Dekomunisasi Soekarno
Surat pimpinan MPR pada keluarga Bung Karno baru-baru ini merupakan pembersihan stigma komunis atas Soekarno selama ini.
Pada Senin, 9 September 2024, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengadakan silaturahmi kebangsaan kepada Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, di Gedung MPR. Dalam silaturahmi itu, pimpinan MPR menyerahkan surat tindak lanjut tentang tidak berlakunya TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Soekarno.
Menurut Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, penyerahan surat tersebut merupakan penegasan MPR tentang tidak berlakunya TAP MPRS tersebut. Memang, ketidakberlakuan TAP MPRS itu telah ditetapkan dalam TAP MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan TAP MPR Tahun 1960-2002. Dalam TAP MPR No I/MPR/2003 itu, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi atau telah final.
Surat MPR tentang hal itu menegaskan bahwa MPR yang merupakan lembaga penerbitan TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 telah sepakat mengenai ketidakberlakuan TAP MPRS tersebut. Dengan demikian, hal ini menjadi legitimasi politik yang memberikan kepastian hukum dari perwakilan rakyat seluruh Indonesia akan hal tersebut.
Baca juga: Tap MPRS No 33/1967 Tak Berlaku, Bukti Soekarno Bukan Pengkhianat Bangsa
Pertanyaannya, apakah dampak dari penegasan akan ketidakberlakuan TAP MPRS itu? Yang utama adalah pembersihan stigma bahwa Soekarno membangun kebijakan pro-Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Gerakan 30 September (G30/S), sebagaimana termaktub dalam Konsideran Menimbang Huruf c di TAP MPRS tersebut. Secara yuridis, hal ini memang tidak ditegaskan secara langsung dalam TAP MPR No I/MPR/2003, tetapi dalam berbagai penganugerahan gelar pahlawan kepada Bung Karno.
Gelar pahlawan tersebut telah Soekarno dapatkan dua kali, yaitu gelar Pahlawan Proklamator pada 1986 dan gelar Pahlawan Nasional pada 2012. Gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono No 83/TK/Tahun 2012.
Pada 2022, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soekarno menegaskan kesetiaan ”Bung Besar” itu kepada negara, serta ketidakterlibatannya dalam pengkhianatan kepada negara.
Sebab, menurut Jokowi, syarat penerimaan gelar Pahlawan Nasional adalah bahwa seorang tokoh itu tidak mengkhianati negara, berdasarkan Pasal 25 Huruf e UU No 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Secara eksplisit, Jokowi menyoroti TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967, di mana Soekarno tidak terbukti terlibat dalam pengkhianatan terhadap negara (Kompas.com, 7/11/2022).
Soal Nasakom
Persoalannya, masih terdapat kesalahpahaman di masyarakat terkait pemikiran dan praktik politik Soekarno dalam kaitannya dengan komunisme. Hal ini terdapat dalam beberapa hal. Pertama, kedekatannya dengan PKI yang membuahkan ide tentang Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Kedua, corak pemikirannya yang bersifat sosialistik, yang tentu dekat dengan ide komunisme, termasuk gagasannya tentang Pancasila. Hal ini membutuhkan penjelasan yang jernih sehingga tidak terjebak dalam kesalahan berpikir.
Pertama, kedekatannya dengan PKI memang kita akui mengingat PKI adalah partai politik terbesar keempat setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, dan Partai Nahdlatul Ulama dalam Pemilihan Umum 1955. Dengan demikian, di era itu, PKI adalah fakta politik.
Berdasarkan fakta politik inilah, Soekarno menggagas Nasakom yang merupakan aliansi politik nasional dari partai nasionalis, partai Islam, dan partai komunis. Oleh karena itu, pemahaman terhadap Nasakom tidak bisa dititikberatkan hanya pada faktor ”kom”, tetapi mesti diluaskan pada persatuan dari ketiga unsur tersebut. Artinya, Nasakom adalah ide tentang persatuan nasional di kalangan parta-partai besar, bukan an sich tentang komunisme.
Pentingnya membaca ”persatuan nasional” dalam Nasakom terkait dengan Pancasila. Dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960, Soekarno menyatakan bahwa berbagai elemen ideologis di Indonesia telah menerima Pancasila, termasuk menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nasakom adalah ide tentang persatuan nasional di kalangan parta-partai besar, bukan an sich tentang komunisme.
Dalam penjelasan itu, Soekarno menyebut DN Aidit, pimpinan PKI yang ikut hadir di PBB untuk menyatakan bahwa Partai Komunis pun telah menerima Pancasila yang di dalamnya terdapat sila ketuhanan. Hal ini menunjukkan bahwa Soekarno, yang merupakan penggali dan ideolog Pancasila, telah berhasil ”mempancasilakan komunisme” di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam kerangka Nasakom, kita mesti melihat posisi Soekarno, bukan sebagai seorang komunis, melainkan penggali Pancasila yang telah berhasil mempancasilakan PKI.
Hubungan Soekarno dan PKI pun pasang surut. Ketika di bulan Mei 1964 Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan sebagai instrumen bagi Nasakom, Soekarno marah. Ia menyatakan bahwa Pancasila bukan instrumen, melainkan dasar dan tujuan negara yang permanen.
Kemarahan inilah yang membuat Soekarno memerintahkan Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri menerbitkan Surat Keputusan Menteri Agama melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan untuk menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan hari libur nasional. Pada 1 Juni 1964, pemerintah lalu mengadakan peringatan Hari Lahir Pancasila dengan tema ”Pantjasila Sepanjang Zaman”, untuk menegaskan permanensi dasar negara tersebut (Harsono, 1985).
Sosialisme demokrat
Kedua, pada level gagasan, Soekarno adalah sosialis dan bukan komunis. Hal ini ia lakukan melalui proses ”indigenisasi Marxisme” sehingga melahirkan ide Marhaenisme dan Pancasila.
Jika kita jeli, penegasan bahwa Soekarno bukan komunis telah ia nyatakan sejak umur 25 tahun melalui artikel panjang ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (1926). Dalam artikel tersebut, Soekarno menyatakan telah menggunakan materialisme historis, bukan materialisme filosofis.
Pertama adalah metode Marxisme yang melakukan analisis historis tentang perubahan sistem ekonomi. Sementara yang kedua, merujuk pada gagasan Ludwig Feuerbach yang menyatakan ide dibentuk materi, termasuk ide tentang Tuhan yang hanya ciptaan materi (otak). Secara implisit, Soekarno ingin menyatakan bahwa Marxisme bukan ateisme meskipun komunisme cenderung ateis dalam visi politiknya.
Dengan demikian, Soekarno bukanlah pendukung komunisme, melainkan pencetus ide Marhaenisme dan Pancasila.
Sifat nonkomunis ini terlihat jelas dalam gagasannya, Marhaenisme. Sebab, dalam ide tersebut, sosialisme telah diintegrasikan ke dalam nasionalisme (sosio-nasionalisme) dan demokrasi (sosio-demokrasi). Marhaenisme ini sebenarnya ide yang merontokkan komunisme di Indonesia sebab oleh Soekarno, sosialisme diperjuangkan demi nasionalisme (bukan proletariatisme internasional) melalui demokrasi (bukan revolusi).
Sifat non-komunisme semakin jelas dalam ide Pancasila meskipun hal ini banyak disalahpahami. Nugroho Notosusanto (1981), misalnya, menyebut ide Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ide komunis karena dua hal. Pertama, sila internasionalisme yang dimaknainya sebagai internasionalisme komunis. Kedua, sila keadilan sosial.
Penafsiran tersebut tentu tidak tepat karena internasionalisme yang dimaksudkan Soekarno pada 1 Juni adalah humanitarianisme, yakni persaudaraan antarbangsa yang berperikemanusiaan. Sementara, sila keadilan sosial dalam Pancasila mengacu pada ide sosialisme-demokrat, bukan komunisme.
Sebagai ide kelanjutan dari Marhaenisme, Pancasila menyempurnakan sifat non-komunisme melalui sila ketuhanan. Sebab, di dalam komunisme, juga Marxisme, ketuhanan bukan ide signifikan dalam proses perubahan sosial.
Baca juga: Pancasila dan Sosialisme Soekarno
Ketuhanan dan agama hanya pantulan supra-struktur dari basis-struktur kapitalisme. Adapun dalam Pancasila, Soekarno di Kursus Pancasila tahun 1958 justru menyatakan bahwa sila ketuhanan adalah bintang penuntun (leitstar) utama bagi Pancasila.
Dengan demikian, Soekarno bukanlah pendukung komunisme, melainkan pencetus ide Marhaenisme dan Pancasila. Oleh karena itu, stigma komunisme atas dirinya dan ide-ide yang ia ciptakan secara konseptual tidak tepat.
Surat pimpinan MPR kepada keluarga Bung Karno tentang penegasan ketidakberlakuan TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 sudah tepat. Surat itu telah melakukan ”dekomunisasi” atas Soekarno, yakni pembersihan stigma komunis atas pembebas bangsa dan penggali dasar negara ini.
Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila