Jalan Pintas Pengendalian Emisi
Jika pembatasan pembelian BBM tidak dirancang dengan cermat, kelompok masyarakat rentan dapat terdampak negatif.
Pemerintah sedang merencanakan kebijakan baru guna memperketat pembelian bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi, termasuk pertalite, yang diharapkan efektif berlaku mulai 1 Oktober 2024. Kebijakan ini untuk mengontrol penggunaan BBM bersubsidi dan memastikan distribusi lebih tepat sasaran.
Langkah ini terlihat dari penyesuaian alokasi volume BBM bersubsidi dalam RAPBN 2025, yang ditetapkan 19,41 juta kiloliter (kl). Jumlah ini lebih rendah dibandingkan pagu 2024 sebesar 19,58 juta kl.
Penurunan alokasi ini mencerminkan upaya pemerintah menata penggunaan subsidi energi agar lebih tepat sasaran, menjaga efisiensi APBN, dan mengurangi polusi udara yang kian memburuk, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, akibat penggunaan bahan bakar fosil (BBF) yang tinggi.
Terkait pengendalian polusi dan emisi, Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan, konsumsi BBF harus turun lebih dari 25 persen dekade ini dan 80 persen pada 2050 untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celsius (IEA, 2023).
Baca juga: Mengapa Penjualan BBM Bersubsidi Perlu Dibatasi?
Tanpa kebijakan yang dirancang dengan perhitungan, ke depan pemerintah mungkin hanya akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendadak, jangka pendek, dan ketat seiring semakin besar dampak perubahan iklim. Kebijakan yang terburu-buru bisa menyebabkan volatilitas lebih tinggi dalam harga energi dan distorsi perekonomian.
Pembatasan pembelian BBM subsidi tak hanya akan berdampak pada perubahan perilaku konsumsi energi, tetapi juga menimbulkan tantangan baru.
Salah satu risiko terbesar, potensi terjadinya ketidakadilan akses. Jika pembatasan tidak dirancang dengan cermat, kelompok masyarakat rentan yang sangat bergantung pada BBM bersubsidi untuk kegiatan sehari-hari, seperti nelayan, petani, dan pengemudi ojek, dapat terdampak negatif.
Jika dilihat dari perspektif paradoks transisi energi hijau (green paradox), upaya membatasi konsumsi BBF di masa depan dapat mendorong peningkatan konsumsi atau ekstraksi BBF sebelum aturan lebih ketat diberlakukan (Sinn, 2008). Selain itu, jika pembatasan BBM subsidi diberlakukan, hal itu akan meningkatkan potensi rebound effect pada kendaraan yang diklaim lebih hemat bahan bakar atau yang tidak menggunakan BBF, seperti kendaraan listrik.
Efek rebound adalah fenomena ekonomi-lingkungan yang menggambarkan bagaimana peningkatan efisiensi energi tak selalu menghasilkan pengurangan konsumsi energi yang proporsional. Maksudnya, ketika mobil jadi lebih irit bensin, maka orang mungkin akan lebih banyak menggunakannya karena biaya per kilometer jadi lebih murah sehingga pemborosan energi terus berlanjut.
Alih-alih sekadar membatasi BBM subsidi, pemerintah bisa mempertimbangkan implementasi skema tradable energy quotas (TEQs) sebagai solusi yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan. TEQs yang diperkenalkan oleh ekonom dan sejarawan budaya David Fleming pada 1996 (saat itu masih disebut domestic tradable quotas/DTQs), menawarkan skema yang lebih adil dan efektif untuk mengelola penggunaan energi dan mencapai target pengurangan karbon.
Konsep penjatahan energi tak hanya menjadi wacana teoretis, tetapi sudah menjadi bagian keinginan politik perubahan iklim, khususnya di negara maju.
Lebih berkeadilan dan berkelanjutan
TEQs adalah sistem nasional untuk membatasi dan kemudian mengurangi konsumsi energi berbasis BBF di semua tingkatan pengguna energi, baik individu, institusi, maupun perusahaan. Setiap individu akan menerima jatah unit TEQs setara dan tanpa syarat, yang bisa dianggap sebagai kupon elektronik untuk meransum (penjatahan) energi. Ketika membeli bahan bakar/energi, unit TEQs ini harus diserahkan bersama dengan pembayaran biasa.
Alokasi kuota energi bagi setiap individu dan organisasi pun dapat diperdagangkan. Ini karena setiap penggunaan energi yang menghasilkan emisi karbon diatur melalui kebijakan kuota sehingga konsumsi energi keseluruhan dapat dikontrol secara nasional.
TEQs menawarkan pendekatan yang lebih responsif dan inklusif dibandingkan skema lain dengan memberikan insentif ekonomi yang kuat untuk inovasi dan efisiensi energi.
Pajak karbon, misalnya, meski sangat efektif dalam memberikan sinyal harga yang jelas, cenderung kurang fleksibel karena mengandalkan regulasi harga yang bisa berdampak lebih besar pada masyarakat berpenghasilan rendah. Ini terutama karena sifat pajak karbon yang regresif berpotensi membebankan biaya tambahan pada produk dan layanan akhir yang terkait dengan emisi karbon.
Ini sebabnya, beberapa negara, termasuk Indonesia, hingga kini masih menunda penerapan pajak karbon karena kekhawatiran dampak sosial dan ekonomi yang dapat memberatkan, terutama masyarakat berpenghasilan rendah dan sektor yang sangat bergantung pada BBF.
Banyak negara memilih mengeksplorasi alternatif lain, seperti skema perdagangan emisi, subsidi energi hijau, atau program pengurangan emisi sukarela, yang transisinya lebih bertahap dan terukur menuju ekonomi rendah karbon.
TEQs juga menawarkan pendekatan yang lebih adil dan memberikan insentif ekonomi yang lebih kuat bagi individu dan bisnis untuk secara aktif mencari cara mengurangi konsumsi energi mereka. Ini akan membangun ekosistem pasar yang bisa menyesuaikan secara alami dengan kebutuhan dan perilaku masyarakat, memberi solusi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan dalam menghadapi tantangan iklim global.
Melalui TEQs, setiap warga negara akan dapat kuota energi yang sama, memberi insentif kepada mereka yang bisa menghemat atau menggunakan energi lebih efisien untuk menjual kuota lebih. Ini menciptakan pasar yang dinamis dan adil. Beban pengurangan emisi didistribusikan berdasarkan kemampuan konsumsi energi.
Alih-alih sekadar membatasi BBM subsidi, pemerintah bisa mempertimbangkan implementasi skema TEQs sebagai solusi yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
Konsep penjatahan energi tak hanya menjadi wacana teoretis, tetapi sudah menjadi bagian keinginan politik perubahan iklim, khususnya di negara maju. Pemerintah Inggris telah melakukan studi kelayakan tentang sistem ransum energi.
Laporan 2008 menunjukkan hasil yang positif dan pada 2011, sejumlah besar anggota parlemen Inggris mendukung penerapan TEQs. Sistem ini juga menarik minat dari Komisi Eropa pada 2018 karena menawarkan cara lebih konkret untuk mencapai target pengurangan karbon yang telah ditetapkan oleh para politisi.
TEQs juga memiliki insentif tambahan. Mereka yang menggunakan energi lebih hemat bisa menjual sisa unit mereka, sementara yang ingin menggunakan lebih dari jatah mereka bisa membeli unit tambahan itu. Ini berarti masyarakat yang hemat energi akan mendapatkan manfaat finansial dari penggunaan yang lebih rendah. Sementara yang ingin menggunakan lebih banyak harus membayar lebih kepada sesama warga yang lebih hemat energi.
TEQs juga menawarkan potensi pendapatan melalui pelelangan unit kepada pengguna energi nonrumah tangga, seperti industri, yang bisa digunakan untuk subsidi bagi konsumen yang paling terdampak oleh harga bahan bakar atau untuk berinvestasi dalam proyek infrastruktur yang sulit didanai, seperti transportasi umum.
Keuntungan dari TEQs bukan hanya pada kemampuannya untuk memastikan bahwa anggaran karbon nasional selaras dengan APBN kita, melainkan juga pada kesederhanaannya. Sistem ini tak memerlukan analisis siklus hidup yang kompleks dan mahal di seluruh rantai produksi dan konsumsi.
Sebaliknya, TEQs menetapkan intensitas karbon dari energi di titik masuknya ke dalam perekonomian, menciptakan insentif di seluruh ekonomi untuk proses lebih rendah karbon.
Terpenting, TEQs memperkenalkan keadilan dalam sistem energi. Di sistem saat ini, akses pada energi secara efektif diransum berdasarkan harga dan daya beli. Yang kaya bisa membeli lebih banyak energi, yang kurang mampu terpaksa mengurangi pemakaiannya.
Kombinasi pembatasan BBM subsidi dengan TEQs bisa menjadi pendekatan yang lebih efektif dibandingkan hanya menerapkan pajak karbon atau pembatasan BBM subsidi.
TEQs memastikan semua orang memiliki akses sama terhadap energi yang tersedia berdasarkan anggaran karbon kolektif.
Irvan Maulana, Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)