Agenda Baru Menurunkan Prevalensi Tengkes
Penanggulangan tengkes secara seragam terbukti tak efektif. Perlu pendekatan lokal untuk mengatasi masalah tengkes.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir. Selanjutnya, Presiden Prabowo Subianto akan mengambil alih kebijakan dan program pembangunan selama lima tahun ke depan.
Tidak semua program Presiden Joko Widodo dapat diselesaikan hingga masa tugas Presiden ke-7 RI itu berakhir. Ada pekerjaan rumah yang diwariskan untuk dapat diselesaikan penerusnya. Dan, beban itu harus dapat diatasi dengan konsep yang lebih baik.
Tajuk rencana harian Kompas, Sabtu (7/9/2024), menyampaikan bahwa beban penurunan masalah tengkes dapat dipastikan tidak mencapai angka 14 persen sebagaimana ditargetkan pemerintah. Andaikan dengan kecepatan penurunan sebesar 2 persen per tahun, prevalensi tengkes hingga akhir 2024 ini paling jauh hanya akan duduk di sekitar angka 19,5 persen. Laporan pada 2023 menunjukkan jika prevalensi tengkes baru mencapai 21,5 persen.
Pemerintahan baru mestilah memetakan persoalan. Meski telah mencapai target yang mendekati saran Badan Kesehatan Dunia sebesar 20 persen, bukan berarti kita bisa berpuas diri.
Baca juga: Premis 14 Persen Tengkes
Angka 20 persen adalah rerata nasional. Artinya itu mencakup seluruh wilayah. Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, masih ada 23 provinsi yang memiliki prevalensi tengkes di atas 21,5 persen. Provinsi-provinsi tersebut memiliki variasi prevalensi, antara 30,4 persen (Papua Tengah) dan 21,7 persen (Jawa Barat).
Ada provinsi yang prevalensi tengkesnya meningkat dibandingkan pada 2023. Antara lain: Nusa Tenggara Timur (dari 35,3 persen menjadi 37,9 persen), Sulawesi Tenggara (dari 27,7 persen menjadi 30 persen), Maluku (dari 26,1 menjadi 28,4 persen), dan lima provinsi lainnya.
Sebaliknya, meski sama-sama berada di atas rerata nasional, beberapa provinsi menunjukkan penurunan, antara lain Sulawesi Barat, Aceh, dan Papua. Provinsi Bali memperlihatkan konsistensi sebagai provinsi terendah dalam prevalensi tengkes (7,2 persen) dan konsisten menurun dibandingkan pada 2023 (8 persen).
Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023, masih ada 23 provinsi yang memiliki prevalensi tengkes di atas 21,5 persen.
Kondisi data terbaru ini saja telah memberikan dua pesan penting kepada pemerintahan baru nanti. Pertama, ternyata tidak mudah mengorkestrasi program penurunan prevalensi tengkes meski pemerintah telah bekerja keras dengan mengorganisasi seluruh kekuatan secara nasional dengan skala yang sangat masif. Menggunakan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, target prevalensi tengkes sebesar 14 persen pada akhir 2024 ternyata sangat sulit diraih.
Meskipun demikian, pesan kedua, potensi keberhasilan tetap ada. Penurunan secara nasional tengkes ini cukup signifikan dan dalam satu tahun terakhir banyak daerah memperlihatkan keberhasilan penurunan. Jadi, setidaknya, kita memiliki bukti-bukti yang konkret, program mana yang terbukti efektif dan yang mana yang tidak.
Prevalensi tengkes yang masih tinggi ini tentu saja menjadi tantangan penting pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Maka, belajar dari dua pesan di atas, program intervensi makan siang dan susu gratis sebagaimana dikampanyekan oleh Prabowo-Gibran dan sering dikaitkan dengan upaya menekan tengkes perlu dilakukan dengan ekstra hati-hati.
Efisien
Sejak ditetapkan sebagai target nasional, berbagai elemen, baik pemerintah maupun masyarakat, terjun langsung untuk bahu-membahu mengatasi tengkes. Sayangnya, banyak upaya justru digunakan untuk penyelenggaraan pembiayaan birokrasi. Biaya rapat dan biaya perjalanan dinas untuk koordinasi penanganan tengkes angkanya sangat fantastis.
Bukan hanya itu, anak balita penerima makanan tinggi protein marak dijadikan pencitraan oleh para pejabat birokrasi. Perlombaan demi perlombaan serta acara seremonial pun dilakukan di hotel-hotel mahal, membuat biaya membengkak.
Namun, pendekatan seperti di atas tidak bermuara pada prevalensi yang mengesankan. Dalam satu tahun terakhir, penurunan prevalensi tengkes hanya bisa dari 21,6 persen menjadi 21,5 persen. Ini memang sangat ironis, bahkan pernah dikritik langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Tentu pendekatan seperti itu jangan sampai terulang. Manajemen program intervensi makan siang dan susu gratis harus dibuat seefektif mungkin sehingga setiap rupiah bermanfaat untuk anak-anak balita yang menderita karena tengkes.
Presiden Jokowi telah membentuk Badan Gizi Nasional. Badan yang disebut-sebut akan bertanggung jawab terhadap penyelesaian masalah gizi tersebut, termasuk tengkes, kita harap pola kerjanya tidak mengulangi lagu lama birokrasi, yaitu dari rapat ke rapat dan dari koordinasi ke koordinasi.
Baca juga: ”Quo Vadis” Percepatan Penurunan Tengkes
Saat nanti memulai pemerintahannya, ada baiknya Presiden Prabowo memimpin evaluasi penyelenggaraan manajemen penanggulangan tengkes, sekaligus memotong jalur-jalur yang tidak penting untuk menyalurkan makan siang dan susu gratis.
Rantai birokrasi yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan rapat dan koordinasi sebaiknya dipotong karena hal itu hanya akan membuang anggaran. Lagi pula, saat ini pertemuan melalui aplikasi Zoom sudah sangat lazim dilakukan.
Uang negara jangan membebani birokrasi yang seharusnya dapat bekerja secara efektif. Ada program yang berjalan dengan baik dan ada yang tidak, ini yang perlu disisir untuk dicermati kekuatan dan kelemahannya.
Efektif
Target penurunan prevalensi tengkes jelas tidak mudah diraih. Secara umum, Kementerian Kesehatan dalam laporan SKI 2023 telah menyampaikan berbagai masalah yang patut diperhatikan dengan saksama oleh Presiden Prabowo. Beberapa di antaranya adalah ibu hamil berisiko KEK (kurang energi kronis) yang masih tinggi, sekitar 17 persen. Lalu, pemeriksaan ANC (ante natal care) K4 (kunjungan keempat) yang hanya 68 persen. Juga, ASI eksklusif (bayi 0-5 bulan) hanya 69 persen. Belum lagi ditambah dengan kontribusi perumahan dan sarana air minum yang masih kurang.
Semua indikator di atas sejatinya jangan dijadikan patokan untuk menggerakkan penanggulangan tengkes secara seragam di seluruh Indonesia. Jika dalam periode Presiden Jokowi kita berhasil menurunkan angka tengkes secara nasional, saat ini kita harus mencermati faktor-faktor yang mungkin tidak dapat diatasi lagi dengan program yang sifatnya skala massal itu.
Dinamika prevalensi tengkes yang berbeda antarwilayah memberikan bukti bahwa faktor lokal kelihatannya memainkan peran besar. Artinya, pemberian makan siang dan susu gratis sebagai program nasional hanya akan berakhir sia-sia jika penyebab lokal masalah gizi (baca: tengkes) tidak diketahui dan diatasi. Maka, perlu dilakukan pendekatan yang sifatnya lokal.
Presiden Prabowo perlu mengorganisasi setiap daerah agar memikirkan pendekatan mengatasi tengkes sesuai dengan masalah lokal. Tentu tidak semua daerah bermasalah KEK, seperti halnya tidak semua daerah memiliki akses air bersih yang rendah. Demikian juga tidak semua wilayah perlu diintervensi dengan edukasi pada ibu karena ada daerah yang justru akses pangan keluarga yang rendah.
Namun, problema rendahnya cakupan ASI tentu berkaitan dengan masalah skala nasional, yaitu rendahnya kedudukan perempuan dan akses terhadap keterampilan menyusui. Masalah lokal tentu berbeda antarwilayah dan masalah nasional tentu konteksnya berlaku dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga: Potensi Multikulturalisme Penanganan Tengkes
Program yang diramu untuk menjadi ”obat” yang sama bagi seluruh wilayah sudah harus ditinggalkan karena pada tingkat tertentu hanya berhasil membawa prevalensi tengkes menyentuh angka 21,5 persen. Untuk pemerintahan baru, pemerintah perlu mendesain agenda baru agar prevalensi tengkes menurun lebih jauh lagi.
Karena itu, Presiden perlu menugaskan institusi teknis, baik perguruan tinggi lokal, lembaga swadaya masyarakat lokal, maupun pemerintah daerah, agar dapat mencermati masalah lokal, sekaligus meramu kebijakan yang sifatnya lokal pula.
Presiden Prabowo akan memimpin orkestra besar ini sebagai pekerjaan rumah di awal pemerintahannya pada Oktober nanti. Namun, inilah peluang agar gagasan mewujudkan Indonesia Emas 2045 dapat ditata arahnya. Capaian pemerintah sampai saat ini sudah baik, tetapi akan lebih baik jika diteruskan dengan agenda yang lebih tepat.
Fotarisman Zaluchu, Dosen Tetap Program Studi Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara