Tidak ada jalan lain untuk mengatasi dampak negatif dari ”politik sentimen”, kecuali kembali ke model politik nalar.
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
·3 menit baca
PANDU LAZUARDY PATRIARI
Ulil Abshar Abdalla, Penulis Analisis Politik
Seusai pemilu presiden Amerika Serikat yang berlangsung pada 5 November lalu, muncul diskusi hangat, terutama tentang pokok soal ini: kenapa Donald Trump bisa menang? Kalangan ”kiri” di ”Negeri Paman Sam” yang merupakan pendukung Kamala Harris benar-benar kaget dan tidak mengira calon mereka kalah. Lalu, dalam beberapa hari terakhir, berlangsung proses soul searching, mencari penjelasan atas kekalahan ini; proses yang tentu saja lumrah.
Salah satu penjelasan yang muncul, sebagaimana ditulis oleh Michael Tomasky, editor The New Republic, ialah soal perasaan dan persepsi. Banyak pihak yang menjelaskan kemenangan Trump, antara lain, melalui situasi ekonomi yang memburuk, terutama terkait dengan naiknya inflasi dan turunnya daya beli masyarakat.
Tomasky menolak ”tesis ekonomi” itu. Ia mengajukan tesis lain, yaitu ”tesis persepsi”. Situasi ekonomi Amerika menjelang lengsernya Presiden Joe Biden, menurut Tomasky, sebetulnya baik-baik saja. Inflasi mulai mendatar dan daya beli masyarakat juga mulai naik, hingga majalah The Economist menyebut bahwa ekonomi di ujung era Joe Biden justru menjadi pusat keirian dunia (the envy of the world). Ekonomi sedang baik-baik saja. Yang memburuk, menurut Tomasky, ialah persepsi soal kondisi ekonomi.
Dengan kata lain: yang memburuk bukan keadaan faktual, melainkan ”perasaan” dan persepsi tentang keadaan itu. Oleh karena itu, kata Tomasky, yang dihadapi oleh Kamala Harris bukanlah keadaan faktual, melainkan perasaan publik yang belum tentu berkorelasi langsung dengan keadaan itu. Sementara itu, perasaan bisa ”direkayasa” melalui mesin tertentu; mesin kampanye. Dengan mesin kampanye yang canggih, perasaan publik bisa diarahkan ke jurusan tertentu sesuai dengan kepentingan aktor-aktor politik yang sedang berkompetisi.
AFP/CHARLY TRIBALLEAU
Para pendukung Kamala Harris, Wakil Presiden AS yang juga kandidat Presiden dari Partai Demokrat, mengibarkan bendera di Howard University, Washington DC, 5 November 2024.
Apa yang ditulis oleh Tomasky ini persis mengenai jantung masalah dalam demokrasi modern, atau pascamodern. Kita, saat ini, berhadapan dengan problem the politics of sentiment. Keadaan ini kian akut di dalam masyarakat digital yang ditandai dengan persebaran informasi yang bersifat spontan dan simultan. Melalui media sosial, publik bisa mengemukakan perasaannya tentang apa saja secara spontan, tanpa melalui perantaraan ”kuratif” dari MSM (mainstream media; media arus utama). Akan tetapi, pada saat yang sama, perasaan dan persepsi publik itu bisa juga dibentuk oleh ”mesin kampanye” yang menggelontorkan secara masif narasi tertentu. Arena pertempuran bukan lagi mengenai fakta, melainkan bagaimana ”memetik” fakta (fact cherry-picking) dengan cara tertentu agar perasaan publik bisa ”dimanipulasi”.
Apa yang ditulis oleh Tomasky mengingatkan kita pada apa yang selama ini sudah sering dibincangkan: era post-truth, era di mana kebenaran faktual tidak lagi menjadi titik penentu. Yang menentukan ialah opini, persepsi, dan perasaan seseorang yang subyektif. Pertempuran dalam sebuah demokrasi di era digital ini, dengan demikian, bukan lagi tentang data dan fakta, melainkan bagaimana memenangkan perasaan publik; the war to win the public sentiment.
Dalam analisis Tomasky, Trump menang bukan karena ia memiliki gagasan dan usulan programatik yang lebih baik dari Kamala Harris, melainkan karena dia menang dalam ”memanipulasi” perasaan publik. Di sini, Tomasky menyalahkan kalangan Demokrat yang terlalu ”naif” masih bermain dengan ”langgam lama”, yaitu melalui media-media tradisional, seperti dua koran utama, The New York Times dan Washington Post, atau kanal-kanal TV, seperti CNN, MSNBC, dan PBS.
Sementara itu, kalangan Republik pendukung Trump sudah bergerak maju dan jauh sekali dengan memakai media yang lebih canggih, terutama platform X (dulunya Twitter) dan podcast. Sejumlah podcast politik memang memiliki pengaruh amat besar, seperti podcast yang dikelola oleh sosok-sosok konservatif Tucker Carlson dan Joe Rogan.
KOMPAS/MUHAMMAD SAMSUL HADI
Warga pemilih mengantre sebelum menggunakan hak pilih mereka di tempat pemungutan suara (TPS) STEAD Recreation Center, Washington DC, AS, Selasa (5/11/2014).
Dengan kata lain, Trump menang bukan karena ”substansi”, melainkan karena media yang berhasil direkayasa untuk memanipulasi perasaan publik. Kita memang hidup dalam sebuah demokrasi, tetapi demokrasi yang beroperasi dalam ruang sosial yang sudah berubah sama sekali. Di sini, kita tidak lagi bisa mengabaikan teknologi sebagai ”faktor konstitutif” atau pembentuk terhadap diskursus publik dalam ruang demokrasi. Di sini, kita melihat dampak disruptif dari teknologi atas demokrasi modern.
Dalam skala dan lingkup yang berbeda, kita, di Indonesia, juga mengalami keadaan yang kurang lebih serupa. Sebagian kalangan mungkin masih menganggap percakapan di ruang publik digital sebagai dinamik yang terisolasi dari keadaan nyata. Realitas digital dianggap sebagai urusan segelintir orang dan tidak berhubungan dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Ini jelas keliru. Dalam beberapa pilpres terakhir ini, kita berhadapan persis dengan problem yang diulas oleh Tomasky itu, yakni perang membentuk dan mengarahkan perasaan publik. Atau dengan bahasa yang lebih blak-blakan: perang memanipulasi sentimen.
Tantangan demokrasi di era digital memang persis di sini: bagaimana mengatasi dampak-dampak negatif dari ”politik sentimen”. Tidak ada jalan lain kecuali membawa kembali model politik yang lain; politik nalar. Ialah politik yang tidak membiarkan perasaan subyektif menjadi penentu utama.