Kemenangan Donald Trump di pilpres AS memaksa Qatar mengalkulasi ulang misi diplomasinya dalam gencatan senjata di Gaza.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN
·4 menit baca
KOMPAS/SALOMO
Musthafa Abd Rahman
Kemenangan kandidat presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, dalam pemilu presiden AS pada 5 November 2024 membuat masa depan gencatan senjata di Jalur Gaza menjadi tidak menentu. Dalam hal ini, Qatar yang selama ini bertindak sebagai salah satu mediator utama—bersama Mesir dan AS—dalam perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza antara Hamas dan Israel berada dalam posisi dilematis pula.
Posisi Qatar tampak sulit setelah kemenangan Trump dalam pilpres AS itu. Qatar sebenarnya lebih menghendaki kandidat Partai Demokrat Kamala Harris yang memenangi pilpres AS. Namun, Qatar kini terpaksa menerima fakta baru, yaitu kemenangan Trump.
Hubungan Qatar dan Trump selama ini dikenal kurang harmonis. Qatar punya pandangan, meskipun tidak terang-terangan bahwa Trump berada di balik aksi blokade kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, plus Mesir) terhadap Qatar pada tahun 2017. Blokade itu baru berakhir pada awal tahun 2021.
Trump dikenal kurang bersimpati kepada Qatar karena Qatar menjadi tuan rumah kelompok-kelompok yang dianggap radikal di mata Trump, seperti Hamas, Taliban (sebelum AS mundur dari Afghanistan pada tahun 2021), dan Ikhwanul Muslimin (IM).
AP PHOTO/OSAMA FAISAL
Kantor kelompok Taliban di Doha, Qatar, terlihat dalam foto tanggal 18 Juni 2013.
Maka, Qatar kini akan berhadapan lagi dengan Trump segera setelah Trump resmi menjabat presiden AS lagi pada 20 Januari 2025. Qatar memang harus beradaptasi lagi dengan situasi baru pasca-kemenangan Trump dalam pilpres AS.
Itulah yang mendorong Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammad bin Abdulrahman Al-Thani hari Selasa, 19 November 2024, mengunjungi Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), untuk menemui Presiden UEA Sheikh Mohamed bin Zayed Al-Nahyan guna membahas upaya gencatan senjata di Timur Tengah.
Qatar menyadari dan memahami kedekatan Trump dan MBZ. Karena itu, Qatar merasa perlu menggandeng UEA dalam upaya mewujudkan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Qatar dan UEA sepakat bahwa konflik di Timur Tengah harus tidak boleh meluas dan segera terwujud stabilitas di kawasan.
Seperti diketahui, Presiden UEA Sheikh Mohamed bin Zayed al-Nahyan—juga akrab disapa dengan MBZ, inisial namanya—dikenal punya hubungan dekat dengan Trump. Qatar menyadari dan memahami kedekatan Trump dan MBZ itu. Maka, Qatar merasa perlu menggandeng UEA dalam upaya mewujudkan gencatan senjata di Jalur Gaza pada masa jabatan kedua Trump sebagai presiden AS.
AFP/GPO
Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohamed bin Zayed al-Nahyan (kanan) menerima kunjungan PM Israel Naftali Bennett di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 13 Desember 2021.
Sebelum ini, UEA tidak terlibat sama sekali dalam perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza. Hal ini, antara lain, karena hubungan UEA dan Palestina kurang harmonis pasca-kesepakatan Abraham tahun 2020. Kesepakatan Abraham adalah kesepakatan damai antara Israel dan sejumlah negara Arab, yaitu, UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Palestina saat itu menuduh tindakan UEA mencapai kesepakatan damai dengan Israel sangat merugikan Palestina karena belum terwujud solusi Palestina secara komprehensif. UEA pun menyadari hal itu dan mengambil sikap berjarak dengan isu Palestina terkait dengan kemarahan Palestina tersebut.
Akan tetapi, kemenangan Trump dalam pilpres AS akan mengubah konstelasi politik terkait isu Palestina itu. UEA bisa didorong maju ke depan lagi terkait dengan isu Palestina untuk memanfaatkan hubungan dekat antara Trump dan MBZ.
Adapun Qatar harus melakukan kalkulasi politik baru terkait isu Palestina untuk menghadapi era periode kedua Trump sebagai presiden AS. Maka, Qatar memutuskan membekukan sementara misinya sebagai mediator perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza. Keputusan Qatar itu bisa dipastikan untuk menunggu sikap Trump sebagai presiden baru AS atas isu perang Gaza.
REUTERS/BRENDAN MCDERMID
Presiden AS Donald Trump memberikan aplaus kepada PM Israel Benjamin Netanyahu dalam konferensi pers bersama mengenai proposal rancangan perdamaian Timur Tengah di Ruang Timur Gedung Putih di Washington DC, AS, 28 Januari 2020.
Kementerian Luar Negeri Qatar hari Sabtu, 16 November 2024, menyampaikan akan memulai lagi misinya sebagai mediator jika semua pihak (Hamas dan Israel) punya keinginan politik untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Sheikh Majed al-Ansari membantah anggapan bahwa Qatar mundur secara permanen dari misi sebagai mediator.
Ia menegaskan, Qatar siap memulai lagi misinya sebagai mediator bila ada situasi yang kondusif bagi keberhasilan perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Bahkan, isu keberadaan kantor Hamas di Qatar turut simpang siur pula. Laporan sejumlah media asing menyebutkan, Qatar akan menutup kantor Hamas di Doha menyusul gagalnya berbagai perundingan untuk mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza.
Sejumlah analis bahkan juga mengatakan, keputusan Qatar menutup kantor Hamas di Doha sebagai sikap adaptasi Qatar untuk menyambut periode kedua Trump sebagai presiden AS.
Qatar telah membantah keras laporan-laporan media asing yang melansir keputusan Qatar telah mengambil keputusan menutup kantor Hamas di Doha.
AFP/MAHMUD HAMS
Pejabat senior Hamas Khaled Mashaal (kiri) di Doha, Qatar, 2 Agustus 2024, menerima ungkapan bela sungkawa atas meninggalnya Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh dalam upacara pemakaman Haniyeh di Doha pada hari itu.
Jubir Kementerian Luar Negeri Qatar Majed al-Ansari menegaskan, jika ada keputusan menutup kantor Hamas di Doha, kabar itu akan diumumkan oleh Kementerian Luar Negeri Qatar, bukan lewat media asing. Ia menyebut tujuan keberadaan kantor Hamas di Doha sebagai jalur komunikasi yang membantu tercapainya kesepakatan dalam perundingan gencatan senjata pada perang Gaza sebelumnya, seperti perang Gaza tahun 2021, 2014, 2012, dan 2009.
Ansari juga mengungkapkan bahwa tim perunding Hamas dalam perundingan gencatan senjata tidak berada di Doha, tetapi berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain.
Penegasan Ansari itu tentu dalam upaya meringankan beban politik Qatar. Jika para elite Hamas masih berada di Doha di tengah pergantian kepemimpinan AS menuju periode kedua Trump sebagai presiden AS, Washington bakal semakin bersikap keras terhadap Hamas.
Pemerintah AS hari Rabu, 20 November 2024, diberitakan menjatuhkan sanksi kepada sejumlah pemimpin Hamas. Sejumlah pejabat AS juga diberitakan telah meminta Qatar meninjau kembali keberadaan kantor Hamas di Doha.
Menghadapi tekanan politik dari AS itu, Qatar membekukan sementara misi mediatornya dalam perundingan gencatan senjata di Gaza sambil menunggu Trump menjabat secara resmi sebagai presiden AS pada 20 Januari 2025.