Hal-hal yang tampak kecil sejatinya ada kaitan satu sama lain, bahkan merupakan elemen dari struktur sosial lebih besar.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Musim berganti. September yang biasanya ”musim komunis”, secara sosial sebagaimana cuaca yang biasanya banyak hujan, ikut mengalami anomali. Isu PKI tidak sederas pada masa-masa sebelumnya. Atau mungkin belum, siapa tahu.
Pada zaman di mana segala hal berlangsung cepat dan serba tak terduga ini, yang sedang hits adalah isu konsumsi, sentimen keseharian—bukan sentimen besar ideologis—termasuk beberapa waktu lalu soal bau badan, tepatnya bau ketek. Jangan buru-buru apriori, perlawanan dengan parodi dan tertawa-tawa ini biasanya lebih umur panjang daripada perlawanan yang tegang menguras tenaga.
Pada kontestasi simbol konsumsi, mereka yang semula jemawa memamerkan glamour konsumsi dari tas mewah sampai pesawat jet pribadi mendadak ngumpet ketika pemimpin umat sekaligus kepala negara kecil, tapi kaya, jadi tamu di negeri ini dan memilih naik mobil rakyat. Untuk sementara waktu, pelaku yang tak tahu diri tadi dinyatakan hilang tidak diketahui rimbanya. Tanpa martabat penyelenggara negara mempertontonkan inkompetensi.
Dalam cultural studies yang laris puluhan tahun lalu, hal-hal remeh temeh menjadi perhatian. Simbol-simbol dunia konsumsi kala itu bisa jadi yang membikin tanda palu arit tidak relevan, kehilangan keangkerannya, tak lagi memiliki daya gertak terhadap gerakan mahasiswa. Selanjutnya kita semua tahu: Soeharto tumbang.
Selain sedih atas banyaknya korban—yang kini banyak dilupakan, reformasi telah dikhianati—tak terlupakan kenangan merasakan sendiri kegairahan dan kegembiraan ketika para mahasiswa menduduki Gedung DPR waktu itu. Kenangan sempat segar kembali ketika beberapa teman mengirim foto mereka, senyum manis ikut dalam demonstrasi besar di gedung yang sama bulan lalu.
Apakah sejarah akan berulang?
Hal-hal yang tampak kecil, tidak penting, sejatinya ada kaitan satu sama lain, bahkan merupakan elemen dari struktur sosial lebih besar. Yang senang baca buku tahu, sejak lama dunia sastra mengungkap hal itu, misalnya seperti Arundathy Roy dalam The God of Small Things atau Milan Kundera dalam Festival of Insignificance.
Terlebih pada zaman digital ini, tambah tak mungkin kita mengabaikan signifikansi hal-hal sehari-hari yang tampak remeh-temeh. Terbukti dari situ kebobrokan elite penguasa terkelupas lapis demi lapis.
Dinamika sosial sekarang sebagian besar ditentukan oleh teknologi yang kini telah mentransformasikan manusia menjadi makhluk digital. Orang bisa naik menjadi penguasa melalui manipulasi digital, merepresentasikan diri yang bukan diri dia yang sebenarnya.
Semacam lakon pewayangan Petruk Dadi Ratu, pada lakon Petruk kontemporer ini perubahan musim tidak ditentukan oleh sesuatu yang substansial yang berhubungan dengan kenyataan di alam, tapi bagaimana kenyataan yang tidak alami, semu, virtual, menentukan nasib manusia.
Dalam hal kekuasaan, untuk mempertahankannya diperlukan usaha terus-menerus dengan memoles dan mendandaninya agar tidak terbongkar sifat semunya. Maka, dibentuklah pasukan, dari yang resmi dengan sebutan ”staf khusus” sampai yang kurang resmi, tapi kelihatannya bekerja jauh lebih trengginas daripada yang resmi, namanya buzzer.
Tugas mereka adalah mengacaukan apa yang disebut kenyataan, menggantikan apa yang nyata dengan yang tidak nyata. Garis besar operasi mereka—serupa departemen agitasi dan propaganda rezim fasis—adalah melemahkan nalar rakyat.
Terdiri dari jajaran pesohor, selebritas, bintang film, dan lain-lain, mereka memiliki pengaruh jauh lebih besar dibandingkan para pemikir, akademisi, guru besar, dan makhluk-makhluk berkategori ”serius” yang kini semakin kurang dibutuhkan. Teknologi informasi telah membebaskan manusia, menjadikan pengamat bola dan segenap penonton di stadion sama pangkatnya.
Beberapa waktu lalu, bersama Sutanto yang ditokohkan di lingkungannya, kami jalan-jalan di Candi Mendut tak jauh dari kediamannya. Pada dinding candi terpahat relief orang memanah langit. Di langit dilukiskan seekor burung terbang menggondol kura-kura. Pada dunia bawah, ditandai dengan relief kerbau, rakyat pesta pora. Relief itu bertarikh 824 Masehi, artinya dibikin persis 1.200 tahun silam.
Apakah yang bisa dibaca dari relief tersebut?
Seperti diuraikan di atas, perubahan musim sekarang ini berlangsung cepat dan tak terduga.
Langit yang dipanah itu dalam literasi kuno adalah simbol mandat kekuasaan.
Kita tak tahu apa yang akan terjadi pada hari-hari dekat mendatang.***