Pilkada dan Kepemimpinan Daerah
Tantangan yang dihadapi pemimpin daerah semakin berat dan kompleks. Untuk itu, diperlukan pemimpin yang transformatif.
Ilustrasi
Indonesia sedang menyongsong pilkada serentak di 545 daerah. Sejak pilkada langsung diterapkan (2005), lebih dari 1.500 pilkada digelar. Harapannya, daerah akan dipimpin kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas sehingga mampu memajukan daerah dan memberdayakan rakyat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, harapan tersebut masih senjang dengan realitanya. Perubahan yang terjadi terkesan anomali seiring dengan makin banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus hukum dan korupsi.
Pilkada belum memberikan dampak signifikan terhadap terbangunnya kepemimpinan yang baik, kepemimpinan yang mampu mewujudkan pemerintahan yang efektif (governability), yaitu pemerintahan yang mampu mengeksekusi program-program yang dibutuhkan rakyat. Artinya, pemimpin daerah yang berkinerja baik jumlahnya belum signifikan dari total daerah yang ada.
Lepas dari itu, perkembangan politik dan demokrasi selama rentang 1998-2024 belum menggembirakan, cenderung mengarah kepada ketidakpastian. Bahkan semakin sulit mengharapkan munculnya pemimpin yang amanah dan berkualitas. Lantas, apa yang salah dengan pelaksanaan pilkada langsung selama ini?
Baca juga: Jangan Cederai Pilkada
Demokrasi dan suksesi kepemimpinan
Sistem demokrasi yang terbangun pascatumbangnya Orde Baru itu tidak mampu menghasilkan atau memunculkan pemimpin yang tepat dan amanah untuk memajukan daerah dan Indonesia. Secara umum, proses suksesi kepemimpinan berlangsung prosedural saja, kurang transformatif, alih generasi berlangsung sangat lamban.
Secara khusus, Undang-Undang Pilkada kurang memberikan kejelasan kepada partai politik (parpol) dalam menentukan calon pemimpin. Kriteria kelayakan seorang pemimpin tidak dirumuskan secara memadai dan tidak menjamin calon yang diajukan itu layak.
Parpol juga tidak melakukan seleksi awal dalam merekrut calon pemimpin, khususnya di tingkat lokal. Munculnya beberapa nama calon menyongsong pilkada, misalnya, tidak jelas mengacu pada peraturan dan kriteria yang mana sehingga mereka mengklaim dirinya paling layak dan memiliki elektabilitas dan akseptabilitas.
Sementara itu, parpol menganggap sistem yang diatur UU cukup baik, dan mereka merasa nyaman dan karena itu mengikutinya. Pertanyaannya, apakah sistem seperti itu sengaja diciptakan atau didesain agar partai tetap merasa nyaman, bahkan justru diuntungkan dengan kondisi ini?
Bukankah dengan sistem yang nyaman tersebut akan tetap memfasilitasi kelompok tertentu dalam partai sehingga bisa dengan mudah dicalonkan menjadi pemimpin? Dengan mekanisme/sistem seperti itu pula akhirnya menghasilkan penguasa yang kurang memahami masalah yang dihadapi daerah.
Kompleksitas masalah yang dihadapi daerah-daerah di Indonesia memerlukan kualitas pemimpin yang siap berkorban untuk memajukan daerah. Tantangannya adalah bagaimana merumuskan dan memetakan apa yang dibutuhkan daerah dan siapa yang dinilai layak memimpin daerah.
Demokrasi memerlukan nilai-nilai atau etika, supremasi dan penegakan hukum, serta kepemimpinan yang kuat agar tidak menimbulkan anarki dan tirani kekuasaan. Pelaksanaan demokrasi tak sepatutnya menghasilkan feodalisme baru dan oligarki politik.
Etika dan moralitas dalam berdemokrasi sangat diperlukan untuk keberlangsungan sistem demokrasi yang berkualitas, sehat, dan beradab. Daerah perlu berbenah dan menyiapkan model suksesi atau alih generasi yang damai, adil, dan konstitusional.
Kepemimpinan daerah yang demokratis, efektif, dan berkualitas sangat diperlukan daerah. Daerah era digital mesti adaptif, agile, dan mampu melakukan konsolidasi demokrasi yang lebih substansial dan konkret yang didukung pemimpin amanah.
Kompleksitas masalah yang dihadapi daerah-daerah di Indonesia memerlukan kualitas pemimpin yang siap berkorban untuk memajukan daerah.
Defisit demokrasi
Bangsa Indonesia telah mengalami defisit dalam berdemokrasi. Hal ini antara lain ditandai banyaknya distorsi/penyimpangan di tataran pelaksanaannya.
Meskipun demokrasi prosedural diperlukan dalam proses menuju konsolidasi, rentang 1998-2024 merupakan periode yang terlalu lama pelaksanaan model demokrasi prosedural tersebut. Terlalu lama menjalani demokrasi prosedural akan menyebabkan disfungsi kelembagaan demokrasi dan membuat pemerintahan daerah semakin tidak berkualitas.
Masalahnya, bagaimana daerah dan pusat (para elite) memiliki persepsi yang sama tentang demokrasi agar maknanya tidak mudah diselewengkan atau disimpangkan. Demokrasi yang kita jalankan semestinya tersambung dengan alinea ke-4 Konstitusi, yaitu untuk mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan rakyat.
Kalau demokrasi dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka hasil akhirnya semestinya untuk rakyat. Realitasnya justru berbeda, rakyat acap kali diabaikan dan tidak diutamakan.
Padahal, demokrasi terkait erat dengan partisipasi rakyat, perlindungan terhadap warga negara, keadilan ekonomi-sosial, dan budaya (hak ekosob), dan hukum bagi setiap warga negara. Demokrasi mensyaratkan ditegakkannya sistem dan penegakan hukum (rule of law) yang menjadi landasan penting bagi hukum yang berkeadilan dan keamanan publik.
Karena itu diperlukan penataan sistem dan law enforcement yang menjamin agar warga negara taat dan tidak melanggar hukum. Yaitu, suatu sistem yang mengunci peluang bagi terjadinya pelanggaran hukum.
Tak sedikit analis yang mengatakan bahwa sistem di Indonesia cenderung memberikan kesempatan terhadap terjadinya penyimpangan, pada saat transparansi dan akuntabilitas masih sangat minim dipraktikkan dan acap kali absen. Demokrasi yang substansial akan makin sulit terwujud dengan lemahnya law enforcement dan kuatnya peran elite yang menghambat proses konsolidasi demokrasi.
Pengalaman empirik di daerah menunjukkan bahwa perubahan sistem saja tidak cukup tanpa dipandu kepemimpinan kuat. Daerah membutuhkan model kepemimpinan yang transformatif: tegas, adil, mampu menginspirasi semangat berbangsa bernegara untuk maju, berpihak pada kesejahteraan rakyat, dan berani mengambil keputusan tegas. Kepemimpinan yang mampu menjadi teladan untuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, bersih, dan melayani.
Selain itu, pemimpin yang transformatif biasanya juga mampu melahirkan regenerasi yang andal yang mempertimbangkan meritokrasi, yang memberi ruang bagi terciptanya alih generasi yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab. Kepemimpinan yang transformatif mampu menjadi teladan untuk pemberantasan KKN dan mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, bersih, dan melayani.
Baca juga: Menanti Debut Para Pemimpin Daerah
Sistem kepartaian dan reformasi parpol
Selama rentang 1999-2024 partai politik belum melakukan perbaikan secara signifikan sebagai pilar penting demokrasi. Parpol di Indonesia belum melakukan pendidikan politik, minim dalam menyerap/mengakomodasi aspirasi, serta menyediakan kader andalnya untuk diikutsertakan dalam pilkada.
Parpol masih sibuk dengan dirinya sendiri dan lebih terfokus pada kepentingan dan kekuasaan saja. Sistem multipartai banyak sejauh ini belum mampu memunculkan kader-kader baru yang berkualitas, berintegritas, dan berkomitmen membangun sistem politik yang akuntabel dan menjadi pemimpin dengan kepemimpinan yang amanah (trusted).
Untuk membenahi sistem regenerasi kepemimpinan mensyaratkan pembenahan parpol yang menjadi sumber kader atau calon pemimpin, khususnya di daerah. Reformasi partai harus menghasilkan kualitas kader yang baik yang menjadi referensi rekrutmen pemimpin di daerah.
Karena itu parpol harus menyiapkan kadernya secara serius dengan memfasilitasi mereka dengan pendidikan kepemimpinan yang bermanfaat untuk menjadi pemimpin daerah. Untuk membenahi sistem regenerasi mensyaratkan dibenahinya parpol yang menjadi sumber kader atau calon pemimpin, khususnya di daerah.
Reformasi parpol diperlukan untuk menghasilkan kualitas kader yang baik yang menjadi referensi perekrutan pemimpin di daerah. Parpol harus menyiapkan kadernya secara serius dengan memfasilitasi mereka pendidikan kepemimpinan yang bermanfaat untuk menjadi pemimpin daerah.
Meskipun tidak ada peraturan yang secara eksplisit mengatur ketua umum partai harus maju dalam pilkada, tak jarang pimpinan partai di daerah mengikuti pilkada. Hal ini memberikan kesan seolah ketua umum parpol harus mencalon diri dalam pilkada.
Selain itu, tak sedikit jabatan rangkap yang masih dilakukan sejumlah pimpinan partai, baik sebagai kepala daerah maupun ketua umum partai. Fenomena tersebut tentu menjadi kendala bagi upaya membangun sistem kepemimpinan lokal yang sehat dan berkesinambungan. Regenerasi dan suksesi merupakan hukum alam, suatu keniscayaan. ”Setiap era ada pemimpinnya, dan setiap pemimpin ada eranya”.
Dalam kaitan itu, diperlukan munculnya wajah-wajah baru yang memiliki integritas, kredibilitas, kompetensi/kapasitas, dan kepemimpinan untuk mengisi suksesi ke depan. Parpol harus bisa menciptakan pluralisme kader dan calon pemimpin. Bukan multiplikasi kader dan calon pemimpin yang hanya memenuhi syarat 4L (lu lagi lu lagi).
Reformasi parpol diperlukan untuk menghasilkan kualitas kader yang baik yang menjadi referensi perekrutan pemimpin di daerah.
Indonesia memerlukan regenerasi kepemimpinan yang dilakukan secara demokratis (free and fair) yang melibatkan semua kader dari latar belakang yang berbeda. Dan bukan semata-mata kader yang populer, memiliki modal, karena keturunan, dan nepotisme/kolutisme.
Maraknya politik transaksional/politik uang, praktik dinasti politik, dan meningkatnya jumlah koalisi besar/pasangan calon (paslon) tunggal dalam pilkada telah merusak sistem demokrasi dan merugikan rakyat. Dampaknya, paslon yang mengikuti pilkada disiapkan semata-mata pokoke menang, baik sebagai paslon menang (dengan asumsi didukung jumlah parpol yang sangat besar) melawan paslon boneka atau kotak kosong.
Fenomena koalisi besar atau memborong hampir semua parpol dalam satu koalisi untuk memenangkan paslonnya adalah refleksi pilkada yang tidak sehat. Secara gamblang parpol menunjukkan betapa institusinya selama ini memang belum melembaga sehingga kesulitan dalam merekrut calon dan membangun koalisi. Hal ini mengindikansikan bahwa parpol memiliki masalah serius dalam pola perekrutan dan promosi kader.
Pemimpin yang dibutuhkan daerah
Tantangan yang dihadapi pemimpin daerah ke depan semakin berat dan kompleks. Fenomena tersebut mensyaratkan pemimpin yang berwawasan luas, transformatif, dan mampu memajukan daerah. Yaitu pemimpin yang tidak tersangkut kasus korupsi, perusakan lingkungan, pelanggaran/kejahatan kemanusiaan, ataupun kegiatan dan perilaku yang merugikan orang banyak serta berkomitmen untuk menjunjung tinggi HAM.
Pemimpin daerah harus memiliki wawasan keindonesiaan dan kedaerahan yang cukup memadai agar mampu menjadi teladan (role model) yang bisa meneladani.
Indonesia adalah negara berkembang yang menjalankan sistem demokrasi. Membangun Indonesia dari daerah telah menjadi tagline penting. Daerah-daerah yang maju akan menghasilkan Indonesia maju. Karena itu, daerah membutuhkan pemimpin yang berkomitmen memajukan daerahnya, membuat kebijakan yang inovatif yang mampu menghapus kemiskinan yang membelit rakyat, dan menghapus tengkes (stunting) yang belakangan ini mendera semua daerah.
Pemimpin harus memiliki visi dan misi yang jelas tentang masa depan daerah yang dituangkan dalam konsep yang diketahui masyarakat. Visi dan misi yang dilaksanakan secara tegas dan jelas selaras dengan kepentingan nasional mewujudkan Indonesia emas 2045. Karena itu, pemimpin harus memiliki visi yang jelas, yang ditopang ketegasan dan keberanian bertindak untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif.
Baca juga: Pilkada dan Pemimpin Inovator
Ketegasan dan keberanian dalam memutuskan suatu kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat sangat diperlukan pemimpin. Ketegasan diperlukan ketika pemimpin menghadapi masalah yang menuntut pengambilan keputusan yang hitam-putih.
Pemimpin daerah era digital perlu memiliki talenta, kepiawaian dalam membuat inovasi dengan menggunakan IT. Selain itu juga pemimpin yang mampu menggerakkan mesin birokrasi untuk mendorong terciptanya kebijakan yang menyejahterakan rakyat.
Diperlukan pemimpin daerah dengan kenegarawanan lokalnya (local statemanship) guna memajukan daerah dan memberdayakan masyarakat. Bukan penguasa daerah yang sibuk dengan urusan dirinya sendiri, membangun dinasti kekuasaan dan melanggengkannya untuk kepentingannya sendiri.
R Siti Zuhro, Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional