Membangun Kesadaran Ekologis Siswa
Pendidikan lingkungan merupakan sebuah proses pembelajaran untuk membangkitkan kesadaran kritis dalam diri siswa.
Saat mengajar murid kelas III sekolah dasar sekitar 20 tahun yang lalu, penulis bertanya, ”Dari mana asal beras?” Seorang siswa menjawab, ”Dari rice cooker.” Saat itu, siswa tersebut berusia sekitar 9 tahun, tinggal di wilayah yang cukup dekat dengan hamparan sawah.
Kita pernah berada pada suatu masa ketika aktivitas menggambar murid TK dan SD didominasi karya berupa gambar gunung, matahari, dan 1-2 bidang sawah.
Jadi, dari dua hal itu, mungkin kita sepakat bahwa ada jarak yang terbentang panjang antara diri anak itu dan alam. Apakah ini kegagalan pendidikan, baik di rumah maupun sekolah? Entahlah. Bisa saja itu ’sekadar’ sebuah indikasi bahwa ada kelengahan dalam proses pendidikan yang mereka alami.
Dalam pendidikan, ada satu aspek yang sering terabaikan: kesadaran lingkungan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memandang, konsep pendidikan lingkungan yang membangun kesadaran ekologi para peserta didik atau ekopedagogi perlu diterapkan.
Baca juga: Pendidikan untuk Kelestarian Lingkungan
Sistem pendidikan modern terjebak dalam logika kapitalisme sehingga sangat jarang menempatkan kesadaran ekologi sebagai prioritas. Akibatnya, siswa hanya diajak untuk memahami lingkungan secara superfisial.
Guru kesulitan menyentuh akar masalah, yaitu hubungan antara kekuasaan, ekonomi, dan perusakan alam. Padahal, pendidikan lingkungan bukanlah sekadar tumpukan fakta terkait alam, melainkan sebuah proses pembelajaran untuk membangkitkan kesadaran kritis dalam diri siswa.
Dengan demikian, ketika siswa mendalami hakikat ekosistem, mereka tidak hanya belajar tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya atau perlunya menghemat penggunaan air. Pun mereka bukan hanya belajar mengenai flora dan fauna, melainkan juga menyelami hubungan kompleks antara manusia dan alam.
Siswa menjadi memahami dampak dari setiap pilihan mereka walau itu hanyalah hal ’kecil’ seperti menggunakan sedotan bambu dan bukan plastik. Mereka akan cenderung mengambil langkah yang bertanggung jawab. Di sinilah letak kekuatan pembelajaran, seiring dengan terbentuknya pemahaman yang mendalam akan muncul keinginan untuk bertindak.
”Critical service learning”
Pada titik ini, bicara mengenai service learning lantas menjadi hal yang relevan. Service learning adalah program yang mengintegrasikan pembelajaran akademik dengan pengalaman nyata di tengah masyarakat. Pelaksanaannya kerap menggandeng mitra dari luar sekolah.
Masyarakat mungkin lebih familiar dengan istilah community service, sebuah kegiatan ekstra tetapi rutin yang tak ada dalam kurikulum: memberikan bimbingan belajar bagi anak tak mampu, mengadakan panggung boneka di panti asuhan, dan lain-lain. Ini semua adalah aktivitas yang positif. Kepekaan sosial siswa jadi terasah. Akan tetapi, daya dorong setiap program berbeda-beda.
Oleh karena itulah, jika siswa sudah berangkat dewasa, katakanlah misalnya murid SMA, ada satu pendekatan yang tatarannya satu langkah lebih maju dibandingkan dengan (traditional) service learning, yaitu critical service learning. Critical service learning adalah pendekatan yang lebih mendalam dan reflektif.
Dalam konteks pendidikan ekologi, program critical learning service mendorong mereka untuk berkenalan dengan isu keadilan sosial dan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Dalam sistem pendidikan yang sudah terperangkap dalam logika kapitalisme, sekolah sering kali hanya mempersiapkan siswa untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Critical service learning menawarkan alternatif yang menyegarkan.
Program ini memungkinkan siswa melihat melampaui apa yang tampak di permukaan, menantang asumsi-asumsi yang selama ini diterima begitu saja. Dalam konteks pendidikan ekologi, program critical learning service mendorong mereka untuk berkenalan dengan isu keadilan sosial dan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Dalam pendidikan ekologi, implementasi program critical service learning tidak hanya berfokus pada relasi antara siswa dan alam, tetapi juga menekankan pentingnya mengkritisi sistem sosial dan ekonomi yang melanggengkan ketidakadilan dan eksploitasi alam. Dengan kata lain, critical service learning mendorong siswa untuk mempertanyakan struktur kekuasaan dan sistem kapitalistik yang sering kali mengabaikan kesejahteraan petani dan keberlanjutan lingkungan.
Sebagai contoh, sebuah sekolah di kota bisa mengirim siswanya untuk berpartisipasi dalam program urban farming. Mereka bekerja sama dengan petani lokal untuk menanam sayuran dan buah-buahan di lahan kosong.
Ini bukan hanya memberi mereka pengetahuan praktis tentang pertanian, melainkan juga menyadarkan mereka akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, bahkan di tengah kota. Selain itu, siapa tahu program ini bisa membuat mereka tertarik untuk kelak jadi petani?
Siswa lantas jadi paham bahwa kesadaran ekologis bukan ’hanya’ tentang membuang sampah di tempatnya, melainkan juga soal bagaimana kita mengelola ruang di sekitar kita dengan bijak. Mereka bisa diajak memahami konteks yang lebih luas: bagaimana petani, terutama di daerah perdesaan, sering kali terimpit sistem kapitalistik yang menekan harga hasil tani dan merusak tanah akibat penggunaan bahan kimia berlebih.
Petani, yang sering kali terpinggirkan dalam narasi pendidikan perkotaan, bisa menjadi sosok penting yang memperkenalkan siswa pada pendidikan ekologi yang amat riil. Siswa bisa mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam menjaga lingkungan dan memahami peran mereka dalam masyarakat terkait keselarasan hidup dengan alam.
Baca juga: Urgensi Sekolah Melek Ekologi
Namun, penting untuk dicermati bahwa implementasi program critical service learning di sekolah memang tidak mudah membawa dampak revolusioner ataupun perubahan struktural. Di tengah dunia pendidikan yang menuntut guru untuk banyak berkutat dengan tugas administrasi, guru berhasil membangun kesadaran ekologis siswa saja rasanya sudah merupakan sebuah pencapaian yang berarti.
Tak mudah melakukan program ini. Guru dituntut untuk banyak membaca dan mampu berpikir kritis. Kesuksesan program ini juga mensyaratkan adanya dana serta rapat ekstra terkait relevansi program dengan metode penilaian dalam mata pelajaran. Adapun dukungan dari kepala sekolah tentu mutlak harus ada karena keberhasilan program ini menuntut adanya kolaborasi dengan pihak eksternal.
Program ini sangat berpotensi untuk menjadi titik awal yang penting untuk menghubungkan siswa dengan realitas lingkungan dan sosial yang sering terabaikan dalam ruang kelas. Memang ini hanyalah sebuah langkah kecil. Akan tetapi, apabila dilakukan secara reguler, program ini dapat memberikan dampak signifikan bagi keberkelanjutan ekologis.
Meicky Shoreamanis Panggabean, Dosen Universitas Pelita Harapan