Jember: Karnaval dan Kesetaraan
Mengunjungi sebuah tempat untuk pertama kali, saya tidak memancang banyak ekspektasi. Ayo nikmati!
Awal bulan lalu, saya beruntung bisa menonton sesuatu yang sudah lama dalam daftar, yakni Jember Fashion Carnaval atau JFC. Selalu ingin melihat, tetapi tak kunjung mendapatkan teman seminat. Saya langsung mengiyakan saat Cip, mantan kolega, tiba-tiba bertanya apakah saya mau ikut bersamanya.
Dalam hitungan jam, kami bergerak cepat mengamankan tiket dan akomodasi—saat itu sebenarnya masih sebulan sebelum acara, tetapi penginapan di Jember nyaris ludes tak bersisa.
Kami memilih Surabaya sebagai titik perjalanan darat ke Jember, hampir 200 kilometer ke arah timur. Jalan tol baru Surabaya-Probolinggo mencakup lebih setengah perjalanan, tetapi masih ada 1,5 jam lagi perjalanan untuk mencapai Jember. Karena kami lama tak bersua dan banyak bahan obrolan, tak terlalu terasa perjalanan darat hampir 6 jam.
Sesungguhnya, walau dinamai sebagai fashion carnaval, JFC secara teknis adalah costume carnaval. Karnaval kostum, seperti di New Orleans dan Rio de Janeiro.
Pada tahun ke-22 penyelenggaraannya ini, JFC menawarkan beberapa program. Kami memilih program malam ArtWear dan karnaval utama Minggu siang esoknya. Seperti biasa, saat mengunjungi sebuah tempat untuk pertama kalinya, saya tidak memancang banyak ekspektasi. Prinsip saya, alhamdulillah sampai, ayo nikmati yang ada sebaik mungkin.
Karnaval malam, ArtWear, lebih pendek, tetapi tetap ditemani hiburan musik dan dipadati pengunjung. Sakuranesia Society, yayasan persahabatan Jepang-Indonesia, mengirim penyanyi dan kembang api besar yang menyinari langit Jember di akhir acara. Disulap menjadi tribune berbayar dan lapangan gratis berlayar besar, Alun-alun Jember nyaris seperti pasar malam.
Karnaval utama besoknya diikuti jauh lebih banyak peserta dengan hiburan yang lebih berbintang, disambut meriah penonton di tribune dan massa sepanjang jalan. Kami beruntung memiliki tiket tribune di barisan terdepan sehingga dari penampilan Raisa sampai detail kostum peserta puas tertangkap mata. Sesungguhnya, walau dinamai sebagai fashion carnaval, JFC secara teknis adalah costume carnaval. Karnaval kostum, seperti di New Orleans (Amerika Serikat) dan Rio de Janeiro, Brasil.
Baca juga: Pemimpin Itu Dipilih, Bukan Dijatuh-cintai
Terasa seantero Jember merayakan. Lokasi kuliner disesaki wisatawan sampai malam. Hotel dipenuhi sponsor, seperti perusahaan kosmetik terbesar Indonesia yang merilis jenama terbarunya, dan peserta, seperti pemenang Miss Supranational 2024.
Seorang pemilik toko batik yang kami sambangi semringah bercerita bahwa produk mereka ikut dalam ArtWear. Para pejabat mengungkapkan kebanggaan dalam pidatonya, beberapa bahkan ikut berkostum dan berjalan dalam karnaval.
Selama menikmati karnaval malam dan siang hari, saya mengagumi kreativitas inspirasi; ragam kostum, mulai dari langgam budaya Jawa sampai pemanasan global; dan kesungguhan para peserta karnaval masuk ke dalam imajinasi karakter yang diwakili kostumnya. Sayap kerlap-kerlip, mahkota selangit, dan jubah metalik hadir komplet.
Satu per satu peserta berlalu, saya perlahan menyadari bahwa sebagian peserta adalah pria dan transpuan. Terutama para transpuan—cenderung lebih tinggi dan kukuh ketimbang rata-rata perempuan, tetapi tetap melangkah menawan. Mereka tidak sekadar mengenakan, tetapi juga menghidupkan kostum yang disandang. Di antara para biduan dan pemenang kontes putri-putrian, para transpuan pemakai kostum karnaval bersinar seterang bintang. Sebagian punya pendukung di tribune yang gegap gempita saat mereka lewat, tak satu pun menuai cemoohan.
Mafhum kekentalan tradisi agama di Jawa Timur, saya tergelitik menanyakan hal ini kepada beberapa penonton. Semua yang saya tanya menganggap lumrah, bahkan 1-2 terlihat bingung mengapa ditanyakan. Saat semeja makan Mie Apong dengan pasutri muda, yang menurut mereka sendiri berasal dari kampung sejam perjalanan dari Jember, dan tetap mendapatkan reaksi yang sama, saya kian penasaran.
Baca juga: Kebaya dan Keseharian
Sambil merapikan ujung kerudungnya, dengan santai sang istri bercerita bahwa tetangga sebelahnya pun memakai istilah yang mereka pahami, waria. Sambung sang suami, para waria di kampung mereka adalah ”orang salon” yang biasa dipanggil mendandani pengantin dan menyewakan kostum.
Di sini, saya teringat diskusi panjang beberapa tahun lalu dengan seorang kawan di lingkaran LGBTQ. Sekian lama memperjuangkan kesetaraan hak untuk LGBTQ, dia berkesimpulan pada dasarnya orang Indonesia toleran selama para LGBTQ ”berada dalam jalurnya”. Silakan ada, tetapi tanpa menonjolkan diri. Jika harus tampil, cukup di dunia seperti mode, tata rias, kuliner, seni pertunjukan, dan kategori sejenis. Namun, saat LGBTQ muncul di kategori yang dianggap struktur sentral kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, keuangan, agama, dan politik, otomatis menuai penolakan. ”Baca tarot didukung, baca analisis keuangan, apalagi kitab suci, ya, akan dipentung,” cetusnya sambil merenung.
Datang dari berbagai suku, etnis, dan agama, semua teman ini mengakui sama takutnya anak terpengaruh narkoba atau ”tertular” LGBTQ.
Dan, kawan ini ada benarnya, menilik reaksi mayoritas teman saya, terutama yang punya anak remaja, saat tahun lalu meledak isu kamar mandi tanpa jender di sebuah sekolah. Datang dari berbagai suku, etnis, dan agama, semua teman ini mengakui sama takutnya anak terpengaruh narkoba atau ”tertular” LGBTQ. Beberapa teman malah mencetus bahwa remaja yang hamil duluan paling tidak ”aman” dari LGBTQ, berbeda dengan orangtua kami dulu yang menganggap insiden serupa seperti kiamat keluarga. Dan, teman-teman saya ini terbiasa berinteraksi dengan LGBTQ di butik, restoran, hotel, dan salon. Namun, ya, mungkin itu tadi karena ”dalam jalurnya”.
Baca juga: Musikalisasi Fiksi dan Fakta
Sebenarnya tidak terlalu beda dengan isi Kinky Boots, film Inggris tahun 2005 yang berdasarkan kisah nyata. Lola sang drag queen yang pentas di klub waria cenderung dibiarkan, tetapi saat ia datang sebagai pria bernama Simon untuk bekerja di pabrik sepatu, ia ditolak terang-terangan.
Saya tidak punya latar belakang psikologi massa atau bola kristal untuk menebak pergerakan opini publik. Pasal LGBTQ masih menuai polarisasi dan habis-habisan dipolitisasi, bahkan di Amerika Serikat yang sudah dua abad menerapkan demokrasi. Saya tidak setuju diskriminasi dan berprinsip semua warga negara harus diperlakukan setara secara hukum, tetapi saya tidak buta terhadap opini umum. Mungkin karena itu, tanpa mengecilkan perjuangan berat teman-teman LGBTQ untuk diperlakukan setara dalam setiap aspek kehidupan, saya tetap senang menyaksikan bahwa di sebuah kota kecil di antara pegunungan dan perkebunan, setahun sekali mereka bebas menjadi dirinya sendiri di sepanjang panggung. Menjadi bagian integral dari sesuatu yang disenangi dan dibanggakan oleh warga sekitar. Mungkin belum sebagai Simon, tetapi paling tidak sebagai Lola.
Jember, tetaplah berkarnaval dalam kesetaraan. Terima kasih untuk akhir pekan yang berkesan.
Lynda Ibrahim, Konsultan bisnis & penulis