Simalakama Pertanian dalam Perubahan Iklim
Perubahan iklim adalah fenomena nyata, bukan fiksi dan bukan asumsi.
Perubahan iklim adalah fenomena nyata, bukan fiksi dan bukan asumsi. Dalam 120 tahun terakhir, suhu bumi naik 1,5 derajat celsius dan bahkan diprediksi mencapai 2 derajat celsius pada 2100. Lapisan es kutub telah mencair dan berdampak pada kenaikan signifikan permukaan air laut.
Di Indonesia, kenaikan muka air laut mencapai 3,9 milimeter per tahun (Triana dan Wahyudi, 2020). Suatu kenaikan yang amat mengkhawatirkan dan dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan telah terjadi kenaikan air laut 60 sentimeter selama periode 2000-2100. Perubahan iklim ekstrem memengaruhi produksi dan produktivitas sektor pertanian dan perikanan serta menurunkan tingkat ketahanan pangan dan penghidupan masyarakat.
Baca juga: Suhu Bumi Bertambah 0,26 Derajat Celsius dalam Satu Dekade,La Nina Tidak Bisa Lagi Mendinginkan
Dampak penurunan ketahanan pangan sangat parah bagi penduduk Sub-Sahara Afrika, Asia, pulau-pulau kecil, Amerika Latin, dan produsen pangan skala kecil. Di Indonesia, kekeringan ekstrem 2023 menurunkan produksi beras sekitar 800.000 ton (1,41 persen), bahkan menciptakan rekor baru impor beras hingga 3 juta ton.
Korban dan kontributor
Kita dihadapkan pada posisi dilematis atau simalakama sektor pertanian dalam diskursus perubahan iklim karena pertanian adalah korban perubahan iklim sekaligus kontributor emisi gas rumah kaca (GRK).
Sektor pertanian adalah korban perubahan iklim karena terdampak sangat signifikan, baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang.
Tim studi International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Bappenas yang didukung Bank Pembangunan Asia (ADB) membuat proyeksi dampak perubahan iklim pada produktivitas pangan strategis.
Pada 2030, produktivitas tebu diperkirakan turun 2,8 persen, biji-bijian turun 2,2 persen, minyak nabati turun 1,6 persen, buah dan sayuran turun 1,1 persen, serta umbi-umbian turun 1,8 persen. Jika tidak dilakukan tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pada 2050, dampak penurunan produktivitas akan lebih dahsyat lagi.
Sektor pertanian menjadi kontributor signifikan GRK, terutama dari perubahan tata guna lahan, penggunaan pupuk kimia, dan penggenangan air pada sistem irigasi padi sawah.
Aplikasi pupuk kimia menghasilkan nitrogen oksida (N2O), sistem irigasi terbuka menghasilkan gas metana (CH4), dan pembakaran jerami menghasilkan gas karbon dioksida (CO2). Sistem usaha tani padi Indonesia menghasilkan emisi GRK sangat tinggi, terutama dari CH4 yang dilepaskan ke udara, hingga 78,3 juta ton CO2 ekuivalen (CO2 eq).
Intensitas emisi yang dihasilkan 1,4 ton CO2 eq per ton produksi padi sehingga pangsa emisi GRK padi mencapai 50 persen dari total emisi GRK pertanian. Ini jauh lebih tinggi dari pangsa emisi GRK padi di tingkat global (11,4 persen).
China (22,5 persen), Malaysia (31,6 persen), dan Myanmar (32,1 persen) lebih rendah dibandingkan rata-rata Asia Tenggara (46,9 persen). Di tingkat global, dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kita berkomitmen mengurangi GRK hingga 2030 sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional.
Perubahan iklim adalah fenomena nyata, bukan fiksi dan bukan asumsi.
Pengurangan emisi GRK terbesar melalui pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (forest and other land uses/FOLU) sebesar 17,4 persen usaha sendiri dan 25,4 persen dengan bantuan internasional, transisi energi 12,5 persen dan 15,5 persen, pengelolaan limbah 1,4 persen dan 1,5 persen, sistem produksi industri (industrial process and production use/IPPU) 0,10 dan 0,11 persen, serta sektor pertanian 0,32 persen dan 0,13 persen.
Di sektor pertanian, pengurangan emisi GRK itu meliputi penggunaan varietas rendah emisi di lahan sawah seluas 902.000 hektar, penerapan sistem pengairan air sawah hemat air sebesar 2,5 juta hektar, pemanfaatan limbah ternak untuk biogas dari 166.000 hewan ternak, dan perbaikan suplemen pakan ternak pada 6,9 juta ternak ruminansia di 2030.
Strategi pembangunan pertanian seperti dijelaskan di atas dikenal dengan istilah pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture/CSA), suatu sistem pertanian yang telah ditransformasi dan direorientasi untuk mendukung pembangunan sosial-ekonomi bangsa serta menjamin ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim.
Tujuan CSA untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani secara berkelanjutan, melakukan adaptasi dan membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, serta mengurangi emisi GRK sesuai NDC. CSA mengidentifikasi sinergi serta menyeimbangkan trade-off dalam mencapai tujuan ketahanan pangan dan gizi serta pembangunan berkelanjutan (dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan) bidang pertanian.
CSA menyelaraskan kebutuhan dan prioritas beberapa pengampu kepentingan untuk mencapai sistem pangan dan pertanian yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan.
Beberapa inisiatif percontohan (pilot project) CSA dan sistem usaha tani padi rendah karbon (low-carbon agriculture) perlu ditingkatkan skalanya (scaling-up) dan perlu diperluas cakupannya (scaling-out), bahkan menjadi program nasional.
Misalnya, Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project (SIMURP) pada 10 lokasi pilot yang didanai Bank Dunia perlu diperluas setidaknya mencakup 30 provinsi. Sustainable Rice Platform-National Working Group (SRP-NWG) yang dilaksanakan bersama Rikolto Rice perlu diperluas dan disempurnakan.
Gerakan Tani Pro-organik (Genta-Organik) Kementerian Pertanian perlu diperluas hingga ke pelosok perdesaan.
Pengembangan benih unggul CSA, seperti IPB12, IPB13, IPB14, dan IPB15, perlu terus dilakukan, menyertai benih IPB 3S dan IPB 4S yang telah dilaksanakan. Perluasan pupuk berimbang, pupuk hayati, dan pestisida-bio perlu dilaksanakan secara konsisten melalui peta jalan pertanian organik.
Inisiatif pertanian presisi perlu diperluas. Penyempurnaan sistem tanam sejajar dan panjang-lebar (jajar legowo), penggunaan kalender tanam, dan pengukuran langsung emisi GRK perlu jadi norma penting.
Gerakan Tani Pro-organik (Genta-Organik) Kementerian Pertanian perlu diperluas hingga ke pelosok perdesaan.
Perubahan kebijakan
Pertama, pengurangan trade-off posisi pertanian sebagai korban dan kontributor perubahan iklim harus diminimalkan lewat teknologi adaptif.
Revisi grand design Pembangunan Berketahanan Iklim dan Rendah Karbon Sektor Pertanian memasukkan second NDC, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029.
Kedua, penajaman subsidi pertanian lebih tepat sasaran, subsidi langsung petani (SLP), investasi infrastruktur perdesaan, R&D, dan penyuluhan yang efektif. Reformasi total ekosistem inovasi yang memungkinan seluruh hasil R&D dapat didiseminasi secara luas dan diadopsi petani sampai pelosok.
Ketiga, pendampingan serta pemberdayaan petani dan kelembagaan petani, seperti Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan Kelompok Wanita Tani (KWT), melalui berbagai media: field day, benchmarking karena seeing is believing.
Keempat, peningkatan kesadaran pertanian cerdas iklim CSA sejak dini, sejak kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Di tingkat lanjutan, pendekatan transdisiplin berbagai bidang perlu disebarluaskan plus keterampilan memadai kepada petani milenial.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung, Ekonom Senior Indef, dan Presiden Asian Society of Agricultural Economists