Agama dan Transhumanisme
Persimpangan agama dan transhumanisme menawarkan bidang eksplorasi yang kaya dan potensi kolaborasi.
Gilgamesh, seorang raja di Mesopotamia, berusaha untuk menemukan cara agar bisa hidup abadi.
Dia tahu ada satu cara alami untuk menjadi abadi, yaitu dengan menggunakan herba yang tumbuh di dasar lautan. Dia pun berhasil mendapatkan herba itu. Sayangnya, sebelum sempat dia makan, herba itu diambil oleh seekor ular. Itulah kisah mitologis yang dikutip filsuf Universitas Oxford, Nick Bostrom, dalam artikelnya, ”A History of Transhumanist Thought” (2005).
Bostrom ingin menunjukkan bahwa pemikiran transhumanis—yang menganggap manusia bisa memperoleh kemampuan-kemampuan baru, yang bahkan jauh melampaui kemampuannya saat ini, seperti hidup abadi—sudah ada sejak zaman kuno, bahkan sekuno spesies manusia itu sendiri.
Baca juga: Babak Baru Rancang Manusia Super
Jika pada zaman kuno pemikiran transhumanis itu disandarkan pada hal-hal yang bersifat alamiah, pada zaman modern ini ia bersandar pada teknologi. Dengan perkembangan teknologi mutakhir, seperti kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi, para pemikir transhumanis yakin bahwa manusia bisa meningkatkan kapasitasnya menjadi manusia super: awet muda, supercerdas, dan kuat fisik. Bahkan, dalam bentuk ekstremnya, manusia bisa hidup abadi.
Angan-angan tentang manusia super itu bukanlah sesuatu yang jauh. Dua tahun lalu, menurut Guru Besar Kedokteran Universitas Airlangga Djoko Santoso (Kompas, 20/4/2022), para peneliti lintas negara yang berkolaborasi dalam Konsorsium Pengurutan Genom Manusia telah berhasil sepenuhnya memetakan dan mengurutkan genom (keseluruhan informasi genetika) manusia.
Temuan itu membuka jalan bagi para ilmuwan untuk mengetahui dan memahami cetak biru manusia secara lengkap. Pengetahuan ini, pada akhirnya, juga akan berguna bagi pengembangan teknologi penyuntingan genom manusia sehingga tubuh manusia bisa direkayasa sedemikian rupa sampai menjadi tubuh yang kuat tanpa pernah terserang penyakit dan mengalami penuaan. Saat itu terjadi, manusia super hanya tinggal menunggu bidan untuk dilahirkan.
Pada titik itulah, gerakan transhumanisme yang didukung perkembangan sains dan teknologi ini bisa memberikan tantangan serius bagi agama.
Sifat manusia
Agama-agama abrahamik, seperti Kristen, Islam, dan Yahudi, mengajarkan bahwa manusia diciptakan oleh kekuatan Ilahi serta memiliki nilai dan tujuan intrinsik. Misalnya, di agama Kristen, manusia diyakini diciptakan menurut gambar Tuhan, yang memberikan martabat dan tujuan unik bagi kehidupan manusia. Di Islam, larangan mengubah ciptaan Tuhan ini juga disampaikan secara tegas, baik dalam Al Quran maupun dalam hadis Nabi Muhammad SAW sendiri.
Kepercayaan religius tersebut bertentangan dengan gagasan transhumanis yang memiliki ambisi memodifikasi sifat manusia melalui teknologi. Kaum transhumanis melihat sifat manusia sebagai sesuatu yang dapat dan harus ditingkatkan. Mereka menganjurkan penggunaan teknologi untuk meningkatkan kemampuan kognitif, kekuatan fisik, dan bahkan rentang hidup kita.
Singkatnya, persimpangan agama dan transhumanisme menawarkan bidang eksplorasi yang kaya dan potensi kolaborasi.
Nick Bostrom, filsuf yang menjadi salah satu penyokong utama ide transhumanisme, bahkan berpandangan bahwa peningkatan kemampuan manusia dapat menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik (well-being) dan penghapusan penderitaan. Ia percaya, kita memiliki keharusan moral untuk menggunakan kecerdasan dan kreativitas kita untuk melampaui keterbatasan biologis kita sehingga mengarah pada bentuk evolusi manusia yang dipandu oleh tangan kita sendiri daripada seleksi alam.
Selain peningkatan kualitas hidup manusia melalui rekayasa teknologi, pencarian keabadian juga merupakan salah satu bidang paling menarik yang di dalamnya agama dan transhumanisme mengalami pertentangan. Agama menawarkan janji kehidupan setelah kematian. Pandangan agama ini memberikan kenyamanan dan harapan serta mendorong para pemeluknya untuk menerima saja apa pun yang dialaminya di dunia. Jika sakit dan menderita di dunia, mungkin akan senang dan bahagia di akhirat.
Namun, sebaliknya, kaum transhumanis mencari keabadian melalui teknologi. Terapi perpanjangan hidup, krionika (pembekuan tubuh untuk kebangkitan di masa mendatang), dan bahkan pengunggahan pikiran (mind uploading) semua sedang diupayakan untuk membuka jalan bagi keabadian manusia.
Namun, pencarian teknologi ini menimbulkan pertanyaan besar. Jika kita dapat mengunggah pikiran kita ke komputer, apakah kita akan tetap jadi orang yang sama? Dapatkah keberadaan digital memberikan kepuasan yang sama dengan keberadaan spiritual? Di samping itu, pertimbangan etika apa yang muncul dari kemungkinan hidup abadi? Pertanyaan-pertanyaan ini memaksa kita memikirkan hakikat identitas, kesadaran, dan makna kehidupan—yang merupakan bidang-bidang penyelidikan filsafat.
Problem etis dan ontologis
Meskipun menjanjikan peningkatan kualitas hidup manusia, gerakan transhumanis ini dapat memperburuk kesenjangan sosial di antara sesama manusia. Jika hanya orang kaya yang mampu membeli teknologi transhumanis untuk meningkatkan kualitas hidupnya, masyarakat dapat terbagi menjadi dua: antara manusia kuat dan manusia lemah. Skenario ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan, yang merupakan inti dari banyak ajaran agama.
Misalnya, ajaran sosial Katolik menekankan pentingnya membantu orang miskin dan memastikan bahwa kemajuan teknologi menguntungkan seluruh umat manusia, bukan hanya segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Prinsip ini menyerukan pertimbangan yang cermat tentang bagaimana kita mengembangkan dan mendistribusikan teknologi transhumanis guna mencegah kian parahnya kesenjangan sosial yang ada.
Baca juga: Paus Fransiskus Peduli Kecerdasan Buatan
Tradisi agama juga menekankan kerendahan hati dan penerimaan terhadap keterbatasan manusia secara ontologis bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan tidak kekal. Kisah menara babel dalam Alkitab, di mana manusia coba membangun menara untuk mencapai surga dan kemudian dicerai-beraikan oleh Tuhan, menjadi peringatan tentang bahaya ambisi yang berlebihan. Kisah ini menunjukkan, ada batasan ontologis pada manusia dan upaya untuk melampaui batasan ini, seperti gerakan transhumanisme bisa menyebabkan konsekuensi yang tak terduga.
Titik temu
Meski berbeda, agama dan transhumanisme memiliki beberapa titik temu. Keduanya bertujuan meningkatkan kualitas hidup (well-being) manusia dan menjawab pertanyaan mendasar tentang makna dan tujuan hidup. Beberapa pemikir agama bahkan telah merangkul aspek transhumanisme dengan memandang peningkatan kemampuan manusia sebagai kelanjutan dari ciptaan Tuhan.
Philip Hefner (1989 & 1993), misalnya, melalui konsep penciptaan-bersama (co-creation), memandang manusia juga berpartisipasi dalam karya kreatif Tuhan. Dalam konteks transhumanisme, penciptaan bersama itu bisa diperluas mencakup penggunaan teknologi yang bertanggung jawab. Perspektif ini melihat kreativitas manusia dan pengembangan teknologi sebagai bagian dari rencana Tuhan, sebuah cara guna memenuhi potensi kita sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Tuhan.
Selain titik temu dalam penciptaan, agama dan transhumanisme juga mengalami titik temu dalam hal kepedulian pada transendensi. Agama mencari transendensi spiritual, yang bertujuan menghubungkan individu dengan realitas yang lebih tinggi atau kehadiran Ilahi. Transhumanisme mencari transendensi teknologis, yang bertujuan melampaui batas biologis dan kognitif manusia.
Ketertarikan yang sama terhadap transendensi ini, meskipun dalam bentuk yang berbeda, menyediakan platform untuk dialog di antara kedua perspektif, yang memungkinkan eksplorasi bersama tentang bagaimana teknologi bisa digunakan untuk meningkatkan kehidupan manusia, baik secara fisikal maupun spiritual. Dengan demikian, meski berbeda dalam isu seperti sifat manusia, keabadian, dan etika; agama dan transhumanisme memiliki tujuan sama untuk meningkatkan well-being manusia.
Dengan terlibat dalam dialog yang saling menghormati, para pendukung kedua pandangan dapat mengeksplorasi cara-cara untuk mengintegrasikan kemajuan teknologi dengan pertumbuhan etika dan spiritual. Integrasi ini dapat membantu menciptakan masa depan yang menghormati martabat manusia dan pencarian transendensi.
Transhumanisme mencari transendensi teknologis, yang bertujuan melampaui batas biologis dan kognitif manusia.
Misalnya, para pemimpin agama dan pemikir transhumanis bisa bekerja sama mengembangkan pedoman etika untuk penggunaan teknologi transhumanis, memastikan bahwa teknologi itu bisa diakses oleh semua orang, dan digunakan dengan cara yang memprioritaskan kebaikan bersama. Mereka juga bisa berkolaborasi dalam upaya pendidikan publik guna meningkatkan kesadaran tentang potensi manfaat dan risiko dari teknologi ini, yang mendorong wacana publik yang lebih terinformasi dan bijaksana.
Singkatnya, persimpangan agama dan transhumanisme menawarkan bidang eksplorasi yang kaya dan potensi kolaborasi. Dengan menemukan titik temu dan menghormati perspektif satu sama lain, kita bisa memanfaatkan kekuatan teknologi untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan cara yang etis, adil, dan memuaskan secara spiritual. Saat kita melangkah maju menuju masa depan yang kian berteknologi (technologized), dialog ini akan sangat penting dalam membimbing kita menuju dunia yang menghormati martabat manusia dan hasrat bawaan kita akan transendensi.
Siti Murtiningsih, Dekan Fakultas Filsafat UGM