Kecemasan Timur Tengah Pasca-kemenangan Trump
Jika Trump provokasi Israel agar terus berperang di Gaza, Lebanon, dan wilayah Timteng, bisa meletus Perang Dunia III.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F05%2F83f4c4d2-1830-4f50-9519-d163d4e0e786_jpg.jpg)
Musthafa Abd Rahman
Kemenangan kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, atas kandidat dari Partai Demokrat, Kamala Harris, pada pemilu presiden AS, 5 November 2024, membawa kecemasan bagi banyak pemerintah dan publik di Timur Tengah. Pasalnya, banyak kenangan kelam Timur Tengah, khususnya bagi Palestina, Iran, Suriah, dan kawasan Arab Teluk, pada era jabatan Presiden Trump pertama tahun 2017-2021.
Trump menjadi presiden AS pertama yang mengakui Jerusalem bersatu (Jerusalem barat dan timur) sebagai ibu kota Israel pada 7 Desember 2017. Saat mengakui kota Jerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump belum genap satu tahun menjabat presiden AS. Bisa disimpulkan, kebijakan mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan kebijakan prioritas pemerintah Trump saat itu.
Langkah Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel saat itu merupakan tamparan terhadap Palestina khususnya serta dunia Arab dan Islam pada umumnya.
Baca juga: Motif Trump di Balik Pengakuan atas Jerusalem
Hanya beberapa bulan setelah mengakui kota Jerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump pada 8 Mei 2018 mengumumkan pembatalan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran antara Iran dan AS plus beberapa negara besar lainnya (China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman), yang dikenal dengan P5+1, pada tahun 2015. AS kemudian menjatuhkan sanksi kembali secara maksimal terhadap Iran.
Beberapa bulan kemudian, Trump membuat kejutan besar lagi, yaitu AS mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan milik Suriah pada 21 Maret 2019. Dataran Tinggi Golan direbut dan diduduki Israel pada perang Arab-Israel pada Juni 1967.

Tentara Israel berdiri di area terbuka di dekat Gunung Bental, sebuah area pemantauan di wilayah pendudukan Dataran Tinggi Golan, dengan pandangan luas ke arah wilayah Suriah di sekitar pintu perbatasan Quneitra, 21 Januari 2019.
Semua langkah tidak populer Trump terkait isu Palestina, Iran, dan Dataran Tinggi Golan saat itu mendapat kritikan dunia. Namun, Trump tidak peduli dengan semua kritikan tersebut.
Tak kalah besar guncangan di Timur Tengah (Timteng) pada era kepresidenan Trump pertama adalah blokade kuartet negara Arab, yaitu Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), plus Mesir atas Qatar pada 5 Juni 2017. Negara Arab Teluk yang berada di bawah payung Organisasi Kerja Sama Teluk (GCC), yang terkenal sangat solid, segera ambruk saat itu.
Baca juga: Pengadilan PBB Menangkan Qatar dalam Kasus Blokade Udara oleh Kuartet Arab
Perpecahan di negara-negara Arab Teluk tersebut segera membawa dampak perpecahan yang lebih luas di Timur Tengah. Turki dan Iran berada di belakang Qatar dalam menghadapi kuartet Arab yang memblokade Qatar.
Trump saat itu dituduh berada di balik aksi blokade kuartet Arab atas Qatar karena aksi blokade tersebut terjadi hanya beberapa pekan setelah kunjungan Trump ke Arab Saudi pada Mei 2017.
Trump saat itu dituduh berada di balik aksi blokade kuartet Arab atas Qatar.
Karena itu, kekalahan Trump dari Joe Biden pada pilpres AS tahun 2020 membawa kegembiraan di Timteng. Pada era Biden, Qatar dan kuartet Arab melakukan rekonsiliasi dalam KTT GCC di kota Al Ula, Arab Saudi, 5 Januari 2021.
Pada era Biden pula sempat dimulai lagi perundingan isu nuklir Iran antara AS dan Iran. Namun, hal itu gagal mencapai kesepakatan seperti tahun 2015. Timur Tengah cukup kondusif pada era Biden.
Meskipun Biden tidak menganulir keputusan Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, dunia Arab lebih nyaman bekerja sama dengan pemerintah Biden.

Presiden AS Donald Trump (memakai jas) memegang sebilah pedang dan mengayunkannya bersama para penari tradisional dalam upacara penyambutan atas kedatangannya di Istana Murabba, Riyadh, Arab Saudi, Sabtu, 20 Mei 2017.
Kini, Timur Tengah harus menghadapi fakta baru, yakni kembalinya Trump sebagai presiden AS setelah ia memenangi pilpres pada 5 November 2024. Di media-media Timur Tengah muncul pertanyaan: apakah Trump saat menjabat presiden periode pertama 2017-2021 akan berubah pada periode kedua 2025-2029 nanti?
Jika Trump pada periode kedua nanti—kerap diistilahkan dengan ”Trump 2.0”—sama seperti Trump pada periode pertama, hal itu jadi musibah bagi dunia Arab dan Timur Tengah pada umumnya, kecuali Israel yang akan diuntungkan.
Jika Trump pada periode kedua nanti--kerap diistilahkan dengan "Trump 2.0"--sama seperti Trump pada periode pertama, hal itu jadi musibah bagi dunia Arab dan Timur Tengah.
Israel tentu berharap Trump periode kedua nanti seperti Trump periode pertama. Sebaliknya dunia Arab, khususnya Palestina dan Iran, berharap ada perubahan kebijakan Trump pada periode kedua nanti dalam bentuk kebijakan yang lebih berimbang dan rasional,
Baca juga: Politik Luar Negeri Trump: Sangat Pro-Israel, Sangat Keras terhadap China
Trump pun kini menghadapi situasi Timur Tengah yang berubah total dalam bentuknya yang sangat buruk, yaitu meletusnya perang Gaza, perang Lebanon, dan konflik bersenjata Iran-Israel.

Presiden terpilih AS, Donald Trump, menghadiri pertemuan dengan para anggota DPR dari Partai Republik di Washington DC, AS, Rabu (13/11/2024).
Tentu yang ditunggu dengan penuh cemas adalah kebijakan Trump terkait isu besar di Timur Tengah saat ini, yaitu perang Gaza, perang Lebanon, dan konflik Iran-Israel. Seperti diketahui, Presiden Joe Biden gagal menghentikan perang Gaza, mencegah meletusnya perang Lebanon, dan menurunkan ketegangan Iran-Israel.
Biden sebenarnya sudah berusaha keras menghentikan perang Gaza dengan mengusulkan proposal gencatan senjata pada Mei 2024, tetapi Israel tidak menggubrisnya. Maka, pasca-gagalnya Biden, kini hanya pada Trump harapan ditumpahkan.
Baca juga: Trump Pilih Politisi Pro-Israel Garis Keras sebagai Dubes AS di PBB
Ada beberapa kemungkinan kebijakan yang akan diambil Trump nanti.
Pertama, Trump semakin memprovokasi Israel agar terus mengobarkan perang di Gaza, Lebanon, dan wilayah Timur Tengah lainnya. Jika skenario ini yang terjadi, perang di Timur Tengah semakin meluas dengan tidak menutup kemungkinan melibatkan Turki dan Iran dalam menghadapi Israel. Dalam hal ini, Perang Dunia III bisa meletus dari Timur Tengah.

Asap tebal mengepul menyusul gempuran udara oleh Israel di permukiman Chouaifet, Beirut selatan, Lebanon, Kamis (14/11/2024).
Skenario kedua, Trump bersikap lebih rasional dengan meminta Israel menghentikan perang Gaza dan Lebanon dengan membuka perundingan gencatan senjata di Gaza dan Lebanon. Jika skenario ini yang terjadi, perang Gaza dan Lebanon segera berakhir, sekaligus menurunkan ketegangan di Timur Tengah.
Tentu skenario kedua ini yang sangat diharapkan akan dilakukan oleh Trump segera setelah menjabat presiden AS pada 20 Januari 2025. Kini, masyarakat internasional, khususnya publik Timur Tengah, sangat menunggu kebijakan Trump. Semua isu Timur Tengah saat ini masih menggantung hingga tampilnya Trump secara resmi kembali menjabat presiden AS pada akhir Januari 2025.
Musthafa Abd Rahman, wartawan Kompas 1991-2022