Kembalikan Inklusivitas Berolahraga Masyarakat
Olahraga yang bersifat umum (inklusif), bukan keminatan, penting sebagai fondasi dasar menciptakan SDM sehat dan bugar.
”Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” menjadi jargon kampanye olahraga yang akrab terdengar di era 1990-an. Jargon yang ampuh menggelorakan partisipasi masyarakat untuk berolahraga.
Kita bisa melihat hampir di setiap sekolah, kantor, kampung bahkan lomba tujuh belasan selalu hadir senam kesegaran jasmani (SKJ). Senam ini menjadi menu wajib bagi siswa sekolah di saat berolahraga.
Padahal, di masa itu, belum ada media sosial seperti saat ini, belum ada pemengaruh (influencer), dan belum ada konten trending yang diikuti (follow) berjuta pengguna internet (netizen). Inilah bentuk inklusivitas olahraga yang dilakukan masyarakat tanpa terjeda oleh usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, dan strata sosial.
Di masa kini, semarak partisipasi masyarakat pada aktivitas olahraga cenderung menurun. Data partipasi masyarakat Indonesia pada aktivitas olahraga di tahun 2023 mencapai angka 25,4 persen, lebih rendah dari tahun 2022 yang di angka 30,93 persen dan pada 2021 di angka 32,80 persen.
Baca juga: Kebijakan, Potret, Tantangan, dan Target Olahraga Masyarakat 2045
Masyarakat kehilangan minat berolahraga? Justru di saat banyak media sosial yang berpotensi dimanfaatkan menjadi corong kampanye inklusivitas olahraga, masyarakat tak lagi peduli dengan senam SKJ, permainan tradisional, dan jalan sehat tujuh belasan.
Kekhawatiran akan hilangnya minat masyarakat untuk berolahraga tidak sepenuhnya tepat. Partisipasi masnyarakat tidak menghilang, tetapi bergeser ke aktivitas olahraga eksklusif. Sebagian masyarakat lebih memilih berolahraga di tempat tertutup, seperti di pusat kebugaran yang nyaman, berpendingin udara, bersama trainer yang dibayar tidak murah.
Sebagian yang lain memilih melakukan olahraga bersama rekan bisnis di padang golf, tempat biliar, tempat boling atau bahkan kolam renang. Beberapa membentuk komunitas night run, bersepeda, tenis dan futsal. Yang membedakan aktivitas masyarakat berolahraga saat ini adalah lebih beragam. Lantas apa yang salah?
Sebagian berpendapat bahwa pergeseran aktivitas masyarakat berolahraga mengikuti perkembangan zaman yang dinamis. Orientasi berolahraga tidak lagi mengikuti imbauan program pemerintah saja, tetapi masyarakat memiliki berbagai tujuan yang berbeda saat berolahraga.
Ada yang ingin memperbaiki derajat kesehatan, ada yang hanya ingin mengisi waktu luang, ada yang ikutan teman agar diakui eksistensinya, bahkan ada yang berolahraga sebagai bahan konten media sosial. Berangkat dari motivasi berolahraga yang berbeda, diikuti dengan aktivitas olahraga yang berbeda, tentu akan menghasilkan luaran performa fisik yang berbeda.
Aktivitas olahraga yang termotivasi oleh minat, sebagian besar tidak terstruktur, tidak terukur, dan tidak terprogram. Semua sekadar mengikuti suasana hati, hanya berolahraga saat mood sedang baik. Menurut Bompa, seorang ahli periodisasi latihan, setiap latihan yang tidak dilakukan dengan kesungguhan secara rutin, terukur, dan terprogram hanya akan menghasilkan repsons stres akut.
Gejala stres akut pasca berolahraga antara lain meningkatnya denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, kadar gula darah, radikal bebas, dan asam laktat penyebab kelelahan. Tak ada manfaat kesehatan yang diperoleh dari aktivitas olahraga seperti ini, justru mengundang banyak masalah yang membuat cemas.
Aktivitas olahraga yang termotivasi oleh minat, sebagian besar tidak terstruktur, tidak terukur, dan tidak terprogram.
Pantaslah semakin hari, semakin banyak dijumpai publikasi tentang individu yang justru menderita sakit dan meninggal selama dan setelah berolahraga. Sebuah ironi yang kontradiktif, di saat olahraga diharapkan dapat memperbaiki derajat kesehatan, malah kesakitan dan kematian yang didapatkan.
Aktivitas olahraga kekinian telah bergeser dari inklusif menjadi eksklusif, dari olahraga masyarakat yang bersifat umum (seragam) menjadi olahraga keminatan (yang beragam). Olahraga eksklusif (yang beragam) menghadirkan persoalan baru di tengah kehidupan individu, bermasyarakat dan berbangsa.
Selain persoalan kesehatan, masyarakat mengalami kesenjangan sosial baru karena olahraga. Olahraga tertentu identik hanya untuk masyarakat dari komunitas tertentu, strata sosial tertentu, kemampuan ekonomi tertentu, atau bahkan suku dan ras tertentu. Akibatnya, terjadi fragmentasi sosial, hilang rasa kebersamaan, solidaritas dan kepedulian yang justru menjadi nilai positif yang ditanamkan melalui olahraga.
Baca juga: Gaul Gembira dengan Olahraga
Olahraga eksklusif (yang beragam) menghasilkan masyarakat dengan kualitas kebugaran yang beragam sehingga Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) memiliki opsi terbatas untuk memilih calon atlet potensial. Jumlah individu bugar di tengah masyarakat Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun.
Hal ini juga yang menjadi keprihatinan Presiden mengutip salah satu pertanyaannya, ”Apakah sesulit itu menemukan atlet dari ratusan juta penduduk Indonesia yang bugar?” Olahraga eksklusif (yang beragam) telah nyata menghilangkan fondasi penting prestasi olahraga Indonesia.
Keduanya, baik olahraga inklusif maupun eksklusif, tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk. Keduanya diperlukan untuk membangun sistem keolahragaan nasional dalam rangka mencetak generasi emas Indonesia berkualitas di tahun 2045.
Pemerintah harus hadir dalam rangka mengatur implementasi kehidupan berolahraga di tengah masyarakat. Sudah saatnya penyusunan undang-udang sebagai payung hukum sistem keolahragaan nasional perlu dikedepankan. Tidak sekadar retorika di atas kertas, tanpa didukung strategi dan instrumen teknis di lapangan yang jelas.
Saat ini pemerintah kurang berpihak pada olahraga inklusif. Hal ini dapat dicermati dari redaksi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional yang baru. Tak ditemukan lagi tujuan olahraga untuk kesehatan. Terminologi ”olahraga kesehatan” diganti dengan istilah baru, yaitu ”olahraga pendidikan”.
Ketidakberpihakan pemerintah pada olahraga inklusif juga tampak dari program Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang dicetuskan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Program DBON berorientasi pada olahraga prestasi dengan meninggalkan fondasi olahraga kesehatan yang inklusif.
Pemerintah seharusnya meletakkan olahraga inklusif sebagai dasar fondasi aktivitas fisik bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Menurut DBON, prestasi olahraga ditemukan bukan diciptakan seperti halnya prinsip utama dalam kepelatihan nurturing nature. Tanpa adanya latihan, nature sebagus apa pun tidak akan menghasilkan prestasi. Demikian juga nurturing sebagus apa pun jika dilakukan oleh indvidu yang tak berkualitas, tidak akan menghasilkan dampak prestasi.
Pemerintah seharusnya meletakkan olahraga inklusif sebagai dasar fondasi aktivitas fisik bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, kualitas nature masyarakat Indonesia, seperti derajat kesehatan, indeks kebugaran fisik, dan daya tahan stres, meningkat. Indonesia akan menikmati suplai sumber daya manusia unggul yang masif.
Selanjutnya, tugas olahraga pendidikan dan olahraga prestasi mengawal dan mengarahkan keunggulan sumber daya ini dalam periodisasi latihan yang jelas. Pada saatnya Indonesia memiliki tidak hanya satu atau dua Veddriq Leonardo atau Juniansyah, tetapi bisa memiliki lebih banyak pilihan yang tersedia dengan kualitas setara kapan pun dibutuhkan.
Olahraga inklusif sejatinya tak memerlukan syarat khusus untuk mulai melakukannya. Tetapkan saja standar baku kesehatan dan kebugaran setiap insan Indonesia. Ciptakan instrumen standar untuk melakukan intervensi di semua kelompok usia.
Baca juga: Orangtua Perlu Terlibat dalam Aktivitas Olahraga Anak
Contoh yang mudah dan baik adalah senam kesegaran jasmani yang bisa dilakukan kapan saja oleh siapa saja. Dalam kurun waktu yang ditetapkan, pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi capaian standar baku kesehatan dan kebugaran.
Individu dengan kualitas kesehatan dan kebugaran di atas nilai standar menjadi obyek pengelolaan Kemenpora, sedangkan individu dengan kualitas kesehatan dan kebugaran di bawah standar diserahkan untuk dikelola Kementerian Kesehatan.
Peringatan Hari Olahraga Nasional setiap 9 September, di tahun 2024 ini diharapkan dapat menyadarkan kita bersama akan pentingnya inklusivitas berolahraga sebagai fondasi dasar menciptakan sumber daya manusia yang sehat dan bugar dalam rangka meraih prestasi olahraga tertinggi di masa mendatang.
Bambang Purwanto, Dosen Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Olahraga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Instagram: irwan_to8228