”Overshooting”, Rantai Pasok, dan Kelas Menengah
Dunia pascapandemi ditandai dengan berbagai fenomena baru di rantai pasok yang memengaruhi pertumbuhan dan dunia kerja.
exchange rate overshooting
stable root
unstable root
Contoh terkini faktor destabilisasi adalah suku bunga global yang diwakili oleh suku bunga acuan The Fed. Fenomena ini dapat bersifat sementara (transitory). Akhir Agustus, setelah lebih kurang dua bulan bertengger di atas Rp 16.000 per dollar AS, kurs rupiah akhirnya menguat signifikan. Kurs rupiah mencapai tingkat terlemahnya untuk tahun berjalan 2024 pada 20 Juni di level Rp 16.509.
Baca juga: Konfigurasi Baru Pertumbuhan-Inflasi Dunia dan Nilai Tukar
Setelah itu, dengan ekspektasi bahwa The Fed akan lebih dovish sejalan dengan pelemahan data tenaga kerja AS dan inflasi yang menurun, rupiah mulai menguat. Hasil pertemuan The Fed pada 22-24 Agustus 2024 memperkuat sinyal bahwa The Fed akan mengubah arah kebijakan (pivot)-nya ke arah penurunan suku bunga mulai September 2024.
Dampaknya, indeks dollar AS melemah ke 100,9 pada 26 Agustus 2024. Ini merupakan kelanjutan pelemahan sejak 30 Juli. Saat itu, indeks dollar AS masih berada di posisi 104,6.
Kurs ditentukan oleh permintaan dan penawaran lokal dan global. Dalam kurun waktu di atas, dollar AS melemah 3,54 persen. Pada waktu yang sama, kurs rupiah menguat dari Rp 16.332 ke Rp 15.479 per dollar AS atau 5,25 persen.
Tingkat pelemahan indeks dollar AS dan penguatan rupiah di atas menunjukkan depresiasi rupiah selama dua bulan itu sebenarnya terlalu dalam atau overshooting. Perbedaan signifikan dalam nilai absolut antara pelemahan dollar AS dan penguatan rupiah menunjukkan pergerakan keduanya tidak selalu satu banding satu.
Permintaan dan penawaran mata uang ditentukan juga oleh faktor-faktor dalam negeri.
Sebab, permintaan dan penawaran mata uang ditentukan juga oleh faktor-faktor dalam negeri. Misalnya adalah surplus neraca dagang, defisit neraca berjalan, ekspektasi inflasi, prospek pertumbuhan, serta faktor-faktor sosio-ekonomi dan politik.
Faktor-faktor dalam negeri dapat menjadi dominan setelah beresonansi dengan faktor-faktor global melalui jalur perdagangan (neraca dagang dan neraca berjalan), arus modal dan investasi (neraca modal), serta rantai pasok.
Semuanya dapat terganggu sehingga kurs suatu negara melemah karena disrupsi pasokan dollar AS menyusul perlambatan ekspor untuk neraca dagang/berjalan atau karena ekspektasi negatif yang memengaruhi arus modal masuk.
Neraca dagang
Konsep Marshall-Lerner menjelaskan bahwa jika penjumlahan angka absolut elastisitas ekspor dan impor lebih dari satu, depresiasi nilai tukar akan memperbaiki neraca dagang (Rose, 1991). Yang tidak diperhitungkan adalah munculnya rantai pasok global atau global value chain (GVC) sejak 1980-an ketika ekspor-impor menjadi terintegrasi (Escaith et al, 2010).
Ekspor suatu negara dapat berupa barang setengah jadi (intermediate goods) yang merupakan impor negara lain untuk diolah lebih lanjut menjadi barang jadi, baik untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negerinya. Akibatnya, perubahan kurs berdampak ambigu pada neraca dagang.
Sampai Juli 2024 sudah tercatat 48 bulan berturut-turut surplus neraca dagang. Namun, karakter surplusnya berbeda-beda dari waktu ke waktu. Ada yang terjadi pada saat ekspor dan impor sama-sama mengalami kontraksi atau sebaliknya ketika keduanya ekspansi.
Baca juga: Imbas Global dari Divergensi Ekspektasi
Ekspor-impor turun terkait melemahnya rantai pasok global yang ditunjukkan oleh menurunnya Purchasing Managers’ Index (PMI) di sektor manufaktur di AS, China, Jepang, dan India, termasuk Indonesia, akibat melemahnya daya beli dan makin konservatifnya kelas menengah.
Ini menjelaskan ekspor-impor terkait dalam rantai pasok ketika sektor manufaktur menjadi semakin penting dalam perekonomian. Bagi Indonesia, surplus neraca dagang yang positif, walaupun nilainya naik turun, tetap mendukung ekspektasi positif untuk nilai tukar karena arus valuta asing yang masuk melalui neraca modal lebih melihat ke depan (forward looking).
Walaupun dari nilainya surplus ini tidak dapat menutup defisit neraca berjalan, fungsinya adalah sebagai akar stabil agar kurs rupiah tidak terlalu lemah jika indeks dollar AS menguat.
Jika GVC terganggu oleh pandemi, geopolitik, ataupun overshooting, dampaknya adalah kontraksi ekspor dan cost-push inflation (De Syares dan Franca, 2020) yang menurunkan daya beli kelas menengah di seluruh dunia. Ini berlaku khususnya untuk barang-barang tahan lama, yang kemudian berdampak pada berkurangnya kesempatan kerja.
Tanpa adanya lapangan kerja baru yang beradaptasi dengan teknologi, maka perekonomian terancam bergeser dari formal ke informal dengan ketidakpastian yang lebih tinggi.
Ini bisa membuat perubahan pola konsumsi dan siklus tabungan kelas menengah yang berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan. Situasi ini juga berpotensi mengubah struktur produksi dunia ke arahlabor-saving, terutama dengan perkembangan teknologi ke arah otomatisasi.
Tanpa adanya lapangan kerja baru yang beradaptasi dengan teknologi, perekonomian terancam bergeser dari formal ke informal dengan ketidakpastian yang lebih tinggi.
Fenomena terkini menjauhnya mata uang negara-negara di dunia, termasuk rupiah, dari zona overshooting akan mengurangi tekanan pada GVC dan inflasi dunia. Tekanan inflasi dapat turun walaupun lebih lambat dari penguatan kurs.
Walaupun secara bulanan sudah terjadi deflasi, harga-harga masih tinggi, belum kembali ke masa prapandemi. Ini memaksa konsumen melakukan penyesuaian, seperti menunda belanja, beralih ke barang pengganti yang lebih murah, dan melakukan pergeseran jasa.
Implikasi jangka pendek adalah pentingnya menjaga kurs jangan sampai terdepresiasi tak terkendali sambil menunggu disrupsi eksternal mereda. Dalam jangka panjang diperlukan kebijakan penyeimbang yang antisipatif.
Baca juga: Keseimbangan Pelana Manufaktur Dunia
Dunia pascapandemi ditandai dengan berbagai fenomena baru di rantai pasok yang memengaruhi pertumbuhan dan kesempatan kerja. Tantangannya adalah membuat kebijakan di sektor industri dan perdagangan, termasuk reorientasi pelatihan tenaga kerja dan pendidikan ke arah yang lebih adaptif.
Untuk memfasilitasinya, diperlukan pemantau situasi global yang mampu melihat di luar batas cakrawala waktu.