Mundurnya Qatar sebagai mediator gencatan senjata membuat masa depan perdamaian Palestina-Israel di ujung tanduk.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
AFP/EYAD BABA
Reaksi seorang perempuan warga Palestina terhadap serangan militer Israel ke tenda-tenda pengungsi warga di halaman Rumah Sakit Martir Al Aqsa, Deir el Balah, Jalur Gaza, Sabtu (9/11/2024).
Harapan warga Palestina dan Lebanon untuk segera menikmati udara tanpa kepulan asap mesiu kembali kandas. Perdamaian makin sulit direngkuh.
Pemerintah Qatar yang selama ini menjadi mediatorutama negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas memutuskan mundur. Nasib putaran terbaru negosiasi yang diawali lagi pada pertengahan Oktober lalu menjadi tidak tentu. Memang masih ada Mesir serta Amerika Serikat (AS) yang bisa menjadi aktor pendorong. Namun, peran Qatar sulit tergantikan.
Sejak tahun 2012, Qatar adalah ”rumah” bagi para pemimpin politik Hamas. Mereka berkantor di Doha. Di kota itu, Pemerintah Qatar memberi keleluasaan bagi Hamas untuk menjalankan misi diplomasi. Di Doha, Hamas leluasa bertemu dengan banyak delegasi dari beragam negara dan mitra dialog mereka. Posisi Doha menjadi strategis lantaran menjadi titik bertemu para pihak yang terkait dengan konflik di Palestina.
AFP/MAHMUD HAMS
Para pelayat menyampaikan pernyataan dukacita kepada pemimpin senior Hamas, Khaled Mashaal (kiri), dan Ziyad Nakhaleh (kedua dari kiri), serta kepada Sekjen Jihad Islam saat upacara pemakaman pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Doha pada 2 Agustus 2024. Haniyeh tewas dalam sebuah serangan bom di Teheran yang diduga dilakukan oleh Israel.
Dukungan itu memupuk rasa percaya Hamas kepada otoritas Qatar. Di sisi lain, Qatar adalah salah satu sekutu utama AS di kawasan Timur Tengah. Dalam konteks kawasan, posisi Qatar tersebut—khususnya terkait konflik antara Hamas dan Israel—menjadi sangat strategis, tempat bertemu para pihak yang mewakili beragam kepentingan.
Sayangnya, Israel dan Hamas tidak memperlihatkan keseriusan untuk mencapai perdamaian. Merujuk The New York Times, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kerap mengubah persyaratan dan memanfaatkan sejumlah hal, salah satunya pemilihan presiden AS, untuk menunda negosiasi. Sementara Hamas, sejak kehilangan sejumlah pemimpinnya, juga tidak memperlihatkan perubahan sikap.
Melihat ketidakseriusan para pihak, Qatar memutuskan mundur dari perannya sebagai mediator. Persoalan tak berhenti di situ. Menyusul keputusan Qatar, AS menilai keberadaan kantor Hamas di Doha menjadi tidak relevan lagi. Washington disebut-sebut juga meminta Qatar untuk mendesak Hamas keluar dari negeri tersebut.
Kompas
Pemerintah Qatar memutuskan menangguhkan perannya sebagai mediator proses gencatan senjata antara kelompok Hamas dan Israel.
Situasi itu membuat masa depan perdamaian Palestina-Israel berada di ujung tanduk. AS tampaknya tak bisa menjadi penengah lantaran dalam konflik kali ini, Washington ”secara tidak langsung” menjadi pihak yang terkait. Sejumlah warga yang disandera Hamas pascaserangan pada 7 Oktober lalu adalah warga AS. Salah satunya adalah Hersh Goldberg.
Sayangnya, Goldberg dikabarkan tewas di tangan Hamas. Kembali merujuk The New York Times, Washington kecewa dan melihat tindakan Hamas itu sebagai wujud ketidakseriusan Hamas mencapai gencatan senjata.
Apabila tidak ada lagi pihak yang memosisikan diri di tengah dan dapat dipercaya, proses negosiasi menjadi seperti bertepuk sebelah tangan. Tentu ini kemunduran besar bagi Gaza dan Israel. Sebab, sebelumnya, lewat sejumlah kesepakatan yang dicapai, ratusan sandera dapat dipulangkan, berton-ton bantuan kemanusiaan mengalir lagi ke Gaza, dan udara Palestina bebas dari kepulan asap yang bercampur residu peluru.
Editor:
ANDREAS MARYOTO, BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO