Warisan Makassar
Ini kisah orang Makassar, yang terekam dalam sejarah nasional empat negara, Thailand, Indonesia, Perancis, dan Inggris.
Dari jendela kamar sebuah hotel di Bangkok, saya memandang Sungai Chao Phraya. Perahu kayu yang biasa membawa tamu-tamu berpiknik hilir-mudik di sungai itu baru saja menepi ke daratan, di bawah sana. Di bagian hulu, Sungai Chao Phraya dan dua cabang sungai lainnya, Pasak dan Lopburi, mengaliri wilayah kota Kerajaan Ayutthaya masa silam. Jarak pusat kota Bangkok ke Ayutthaya sekitar 80 kilometer. Kampung Makassar dulu berada di tepi Lopburi.
Ini kisah tentang orang Makassar, yang terekam dalam sejarah nasional empat negara, Thailand, Indonesia, Perancis, dan Inggris.
Sebagian orang Thai masih mengingat peristiwa pemberontakan orang-orang Makassar pada abad ke-17 di Ayutthaya. Pemberontakan itu dipimpin Daeng Mangalle. Ia adalah putra Sultan Malikussaid, saudara seayah Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Gowa. Keterangan ini tertulis dalamDescription Historique du Royaume de Macassar (1688), buku Nicolas Gervaise, pastor Jesuit, yang hidup sezaman dan pernah berjumpa dengan Daeng Mangalle.
Pada 1660 Daeng Mangalle meninggalkan Makassar karena difitnah dan harus mendayung perahu kecil pada malam hari menuju Jawa untuk menyelamatkan nyawa. Setelah hampir empat tahun di Jawa, ia terancam oleh Belanda yang mencium jejaknya dan terpaksa mencari suaka ke Siam (kini Thailand) bersama istri dan rombongannya. Kedatangan orang-orang Makassar ini disambut baik di Kerajaan Ayutthaya, yang dikenal sebagai kerajaan multietnis.
Baca juga: Berkat Mobil Pakubuwono
Masalah antara orang Makassar dan Raja Ayutthaya Phra Narai mengemuka saat raja mengangkat Constantine Phaulkon, seorang Yunani dan pegawai maskapai dagang Inggris, menjadi perdana menteri. Phaulkon memiliki kewenangan luas di Ayutthaya. Francois Timoléon, abbé de Choisy, pejabat Kedutaan Perancis di Ayutthaya masa itu mengenal Phaulkon, yang disebutnya kejam, arogan, ingin menjadi raja, dan memperalat agamanya sendiri untuk mencapai ambisi.
Phaulkon menuduh Daeng Mangalle sebagai inisiator persekongkolan orang Melayu dan Champa yang ingin menjatuhkan Phra Narai. Ia didesak meminta ampun kepada raja, dengan syarat yang merendahkan siri’atau kehormatannya.
Pada 23 September 1686, Phaulkon memimpin pasukan gabungan Ayutthaya dan sekutu Eropanya menyerang Kampung Makassar. Daeng Mangalle gugur. Dua putranya, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo, ditawan lalu dibawa pergi ke Perancis. Raja Louis XIV dari Dinasti Bourbon mengangkat kedua anak itu sebagai bangsawan dan menyekolahkan mereka. Dua putra Makassar tersebut juga dibaptis sebagai Katolik. Nama Daeng Ruru berubah menjadi Louis Pierre Macassart, sedangkan Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin Macassart.
Pada 5 Juni 1688, Phaulkon dieksekusi bangsa Thai yang sangat muak terhadap kejahatannya. Louis Dauphin Macassart wafat pada 30 November 1736 dalam usia 62 tahun. Ia dimakamkan dalam gereja Saint Louis de Brest. Di masa Perang Dunia II, gereja itu hancur dibom Nazi.
Ayah tergugah membaca kisah tentang dua putra bangsa Makassar, yang dimuliakan di Perancis. Waktu itu ia juga sudah sakit-sakitan dan berwasiat jika kelak ibu saya tiada harap dimakamkan di permakaman para leluhurnya di Banten agar mereka tak terpisah.
Dua tahun sebelum ayah saya wafat, buku Bernard Dorléans yang juga memuat kisah Daeng Mangalle diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia dengan judul Orang Indonesia dan Orang Prancis, Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006). Ayah tergugah membaca kisah tentang dua putra bangsa Makassar, yang dimuliakan di Perancis. Waktu itu ia juga sudah sakit-sakitan dan berwasiat jika kelak ibu saya tiada harap dimakamkan di permakaman para leluhurnya di Banten agar mereka tak terpisah.
Wasiatnya dijalankan. Makam Ibu berada sekitar 10 meter di muka makam Sultan Agung Abu Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dalam kompleks pemakaman Sultan Maulana Yusuf di Kasunyatan, Banten. Makam Pangeran Aria Jepara, pengganti Ratu Padjadjaran penguasa Jepara, juga berada di situ.
Di Banten pula Constantine Phaulkon memulai kariernya sebagai juru tulis maskapai dagang Inggris (East India Company) pada masa Sultan Agung Tirtayasa sebagaimana tertulis dalam buku Claude Guillot, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII (2008). Wasiat lain ayah saya terlalu berat dilaksanakan. Ia ingin saya menghubungi gereja Katolik yang memiliki jaringan dengan gereja Saint Louis de Brest untuk memohon makam Louis Dauphin Macassart direkonstruksi.
Pada 7 September 2024, harian Kompas memuat berita berjudul, ”Uskup Agung Jakarta Tak Mau Deklarasi Istiqlal Hanya Tersimpan di Laci, Ingin Gerakan Lanjutan”.
Baca juga: Eksploitasi Anak dalam Konflik
Atas dasar pernyataan Uskup Agung Jakarta yang menindaklanjuti sikap resmi Vatikan terhadap hubungan kemanusiaan, persaudaraan, dan toleransi, saya memohon agar Takhta Suci Vatikan dan gereja Katolik di Perancis khususnya merekonstruksi makam Louis Dauphin Macassart sebagai monumen sejarah dan persahabatan antarbangsa dan antarkepercayaan. Antirasialisme, antidiskriminasi, antipenjajahan, antipenindasan, kesetiaan, keberanian, rasa malu, dan kehormatan adalah nilai-nilai yang wajib diwariskan dari generasi ke generasi.
Louis Dauphin Macassart juga mendirikan ordo kesatria, yang dikenal sebagai ordo bintang atau Ordre de l'Étoile. Ordo ini didedikasikannya untuk Perawan Suci Maria. Raja John II dari Perancis pernah mendirikan ordo dengan nama serupa pada pertengahan abad ke-14.
Bangsa Makassar sangat menghargai nilai-nilai budaya yang diwariskan para pendahulunya, termasuk bersumpah setia sambil menggenggam badik terhunus atau angngaru’ sebelum menghadapi serangan musuh. Menurut kesaksian yang terekam dalam laporan ataupun buku sejarah, menjelang serangan pasukan gabungan yang dipimpin Phaulkon, orang-orang Makassar melaksanakan angngaru’.
Sumpah setia ini diikrarkan seorang individu/tubarani yang mewakili diri sendiri atau suatu negara. Saat itu mereka bersumpah setia di hadapan Daeng Mangalle. Angngaru' disuarakan keras sehingga terdengar sampai ke loji Belanda yang berjarak lebih dari dua kilometer di seberang sungai.
Linda Christanty,Sastrawan dan Pegiat Budaya