu satu dari sederet alasan lain yang memunculkan orang memilih tidak menikah dan/atau menikah tetapi tidak memiliki anak (childfree).
Semakin banyak perempuan tidak berdaya berarti memupus salah satu target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Pemberdayaan perempuan dapat diartikan sebagai proses penyadaran dan pembentukan kapasitas untuk partisipasi yang lebih besar. Tujuannya untuk mewujudkan persamaan derajat yang lebih besar antara perempuan dan laki-laki. Juga tercapainya kesejahteraan untuk seluruh umat manusia.

Dilema ”daycare”
Di perkotaan seperti Jakarta dan sekitarnya, fasilitas penitipan anak sebenarnya semakin banyak ditemukan. Kondisi ini merespons makin banyaknya keluarga dengan kedua orangtua bekerja, termasuk keluarga dengan perempuan sebagai orangtua tunggal.
Data Badan Pusat Statistik pada Februari 2024 menunjukkan, terdapat 142,18 juta orang bekerja dari 281 juta penduduk Indonesia. Angka itu naik 3,55 juta orang dibandingkan tahun 2023. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan tahun ini mencapai 55,41 persen atau naik sekitar 1 persen dibandingkan 2023. Peningkatan TPAK perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Meskipun semakin banyak usaha daycare, tetaplah belum menjawab kebutuhan warga perkotaan yang meliputi jaminan keamanan dan keselamatan anak serta biayanya ramah di kantong.
Laporan harian Kompas pada Agustus lalu memaparkan bahwa 98 dari 110 daycare di Depok, Jawa Barat, tidak berizin. Data itu terungkap seiring investigasi terhadap kasus penganiayaan bayi di salah satu fasilitas penitipan anak di kota tersebut.
Baca juga:
- Dari Kawasan Teluk Jakarta Melihat Kawasan Teluk Besar di China
- Cara China Sediakan Rumah untuk Warganya
- Guangzhou, Sepeda Motor Listrik hingga ”Drone” Berpenumpang
Daycare tak berizin disinyalir beroperasi di banyak kota. Hal ini disebabkan daycare masih dipandang sebagai fasilitas eksklusif, bukan fasilitas umum. Syarat perizinan berdiri dan beroperasinya fasilitas penitipan anak bisa berbeda di tiap daerah dengan kencenderungan sama: berbiaya mahal.
Daycare sebagai fasilitas eksklusif turut tergambar dari biaya yang dikenakan bagi setiap konsumennya. Saat memasukkan kata kunci ”biaya daycare Jakarta” di mesin pencari segera bermunculan sejumlah situs resmi fasilitas penitipan anak berikut harga layanannya.
Di Jakarta Selatan, rata-rata daycare mematok biaya harian di atas Rp 300.000 per anak. Biaya bulanan Rp 3 juta-Rp 7 juta per anak. Durasi penitipan harian 6-8 jam, di atas itu dikenai biaya tambahan. Itu belum biaya pendaftaran, makan, dan layanan tambahan lain.
Selain biaya besar, usaha penitipan anak menawarkan jam layanan yang kurang sesuai dengan jam kerja umum di Jakarta dan sekitarnya berikut waktu yang dihabiskan selama di perjalanan. Tidak heran, ”daycare ala-ala” muncul di mana-mana, termasuk praktik menitipkan ke tetangga atau kenalan dekat dengan bayaran lebih murah. Jaminan keselamatan anak tentu makin tidak terjamin.

UU KIA
Keresahan tentang fasilitas penitipan anak yang aman lagi terjangkau oleh semua kalangan pekerja sebenarnya telah terjawab dengan disahkannya Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) pada medio tahun ini.
Pada Pasal 30 UU KIA Ayat 3 dan 4 menyebut, tempat kerja wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; penyediaan ruang laktasi; dan tempat penitipan anak. Selain itu, dukungan juga diberikan kepada ibu yang bekerja dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja.
Tidak semua jenis pekerjaan dapat dilakukan sambil mengasuh anak dan tidak semua tempat kerja aman serta nyaman untuk anak, maka amanat keberadaan daycare tidak dapat disangkal lagi. Penitipan anak ini wajib disediakan oleh pemberi kerja di lingkungan tempat kerja atau bekerjasama dengan pemerintah setempat menyediakan fasilitas umum bersama berupa daycare dekat dengan kawasan perkantoran dan pabrik.
Namun, amanat UU KIA tersebut belum segera dilaksanakan. Belum lengkapnya peraturan pelaksanaan di bawah UU kemungkinan menjadi salah satu penyebabnya.
Hingga saat ini, perusahaan/kantor/pabrik yang menyediakan daycare untuk karyawannya terhitung masih sedikit. Padahal, jika ini dilakukan, terlebih dengan biaya lebih murah dari patokan pasar apalagi gratis, akan sangat membantu para pekerjanya. Ujungnya, institusi tempat pekerja bekerja juga yang menikmati produktivitas pekerjanya karena lebih tenang dan fokus. Sejauh ini, baru fasilitas ruang laktasi atau ruang untuk menyusui maupun memompa air susu ibu yang disediakan oleh perusahaan.
Baca juga:
- Mitologi Phoenix di Balik Jejak Panjang Tragedi Kebakaran Perkotaan
- ”Om Telolet”, antara Hobi, Cuan, dan Maut
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F04%2Fb66bf004-130e-410a-ae76-3873261ff594_jpg.jpg)
Ibu dan anak memeriksakan kesehatan mereka pascapersalinan di Pusksemas Halmahera, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (4/6/2024).
Dari laman kemendikbud.go.id layanan daycare di satuan pendidikan secara nasional perlu dioptimalkan untuk meningkatkan kualitas layanan lembaga serta memastikan perlindungan bagi anak di ruang publik. Kolaborasi antarkementerian terkait perlu dijalankan guna menyusun pedoman layanan daycare yang berkualitas di satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) dan nantinya menjadi acuan pemerintah daerah.
Pejabat serta tokoh publik, terutama perempuan pekerja dan sosok pemimpin seperti Sara yang memahami pentingnya kedekatan antara orangtua dan anak sehari-hari, selayaknya dapat aktif memperjuangkan sekaligus memastikan amanat UU KIA segera dilaksanakan. Jangan sampai justru menguatkan pendapat publik bahwa kesetaraan perempuan dan laki-laki hanya monopoli kelas berpunya, berkuasa, pemegang jabatan saja.
Mewujudkan fasilitas daycare di setiap tempat kerja dapat menjadi langkah kecil melaksanakan UU KIA serta selangkah lebih dekat mencapai kesetaraan perempuan dan laki-laki. Langkah yang tak kalah penting dibandingkan pelaksanaan janji kampanye presiden dan wakil presiden baru, seperti makan siang gratis di sekolah dan menggenjot kemajuan di bidang pendidikan.
Baca juga: Catatan Urban