Dua Wajah Penegakan Hukum
Praktik hukum yang tidak terbebas dari korupsi membuat keadilan selalu berjarak dengan mereka yang lemah.
Akhir-akhir ini penegakan hukum di negara ini mempertontonkan kepada publik dua sisi mata uang yang sangat kontras.
Lihat saja soal penggunaan fasilitas jet pribadi oleh putra bungsu dan menantu Presiden Joko Widodo. Bandingkan dengan I Nyoman Sukena yang memelihara satwa landak Jawa di Bali dan Kakek Priyono (61) yang memelihara ikan aligator di Malang.
Meskipun jaksa akhirnya menuntut bebas Sukena, perbandingan peristiwa di atas tetap menunjukkan praktik hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Walau tidak apple to apple, gambaran peristiwa fasilitas jet pribadi dan pemelihara hewan ini menimbulkan kesan hukum tak berlaku sama bagi semua warga. Hukum seolah memiliki kasta (stratifikasi).
Baca juga: Reformasi Pidana Administrasi
Jet pribadi
Publik mempersoalkan penggunaan jet pribadi oleh pejabat dan keluarganya karena berpotensi gratifikasi.
Hal itu karena gratifikasi mencakup pemberian dalam bentuk apa pun kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, termasuk keluarga pejabat negara, yang terkait dengan jabatannya.
Bentuk gratifikasi bisa berupa uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, wisata, hingga perawatan kesehatan.
Ubaidilah Badrun telah melaporkan soal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK yang awalnya hendak minta klarifikasi Kaesang Pangarap kemudian berubah haluan. KPK menyatakan Kaesang tak perlu klarifikasi karena bukan penyelenggara negara.
Sementara laporan yang sama untuk Bobby Nasution, 6 September 2024, sejauh ini belum ada tindak lanjut.
Ada apa dengan KPK? Tidak hanya di Indonesia, Septian Hartono, warga negara Singapura, juga telah melaporkan dugaan keterlibatan Garena soal jet pribadi tersebut ke Biro Investigasi Praktik Korupsi (The Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB) Singapura.
Garena merupakan perusahaan yang berbasis di Singapura, yang dinaungi perusahaan induk SEA Limited, yang juga membawahi e-commerce Shopee.
Penggunaan jet pribadi tersebut pantas membelalakkan mata publik. Apabila memakai pesawat jenis Gulfstream G650, biaya sewa per jamnya di kisaran Rp 265,8 juta hingga Rp 308,8 juta. Fantastis.
Profesor Kebijakan Publik di University of Adelaide, Australia, Adam Graycar, mengatakan, walau hadiah dan gratifikasi terhadap pegawai negeri (termasuk keluarga) terkadang samar—bisa berupa hadiah pernikahan, ulang tahun atau uang duka, dan lain-lain—sifat keduanya sebenarnya sama.
Dari sisi antropologi, Graycar mengatakan hadiah dan gratifikasi yang dilarang sama-sama punya tiga sifat, yaitu memicu timbal balik (resiprokal), menuntut proses pertukaran, dan saling berbalas (quid pro quo) (aclc.kpk.go.id).
’Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas’ menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam penegakan hukum.
Gratifikasi bisa berasal dari pertemanan dan kedekatan dengan cara pemberian hadiah. Hal ini secara perlahan mengikis integritas seseorang. Karena itu, kerap kita mendengar, gratifikasi sebagai akar dari korupsi. Pejabat kerap dihadapkan pada dilema integritas ketika menghadapi pemberian hadiah.
Bagi mereka yang integritasnya lemah dan kerap menerima hadiah dapat berujung pada pemerasan ataupun konflik kepentingan.
Dugaan gratifikasi memerlukan investigasi mendalam, bukti yang jelas, dan keberanian untuk menuntut tokoh publik yang memiliki pengaruh politik.
Kasus-kasus ini cenderung menghadapi proses hukum yang lamban, dan terkadang diabaikan, yang memunculkan persepsi publik ada ketidakadilan atau ”tebang pilih” dalam penegakan hukum terhadap orang-orang berpengaruh.
Berbeda dengan KPK di Indonesia, Kejaksaan Agung Korea Selatan akan memulai penyelidikan terhadap Ibu Negara Kim Keon Hee terkait kasus gratifikasi atau skandal tas Dior. Kim mendapat hadiah tas mewah itu dari seorang pastor pada 2022.
Pemelihara hewan
Tengok I Nyoman Sukena. Ia ditangkap polisi pada Maret 2024. Sukena menjadi pesakitan setelah kedapatan memelihara landak jawa. Hewan itu awalnya adalah hama perkebunan karena merusak tanaman. Sukena tak tahu jika landak tersebut adalah hewan yang dilindungi berdasarkan undang-undang. Atas perbuatannya, Sukena terancam hukuman 5 tahun penjara.
Lebih sial lagi nasib Kakek Priyono. Setelah memelihara ikan aligator selama 16 tahun, pada 10 September 2024, Pengadilan Negeri Malang memvonisnya 5 tahun penjara dan denda Rp 5 juta dengan subsider 1 bulan kurungan.
Dari peristiwa tersebut di atas, rasanya masih relevan analogi hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Fenomena ini sering terjadi ketika aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, atau hakim, lebih tegas dalam menindak kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat kecil, tetapi lemah atau bahkan mengabaikan kejahatan yang melibatkan pejabat atau orang berpengaruh.
Ini adalah gambaran kegagalan penegakan hukum dalam memenuhi prinsip keadilan. Hukum lebih cenderung menghukum mereka yang lemah atau tidak berdaya. Mereka yang memiliki kekuatan politik atau ekonomi dianggap berada di ”atas” sering terhindar dari konsekuensi hukum, sementara yang ”di bawah” yang tak punya pengaruh atau kekuatan sehingga lebih mudah dijadikan sasaran hukum.
Hukum lebih cenderung menghukum mereka yang lemah atau tidak berdaya.
Pada kasus serupa, yakni kepemilikan hewan yang dilindungi, di mana pelakunya adalah Terbit Rencana Perangin Angin (TRP), Bupati Langkat, Sumatera Utara, vonisnya lain lagi.
Majelis hakim menyatakan, TRP bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara 2 bulan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan. Akan tetapi, majelis hakim menetapkan pidana itu tidak perlu dijalani TRP.
Pada contoh lain, pejabat tinggi negara, selebritas, dan Youtuber kerap mempertontonkan hewan yang dilindungi oleh undang-undang tanpa dipersoalkan hukum. Mudah juga kita temui di rumah pesohor pajangan binatang buas yang diawetkan.
Memelihara binatang buas atau memajang binatang buas yang diawetkan, terutama yang langka atau eksotis, sering dianggap sebagai tanda kekayaan dan status tinggi. Pada konteks ini, memelihara hewan sebagai lambang kemewahan dan kesuksesan.
Bahkan, kita tak tahu hobi atas peliharaan hewan ”mewah” itu merupakan bentuk kecintaan atau penyiksaan terhadap hewan. Karena, jelas hewan-hewan itu diperoleh dari transaksi setelah mereka dipisahkan dari asal-usul dan kehidupan normalnya di alam liar.
Tebang pilih
Ketidakadilan dalam penerapan hukum ini jelas melanggar prinsip moralitas bahwa hukum harus melindungi yang lemah, bukan justru memanfaatkan kekuasaan untuk menekan mereka. ”Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” menunjukkan adanya ketidaksetaraan dalam penegakan hukum.
Praktik hukum yang tidak terbebas dari korupsi membuat keadilan selalu berjarak dengan mereka yang lemah. Suap atau pengaruh politik sering kali membuat orang-orang yang berkuasa bisa lolos dari hukuman, sedangkan masyarakat biasa harus menanggung hukuman penuh atas pelanggaran yang sama atau bahkan lebih ringan.
Dalam masyarakat yang terstratifikasi, hukum sering dipengaruhi oleh struktur kelas. Orang-orang yang berada di lapisan atas (kaum elite, pejabat, atau orang kaya) cenderung lebih mudah mendapatkan akses kekuasaan, termasuk dalam sistem hukum, seperti memiliki pengacara hebat atau akses untuk memengaruhi penegak hukum.
Orang-orang kelas bawah sering kali tak memiliki sumber daya untuk membela diri secara efektif di hadapan hukum sehingga lebih mudah dihukum.
Di banyak negara, undang-undang perlindungan satwa liar bertujuan untuk melestarikan keberadaan spesies yang rentan dari ancaman perburuan, perdagangan ilegal, dan eksploitasi manusia.
Karena dampak pelanggaran terhadap lingkungan dan ekosistem cukup besar, sering kali pendekatan hukum konvensional digunakan untuk memberikan efek jera. Namun, penegakan yang tegas sering kali menargetkan individu kecil, yang mungkin kurang berdaya dalam menghadapi hukum.
Praktik hukum yang tidak terbebas dari korupsi membuat keadilan selalu berjarak dengan mereka yang lemah.
Ketika orang melihat hukuman berat terhadap pelanggaran yang relatif kecil, seperti memelihara hewan dilindungi, tetapi kasus-kasus yang melibatkan pejabat publik dengan potensi gratifikasi berjalan lambat, bahkan tidak jelas, ini dapat memperburuk kepercayaan terhadap sistem hukum.
Masyarakat merasa hukum ditegakkan dengan ketat kepada warga biasa, sementara ada kelonggaran terhadap elite politik dan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Hal ini memperkuat persepsi adanya ketidakadilan struktural.
”Restorative justice”
Pendekatan hukum sudah sepatutnya mempertimbangkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh pelanggaran itu, keresahan masyarakat, dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
Jika pelaku kepemilikan hewan yang dilindungi tidak dengan sengaja melanggar hukum, disebabkan ketidaktahuan terhadap status perlindungan hewan itu atau ketidaksengajaan, maka restorative justice patut dipertimbangkan.
Dalam kasus pelaku adalah masyarakat adat atau lokal yang tidak menyadari hewan yang mereka miliki dilindungi hukum, pendekatan restoratif dapat lebih manusiawi, dengan menekankan pada pendidikan dan penyadaran, ketimbang hukuman pidana berat.
Restorative justice dapat melibatkan pelaku dalam program edukasi mengenai pentingnya konservasi dan perlindungan spesies yang dilindungi. Pelaku bisa diminta mengikuti pelatihan atau sosialisasi tentang dampak dari perburuan liar dan perdagangan ilegal terhadap kelangsungan spesies dan lingkungan.
Selain itu, pelaku bisa diberi kesempatan untuk berkontribusi secara langsung pada upaya konservasi, seperti mendukung program pelestarian spesies tersebut atau terlibat dalam rehabilitasi lingkungan yang terdampak. Ini bisa mencakup denda atau sumbangan yang diarahkan ke organisasi konservasi.
Pada konteks ini perlu pelibatan pihak-pihak lain yang peduli terhadap perlindungan lingkungan, seperti lembaga konservasi, komunitas lokal, atau organisasi nonpemerintah yang fokus pada kelestarian satwa liar.
Dalam pendekatan restoratif, mereka dapat berperan sebagai fasilitator dialog antara pelaku dan masyarakat sehingga masyarakat dapat memperoleh manfaat dari proses pemulihan.
Restorative justice dalam kasus ini harus dapat menyeimbangkan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan dengan hukuman yang adil bagi pelaku. Ini mungkin dilakukan melalui proyek konservasi atau sumbangan yang mendukung pelestarian spesies.
Baca juga: Jalan Terjal Pembela Hukum Orang Kecil
Rekomendasi
Dari problem penegakan hukum tersebut di atas, reformasi sistem hukum yang lebih transparan, independen, dan berkeadilan sangat penting.
Proses penegakan hukum harus lebih seimbang dan fokus pada keadilan, tidak hanya terhadap pelanggaran lingkungan atau hukum lainnya, tetapi juga terhadap pelanggaran yang melibatkan pejabat publik yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat.
Meningkatkan pengawasan publik, penguatan lembaga antikorupsi, dan memastikan semua pelanggaran, baik kecil maupun besar, diproses secara adil adalah kunci mengatasi masalah ini.
Pada kasus yang menimpa I Nyoman Sukena, hakim bisa mengubah status tahanan Sukena menjadi pembebasan.
Apabila jaksa kali ini mengakomodasi suara publik dengan menuntut bebas Sukena, preseden serupa pernah diambil Jaksa Agung pada perkara Valencya alias Nengsy Lim (23/11/2021).
Atau setidaknya pidana kerja sosial yang lebih berperspektif keadilan, pemulihan dan edukasi bagi Sukena.
Kita harus menyadari bahwa situasi yang tidak dikehendaki akan timbul jika hukum ditentukan oleh stratifikasi sosial; yakni ada massa rakyat yang akan membuat hukumnya sendiri.
Edwin Partogi PasaribuPimpinan LPSK 2019-2024 dan Public Virtue Research Institute