Zionisme Biden dan Kolusi Netanyahu-Trump
Perang Gaza telah menjungkirbalikkan Timur Tengah dan membuka topeng AS dan sekutu Barat.
Kendati Amerika Serikat, salah satu mediator perundingan gencatan senjata Israel-Hamas, memelihara optimisme, mediator lain (Mesir dan Qatar) menunjukkan skeptisisme mereka akan keberhasilannya.
Senapas dengan dua negara itu, tim perunding Israel juga menyatakan sulit mencapai kemajuan dalam perundingan selama posisi maksimalis Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak berubah.
Titik macetnya (sticking point) adalah insistensi Netanyahu mempertahankan militer Israel (IDF) di Koridor Philadelphia di perbatasan Gaza-Mesir dan Koridor Netzarim yang membelah Gaza jadi dua area, yaitu Gaza utara dan Gaza selatan, sebagai syarat pengakhiran perang.
Sebagaimana diketahui, pada 15-16 Agustus 2024, Israel dan Hamas terlibat perundingan gencatan senjata tidak langsung di Doha, Qatar. Kendati tak ikut serta dalam perundingan, Hamas diberi laporan ringkas mengenai progresnya.
Gagal total di Doha, perundingan dilanjutkan di Kairo, Mesir, pada 25 Agustus. Lagi-lagi tak membuahkan hasil. Hamas tetap ngotot agar perundingan dibatasi hanya pada soal mekanisme implementasi proposal yang diajukan Presiden AS Joe Biden pada 31 Mei dan didukung Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2735. Biden menyatakan proposal itu milik Israel. Hamas menyambutnya.
Kalau Israel buying time sampai pemilu AS dan Biden tak berdaya memaksanya deal dengan Hamas, kita masih akan menyaksikan genosida di Gaza yang mengancam ketertiban dunia.
Proposal tiga fase itu akan berujung pada gencatan senjata permanen, IDF ditarik dari seluruh Gaza, dan tahanan Palestina dibebaskan dari penjara- penjara Israel, sebagai imbalan Hamas membebaskan sisa 112 sandera Yahudi yang masih ditahan di Gaza.
Dua sticking point itu tak ada dalam proposal asli. Kalau Koridor Philadephia, zona demiliterisasi, dihasilkan dari perjanjian perdamaian Israel-Mesir pada 1979, Koridor Netzarim dibuat baru-baru ini saja. Israel menyatakan Koridor Philadelphia dimanfaatkan Hamas untuk menyelundupkan senjata. Sementara Koridor Netzarim akan dipakai Israel untuk mengendalikan mobilitas warga Gaza.
Sikap Biden
Kendati Israel menambah syarat baru dalam proposal, Biden tak kuasa mencegahnya. Malah bantuan ekonomi puluhan miliaran dollar AS terus mengalir ke Israel. Demikian juga proteksi diplomatik dan pasokan senjata mematikan yang digunakan Israel untuk melakukan genosida, dehumanisasi, kejahatan perang, dan pelanggaran kemanusiaan terhadap warga sipil Palestina.
Sejauh ini, sudah lebih dari 40.000 warga Gaza terbunuh. Memang Hamas juga melakukan kejahatan kemanusiaan—ketika membunuh 1.139 warga Yahudi dan menyandera 253 orang lainnya di Gaza—dalam serangan 7 Oktober. Dus, Israel punya hak bela diri.
Namun, yang dilakukan Israel bukan lagi membela diri, melainkan penghancuran peradaban dan penganiayaan yang keji terhadap anak-anak dan perempuan Palestina yang tidak ada presedennya pasca-Perang Dunia II.
Apalagi, sesuai semangat Piagam PBB, Palestina sebagai bangsa terjajah berhak melakukan tindakan membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Mayoritas warga Gaza (73 persen) adalah mereka yang terusir dari kampung halamannya di Israel pada 1948 ketika organisasi-organisasi teror Zionis membumihanguskan 350 desa Palestina dalam insiden yang dikenal sebagai Nakba atau Bencana.
Kendati kultur politik pro-Israel telah mengakar di berbagai lembaga strategis AS yang harus diperhitungkan Biden dalam mengambil keputusan terkait Israel—terlebih menjelang pilpres AS, November mendatang—sesungguhnya presiden AS memiliki otoritas yang besar untuk menekan negara kliennya mengubah pendiriannya.
Pada 1982, misalnya, Presiden Ronald Reagen berhasil menekan PM Israel Menachem Begin untuk menghentikan perang di Lebanon setelah sekitar 1.000 pengungsi Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila digorok proksi Israel, yakni kaum Phalangist.
Pada 1992, Presiden George Bush juga berhasil memaksa PM Israel Yitzhak Shamir menghadiri konferensi perdamaian Arab-Israel di Spanyol.
Sikap permisif Biden atas apa pun yang dilakukan Netanyahu tak bisa dilepaskan dari ideologi zionisme yang dipeluknya.
Terkait invasi Israel ke Lebanon untuk mengusir Organisasi Pembebasan Palestina yang berujung pada insiden Sabra dan Shatila, sebagai senator muda AS—dalam pertemuan pribadinya dengan Begin—Biden menyatakan, ”dia akan bertindak lebih jauh ketimbang yang dilakukan Israel” dan ”menangkis dengan kekuatan penuh siapa pun yang berusaha menginvasi Israel, bahkan jika itu berarti membunuh perempuan dan anak-anak”.
Belakangan, kepada wartawan Israel, Begin, yang terkejut dengan pernyataan Biden, menjawab, ”I disassociated myself from this remark. I said to him: No, Sir; attention must be paid. According to our values, it is forbidden to hurt women and children, even in war.... Sometimes there are casualties among the civilian population as well. But it is forbidden to aspire to this. This is a yardstick of human civilization, not to hurt civilians” (Faisal Kutty, 2/4/2024).
Baca juga: Gaza dalam Bayang-bayang Pusara Genosida
Begin, pemimpin Irgun yang terlibat dalam peristiwa Nakba, ternyata masih lebih moderat ketimbang Biden. Dus, bukan hal yang mengejutkan bila kini Biden membela tindakan keji Israel di Gaza. Ia bahkan tak mengecam tindakan Israel menyerang Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, yang melanggar hukum internasional.
Dalam pembunuhan Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh di Teheran, Iran; bukannya mengecam Israel, Biden malah menambah aset-aset militer AS yang sudah ada di Timur Tengah untuk mencegah Iran membalasnya.
Sikap memihak AS inilah yang memaksa Iran harus mengambil jalan sendiri untuk menghukum Israel guna mengimbangi kekuatan deterrence Israel. Namun, memang, kini Biden serius mengupayakan gencatan senjata Hamas-Israel.
Pertama, perang telah sampai pada garis batas sehingga melanjutkannya adalah upaya konyol. Israel malah akan kian terisolasi. Kedua, Biden ingin meninggalkan legacy terpuji saat meninggalkan Gedung Putih. Kini pendukung Palestina dan komunitas anti-perang AS menjulukinya ”Genocide Joe”.
Ketiga, perang berkelanjutan sampai pemilu AS dapat berdampak negatif pada calon presiden dari Partai Demokrat, Kamala Harris. Namun, tindakan Biden menekan Netanyahu tidak akan efektif tanpa disertai penghentian bantuan senjata.
Kolusi Netanyahu-Trump
Posisi maksimalis yang diambil Netanyahu merupakan tindakan mengulur-ulur waktu sampai pemilu AS. Pada 14 Agustus atau sehari sebelum perundingan di Doha, calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, menelepon Netanyahu memintanya tidak deal dengan Hamas. Tujuannya menggembosi suara Harris.
Kendati Biden sangat berbaik hati kepada Netanyahu, Trump dilihat sebagai tokoh yang lebih pro-Israel. Memang selama menduduki Gedung Putih (2017-2020), Trump berhasil menormalisasi hubungan Israel dengan empat negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko) melalui Abraham Accord.
Ia juga menghentikan bantuan AS kepada lembaga PBB yang mengurusi pengungsi Palestina (UNRWA) dan mengakui Jerusalem secara keseluruhan sebagai milik Israel. Untuk menyelesaikan isu Palestina, Trump memaksakan konsep perdamaiannya yang berat sebelah. Palestina hanya diberikan teritorial di sebagian kecil Tepi Barat, Gaza, kantong di Gurun Negev, dan Desa Abu Dis di luar Jerusalem Timur.
Lebih jauh, 5,9 juta pengungsi Palestina yang terserak di kamp-kamp pengungsi di Jordania, Suriah, dan Lebanon tak lagi diakui AS.
Sebenarnya dukungan Biden kepada Israel juga sangat kokoh (ironclad). Toh, ia tak mengubah kebijakan Trump. Namun, Biden menjanjikan two-state solution pasca-perang Gaza. Kita tidak tahu apa visi Biden terhadap negara Palestina.
Faktanya, ia menolak negara Palestina kecuali dihasilkan dari perundingan langsung Israel-Palestina. Sikap ini jelas berpihak kepada Israel karena dalam perundingan yang tidak seimbang antara Israel dan Palestina pasti syarat-syaratnya didikte Israel. Bagaimanapun, Netanyahu menolak two-state solution. Tak heran, ia menginginkan kembalinya Trump ke Gedung Putih untuk menguburkan gagasan itu.
Perang Gaza telah menjungkirbalikkan Timur Tengah dan membuka topeng AS dan sekutu Barat yang tak dapat dipulihkan sampai Palestina memperoleh kemerdekaan.
Nasib perundingan
AS menyatakan, perundingan gencatan senjata Hamas-Israel masih berlangsung di Kairo oleh para pejabat tingkat rendah dari negara-negara mediator. Namun, negosiator Hamas telah meninggalkan Kairo.
Sikap Hamas ini mengindikasikan skeptisismenya menghadapi sikap keras kepala Israel dan peran memihak AS. Sikap Netanyahu tak saja bertujuan menjaga kelangsungan hidup pemerintahan dan karier politiknya, tetapi juga mematikan aspirasi bangsa Palestina untuk memiliki negara.
Apabila IDF mundur sepenuhnya dari Gaza dan Hamas tak menyerah, mau tidak mau Israel harus maju ke meja perundingan perdamaian berbasis pada prinsip two-state solution di mana Palestina akan mendapatkan lebih dari apa yang bisa diberikan Israel.
Namun, Israel tidak dalam posisi mendikte syarat-syarat gencatan senjata. Menghancurkan Gaza dan membunuh lebih banyak orang Palestina guna menekan Hamas menerima apa yang diinginkannya adalah tindakan yang tidak sesuai dengan logika politik. Hamas dalam posisi nothing to lose sehingga ia akan bertahan pada posisinya.
Toh, kalau menerima syarat Israel, Hamas akan ditinggalkan para pendukungnya sebagai pecundang. Hamas yang memulai, maka Hamas juga yang harus mengakhiri dengan kemenangan. Namun, ini justru yang menjadi momok bagi Israel. Sementara, daya dukung Timur Tengah untuk krisis berkepanjangan tak banyak lagi.
Pada saat perundingan berlangsung di Kairo, Israel dan Hezbollah saling melancarkan serangan besar yang mengancam meluasnya perang regional. Perang berlangsung singkat. Namun, Hezbollah menyatakan itu baru serangan babak pertama untuk membalas kematian Fuad Shukr, komandan senior Hezbollah, yang dibunuh Israel di Beirut, beberapa jam sebelum Haniyeh dibunuh.
Serangan Hezbollah jelas bertujuan menekan Israel dalam perundingan dengan Hamas. Di pihak lain, Iran mempertahankan janjinya akan membalas kematian Haniyeh.
Dunia percaya Iran tak akan mewujudkan ancamannya kalau gencatan senjata Hamas-Israel bisa tercapai. Toh, itu perangkap yang dipasang Israel dan bukan kepentingan Iran untuk mengobarkan perang besar. Namun, demi menyelamatkan wibawanya di depan publiknya dan proksinya, pembalasan ”harus” dilakukan.
Dus, bola sekarang berada di kaki Netanyahu dan Biden. Kalau Israel buying time sampai pemilu AS dan Biden tak berdaya memaksanya deal dengan Hamas, kita masih akan menyaksikan genosida di Gaza yang mengancam ketertiban dunia. Kalaupun kelak Trump kembali ke Gedung Putih, mustahil AS dan Israel bisa memutar jarum jam kembali.
Perang Gaza telah menjungkirbalikkan Timur Tengah dan membuka topeng AS dan sekutu Barat yang tak dapat dipulihkan sampai Palestina memperoleh kemerdekaan.
Smith Alhadar, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)