Akhir-akhir ini, kita dihujani dengan informasi hipotetik mengenai gempa di sejumlah zona megathrust, yang semua berada di selatan Jawa. Secara apriori banyak pihak menyampaikan bahwa zona megathrust tersebut perlu diberikan atensi dan aksentuasi sebab adanya energi yang terpendam dan kapan saja dapat meledak layaknya bom waktu.
Sejalan analisis Nuraini Rahma Hanifa, peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bahwa karena zona Jawa daerah selatan menjadi salah satu zona yang tidak terlalu aktif dalam hal kegempaan, justru hal ini memberikan potensi laten sebagai zona seismic gap. Ruas inilah yang dinilai mengalami akumulasi medan tegangan atau stres kerak bumi.
Mendengar wacana yang terus berdengung semacam ini, sebagai manusia normal, wajar apabila muncul rasa waswas, khawatir, bahkan rasa takut. Sebab, bagaimanapun, jika gempa yang disampaikan benar-benar terjadi, tidak menutup kemungkinan relasi antara alam dan manusia sedang mendapat ujian. Saat-saat itulah, kita bertanya-tanya, rasa sakit seperti apa yang akan terjadi terhadap alam dan kita?
Baca juga: Semakin Erat dan Dekatlah dengan Alam
Secara empiris, alam merupakan bagian penting dari kehidupan, media interaksi dalam kerangka kausalitas. Konkretnya, apa pun yang terjadi dengan alam, secara alamiah, selalu akan berafliliasi dengan tindakan kita (manusia) di masa lampau.
Dalam wilayah ini, hubungan manusia dengan alam menciptakan konsep relasi yang tarik-menarik. Manusia membutuhkan alam untuk semesta hidup dan melakukan aktivitas, di sisi lain alam pun membutuhkan manusia untuk dilestarikan.
Demikian, jika relasi keduanya tidak berjalan dengan mapan dan cenderung mengalami degradasi, ancaman-ancaman kerusakan lingkungan alam yang akan membayang di pelupuk mata.
Relasi keduanya secara teoritik dapat disatukan melalui kajian ekokritik. Ekokritik tidak hanya sebagai alat untuk mengkritik bagaimana lingkungan direpresentasikan dalam karya, tetapi sekaligus mendalami kebiasaan hidup dan manusia yang ada di dalamnya. Dengan kajian ekologi sastra akan dapat terungkap dan diketahui bagaimana peran sastra dalam memanusiakan lingkungan dan alam.
Berangkat dari perspektif itulah, penting sekiranya menempatkan simpati terhadap alam melalui sastra, khususnya puisi. Mengkaji sudut pandang alam melalui aspek-aspek moral spritual. Puisi bergerak secara implisit melalui pengalaman hidup inderawi manusia, membentuk individu a fully functioning person, yakni seorang menusia yang purnawan yang memiliki unsur-unsur hakiki yang seimbang, sebagai makluk individu, mahluk sosial, dan mahluk Tuhan.
Puisi Sapardi Djoko Damono berjudul ”Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta” mengisyaratkan pola demikian: kepekaan, kepedulian, penyatuan terhadap alam menjadi media yang ditempuh untuk mencapai wilayah trasendental, ruang antara aku lirik dan Tuhan, //mencintai angin/ harus menjadi siut/ mencintai air/ harus menjadi ricik/ mencintai gunung/ harus menjadi terjal/ mencintai api/ harus menjadi jilat/ mencintai cakrawala/ harus menebas jarak/ mencintai-Mu/ harus menjelma aku// (Sapardi Djoko Damono, ”Sajak-sajak Kecil tentang Cinta”).
Melalui puisi tersebut, penyair menggunakan modalitas bahasa yang khas dan berorientasi seutuhnya terhadap alam. Damono merujuk pada simbol ’cinta’ dan berturut-turut menempatkan ’angin’, ’air’, ’gunung’, ’api’, ’cakrawala’ sebagai bagian dari metafor yang seluruhnya berujung pada hakikat ’menuju’ Tuhan. Secara implisit, simbol ’alam’ menjadi wasilah, ’rasa’ dan ’sifat’ yang harus ditempuh secara mimesis, berangkat dari alam, lingkungan, juga manusia.
Di titik itulah, puisi mampu merepresentasikan relasi antara alam dan manusia. Hubungan keduanya, melalui perspektif ekologi sastra, menyatakan keterikatan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Penting sekiranya menempatkan simpati terhadap alam melalui sastra, khususnya puisi. Mengkaji sudut pandang alam melalui aspek-aspek moral spritual.
Relasi manusia, alam, dan Tuhan secara verbal disampaikan Taufik Ismail melalui ”Membaca Tanda-Tanda”. //…Kita saksikan udara abu-abu warnanya/ Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya/ Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari// Hutan kehilangan ranting/ Ranting kehilangan daun/ Daun kehilangan dahan/ Dahan kehilangan hutan//.
Ismail secara konkret mengungkapkan tentang keresahan seseorang terhadap akibat dari eksploitasi hutan yang secara simbolik dikonstruksi melalui diksi ’air surut’, ’burung tak berkicau’, dan secara urut melalui ’ranting’, ’daun’, ’dahan’, ’hutan’. Sebagai simbolik, pola diksi yang dibangun Ismail menyerupai ’jalan melingkar’ yang saling memengaruhi satu sama lain dengan diksi ’hutan’ sebagai pangkal sekaligus akhir.
Dalam bait terakhir ini, tampak jelas bagaimana simbol ’hutan’ merupakan representasi dari ’jalan’ menuju Sang Pencipta. Bagaimana tanda yang tidak terbaca oleh manusia secara tersirat menunjukkan kepekaan dan kearifan terhadap alam yang kian sirna. ...// Beri kami kearifan/ membaca tanda-tanda/ Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan/ akan meluncur lewat sela-sela jari// Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas/ tapi kini kami mulai merindukanya.// (Taufik Ismali, ”Membaca Tanda-Tanda”).
Peran puisi dalam memanusiakan lingkungan dan alam begitu besar. Puisi ”Di Mana Kamu De’Na?” karya Ws Rendra merupakan bagian konkret dari kerusakan alam terhadap manusia melalui peristiwa tsunami Aceh yang terjadi pada 2004.
Dengan kata lain, bencana alam tidak hanya berkaitan langsung dengan faktor alam itu sendiri, tetapi sangat erat kaitannya dengan unsur organisme sebagai pengolah, penikmat, dan pemakai sumber daya alam. Jika manusia tidak mampu berperan aktif pada semua fungsi-fungsi tersebut dengan baik, kehancuran yang bersiap menelan tanpa sisa.
// Akhirnya berita itu sampai kepada saya:/ Gelombang tsunami setinggi 23 meter/ melanda rumahmu./ Yang tersisa hanya puing-puing belaka./ Di mana kamu, De’Na?/ Sia-sia teleponku mencarimu./ Bagaimana kamu, Aceh?/ Di TV kulihat mayat-mayat/ yang bergelimpangan di jalan./ Kota dan desa-desa berantakan./ Alam yang murka/ manusia-manusia terdera/ dan sengsara.// (WS Rendra, ”Di Mana Kamu De’Na?”)
Baca juga: ”Abrahamic Religions” dan Kerusakan Alam
Beberapa puisi tersebut menunjukkan keteguhannya untuk menyadarkan kembali proses relasi antara manusia, alam, dan Tuhan. Mencintai alam berarti mengagungkan Tuhan.
Melalui Damono dan Ismail, kita ditunjukkan bagaimana unsur alam menjadi bagian penting bagi penyatuan antara manusia yang realitas dan Tuhan yang trasendental. Sebab, mencintai ’alam’ sebetulnya kita tengah menunjukkan cinta kita yang hakiki kepada-Nya.
Adapun puisi Rendra menjadi entitas buruk, peringatan menakutkan, sebagai akibat dari hubungan kausalitas antara manusia, kerusakan alam, dan kemurkaan Tuhan.
Terus terang, puisi-puisi mereka berusaha dengan keras untuk mengetuk hati kita, manusia, yang kaku dan keras kepala, agar langit, gunung, laut, dan tanah tidak terluka. Sekalipun, bagi sebagian kita, puisi tidak berarti apa-apa, kecuali kumpulan kata yang dikerjakan seseorang dengan sia-sia.
Angga T Sanjaya, Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan; Bergiat di Komunitas Jejak Imaji; Pendamping Komunitas Luar Ruang dan Serawung Filsafat