Subak, Artefak Peradaban Agraris Terakhir
Dulu di mana pun Pura Ulun Carik berada, bisa dipastikan di tempat itu menghampar persawahan dengan padi-padi menguning.
”Kami mau bikin festival subak, Bli,” kata seorang teman yang kebetulan singgah di Studio Arcana, kawasan Bintaro. Teman saya ini seorang pekerja kreatif dari Bali yang sedang mendesain sebuah pementasan kecil di tempat yang berdekatan dengan studio saya.
Bisa dipastikan, siapa pun yang mendengar ide ini, secepat kilat pasti menyatakan ”setuju!”. Sudah banyak yang paham bahwa subak adalah peninggalan terindah para leluhur Bali sejak berabad-abad silam. Buktinya, telah diakui sebagai peninggalan Warisan Budaya Dunia dalam sidang UNESCO, 29 Juni 2012, di Saint Petersburg, Rusia.
Meski begitu, mari sedikit berpikir lebih kritis. Di sela pusat niaga yang padat, di sekitar Simpang Enam Jalan Teuku Umar Denpasar, terjepit sebuah pura. Ia berada di antara sebuah kafe urban (dulu pusat penjualan donat) dan bilik ATM sebuah bank. Papan nama pura itu tergantung di dahan pohon jepun dan bertuliskan ”Pura Ulun Carik”. Papan nama ini seolah secara tersirat mengatakan, ”Inilah artefak peradaban agraris terakhir. Setelah berabad-abad memberi hidup, kini terjepit di antara mesin perubahan dan ditinggalkan....”
Baca juga: Paradoks Hidup Banteng Bali
Dulu di mana pun Pura Ulun Carik berada, bisa dipastikan di tempat itu menghampar persawahan dengan padi-padi menguning yang menumbuhkan harapan hidup warga. Pura Ulun Carik bisa diterjemahkan sebagai pura di hulu persawahan tempat para petani memuliakan Dewi Sri sebagai pemberi kemakmuran. Salah satu dimensi dari keberadaan subak adalah relasi yang seimbang antara manusia dan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Representasi Tuhan pada subak adalah Dewi Sri yang bersemayam di pura-pura Ulun Carik di seluruh hamparan persawahan di Bali.
Pertanyaan penting tetapi jarang mendapatkan atensi yang memadai tentang Pura Ulun Carik, berbunyi begini: ketika sebagian persawahan berubah menjadi fasilitas privat seperti rumah, vila, dan sarana pariwisata lainnya, apakah sebuah pura tetap memiliki fungsi serupa? Sebab, di beberapa lokasi, seperti di Kreneng dan Kesiman Kota Denpasar, (mungkin) juga Sanur, Pura Ulun Carik kini berada di tengah-tengah keriuhan permukiman modern. Tidak ada lagi sawah yang menjadi penopang utama keberadaannya.
Teks-teks yang tersebar luas memberi jawaban bahwa jika terdapat pura-pura subak atau ulun carik, yang tidak lagi berada di tengah-tengah persawahan, maka pura-pura tersebut digolongkan sebagai pura swagina. Sebutan swagina mengacu kepada suatu ikatan profesi seperti petani (Pura Subak) atau pedagang (Pura Melanting), yang dahulu pernah berhimpun untuk memuliakan Sang Pencipta.
Secara sederhana, Pura Ulun Carik di Simpang Enam Denpasar, misalnya, masih diampu oleh para keturunan petani yang pernah memiliki persawahan di sekitarnya. Namun, bukan itu substansi yang ingin saya bahas. Marilah kita baca data berikut ini.
Dalam sebuah kajian berjudul ”Pemanfaatan Pariwisata terhadap Keberlanjutan Lahan Pertanian di Bali”, Gde Bagus Andhika Wicaksana dan I Wayan Yogik Adnyana Putra dari Universitas Warmadewa Denpasar menemukan, setiap tahun, lahan pertanian di Bali berkurang 1.000 hektar! Penurunan lahan pertanian itu, pertama-tama, disebabkan oleh alih fungsi lahan, terutama perumahan dan fasilitas pariwisata.
Lembaga nonpemerintah asal Belanda, Transnational Institute, tahun 2018, menyebutkan bahwa kehilangan 1.000 hektar lahan pertanian setiap tahun setara dengan kehilangan 1.400 lapangan sepak bola. Data menunjukkan luas total lahan persawahan di Bali tahun 2019 hanya tersisa sekitar 70.996 hektar. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal, setidaknya dibutuhkan 81.195 hektar sawah!
Jika kita mengasumsikan bahasan ini sebatas deretan angka-angka statistik, sudah jelas bahwa Bali tidak akan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya, terutama beras. Baiklah, jalan keluar dari kekurangan ini, barangkali bisa dengan mudah dipasok dari luar pulau, bahkan dari beras impor. Namun, saya ingin kita bersama-sama melihat realitas yang jauh lebih tragis.
Seluruh tatanan kebudayaan, yang kini sebagian besar dikonversi sebagai destinasi dan atraksi pariwisata bersumber dari kultur agraris.
Kebudayaan agraris sepenuhnya berbasis pada tanah sebagai sumber penghidupan. Pada proses pengolahan tanah itulah terdapat aktivitas dan kreativitas manusia yang melahirkan kebudayaan, termasuk agama dan kepercayaan. Seluruh tatanan kebudayaan, yang kini sebagian besar dikonversi sebagai destinasi dan atraksi pariwisata bersumber dari kultur agraris.
Ajaran yang terkenal dan populer, seperti Tri Hita Karana (tiga jalan menuju keseimbangan dan kesejahteraan), bersumber dari pemahaman manusia pada semesta (makrokosmos) dan diri sendiri (mikrokosmos). Manusia sejak dulu menyadari bahwa menjalin relasi antarmanusia (pawongan), antara manusia dan Tuhan (parahyangan), serta antara manusia dan alam (palemahan) menjadi prasyarat dasar menciptakan keseimbangan.
Konsep ini kemudian melahirkan konsep turunan seperti yang diungkapkan oleh Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984) dalam Gaguritan Salampah Laku. Ia tulis, ”Tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin”. Jika kita tuna memiliki lahan persawahan, tanamilah halaman di dalam dirimu sendiri.
Selain memiliki dimensi spiritual yang dalam, ungkapan ini juga menyiratkan ilmu agraris yang mumpuni. Bahwa sawah tidak saja berarti produksi, tetapi mengandung nilai-nilai ilmu pengetahuan untuk meraih kesejahteraan. Sawah, bagi orang Bali, adalah semesta yang meliputi elemen-elemen sosial, religiositas, ekonomi, teknologi, dan astronomi.
Sejak dahulu kala leluhur orang Bali, sudah mengenal ilmu perbintangan sebagai patokan kapan mulai membajak, menyemai benih, menanam padi, upacara, dan panen. Seluruh ilmu astronomi itu tersurat dalam berbagai bentuk, seperti lontar dan buku, serta diajarkan secara turun-temurun.
Khusus untuk menentukan mulai turun ke sawah, menyemai benih, dan menanam padi, para leluhur mewariskan penanggalan dari kayu bernama tika.
Selain itu, kultur agaris yang direpresentasikan oleh perhimpunan petani bernama subak, mengenal teknologi ”sederhana” seperti pupuk, pestisida, alat-alat pertanian, irigasi, serta pembuatan aungan (terowongan irigasi). Khusus pembuatan aungan, leluhur Bali mewariskan alat bernama geganjing, yang terbuat dari kayu, tetapi mampu menerobos bukit sampai 100 meter.
Khusus untuk menentukan mulai turun ke sawah, menyemai benih, dan menanam padi, para leluhur mewariskan penanggalan dari kayu bernama tika. Alat ini seolah menerjemahkan ilmu astronomi yang telah dirumuskan oleh para pendahulu Bali. Jangan dikata, soal-soal yang menyangkut sosial. Subak adalah organisasi sosial yang lentur, tidak dimonopoli oleh agama Hindu. Beberapa subak di Jembrana dan Buleleng memiliki anggota beragama Islam, yang mempraktikkan ajaran agamanya pada saat melaksanakan ritual yang berkaitan dengan padi.
Selain hal-hal yang bersifat teknologis, keilmuan, sosial, dan religius tadi, kultur agraris (dalam hal ini subak), mewariskan keindahan tiada tara, seperti yang kita bisa saksikan di Jatiluwih, Tabanan, atau Tegalalang, Gianyar. Keindahan sawah berundak dengan lenggang-lenggok pematangnya menjadi suguhan wisata yang favorit sejak dulu sampai kini. Jangan pula lupa, banyak tarian dan seni rupa bersumber dari tradisi agraris.
Apa yang saya sebutkan tadi mengantarkan kita pada pertanyaan, bagaimana kalau sawah-sawah itu akhirnya harus hilang karena alih fungsi lahan yang tak dapat dibendung?
Apakah kultur agraris yang melahirkan peradaban yang diwarisi oleh orang Bali (modern) akan musnah pula? Logika sederhananya, agama Hindu, yang kini dianut orang Bali, akan mengalami ”perombakan” mahadahsyat, tanpa pernah disadari oleh para pemeluknya. Bisa jadi orang Bali tidak lagi merasa Hindu ketika sawah-sawah musnah, pura-pura subak terjepit di antara gemuruh perniagaan modern. Agama Hindu ”hilang bukan karena pemeluknya berpindah memeluk agama lain, melainkan tidak dapat lagi menghayati kehinduannya lantaran kehilangan roh.
Tentu saja, deretan pertanyaan tadi lahir karena saya mengandaikannya secara lebih ekstrem. Bukan ingin membangkitkan rasa takut. Namun, setidaknya keekstreman itu dibutuhkan pada saat kita harus segera membuat strategi pembangunan yang benar-benar berbasis pada kebudayaan yang asali.
Jika dicari akar persoalannya, bukan perubahan itu yang harus ditolak benar, tetapi keterlambatan menemukan strategi pembangunan yang tepat, yang harus kita sesali. Seharusnya, sejak Bali mencanangkan diri sebagai daerah tujuan wisata dengan landasan kebudayaan, seperti tertuang pada Perda Nomor 3 Tahun 1974, strategi pembangunan sudah harus dijiwai oleh perlindungan terhadap sawah dan subak. Sebab, keduanya menjadi pengejawantahan dari ajaran Hindu.
Baca juga: Madu dan Racun Si Seksi Kecubung
Ketika kluster pariwisata dibangun di Nusa Dua tahun 1970-an dengan melibatkan konsultan perencanaan pariwisata dari Perancis bernama SCETO (badan pariwisata Perancis), perlindungan tidak hanya menyangkut budaya secara umum, tetapi seharusnya menukik pada sawah dan subak. Sederhananya, sawah-sawah harus dilindungi dari kemungkinan alih fungsi dengan membuat pemetaan tata ruang yang memadai.
Mungkin benar clustering fasilitas wisata seperti hotel dilakukan di Nusa Dua, tetapi permulaan yang baik itu tidak diikuti oleh kelanjutan yang taat aturan dan disiplin. Nyatanya, tiba-tiba di seluruh pelosok Bali berdiri fasilitas-fasilitas jasa wisata, termasuk di tebing-tebing sungai sekitar Ubud. Sawah-sawah di Badung dan Gianyar berkurang drastis pada tahun pertama pemberlakuan Perda Pariwisata Budaya itu.
Baiklah, sekarang nasi sudah jadi bubur. Pura-pura ulun subak terjebak di antara deru bangunan modern. Para petani yang mengusung keberadaan pura-pura pemujaan Dewi Sri itu sudah lama kehilangan lahan pertanian mereka. Sudah saatnya sawah-sawah yang tersisa diberi perlindungan secara berlapis. Para petani yang tergabung dalam subak diberi insentif agar bangga menjadi petani. Dengan demikian, literasi tentang pertanian perlu digaungkan, juga agar anak-anak muda mau turun ke sawah.
Pada pertengahan tahun 2000-an, Kementerian Pendidikan Jepang (Monbukagakusho) merilis program praktik bertani untuk anak. Mereka mengajak sekitar 5.000 anak untuk ikut berpartisipasi dalam bertani. Program ini berlangsung selama setahun. Anak-anak turun ke sawah untuk mengenal dunia pertanian sesungguhnya. Mereka diajak mengolah sawah, menanam padi, sampai kemudian memanen hasilnya.
Rasa-rasanya program semacam ini bisa diadaptasi di Indonesia, yang notabene memiliki lahan persawahan jauh lebih luas dibandingkan Jepang. Anak-anak tidak saja diajak untuk mengenal sawah, selagi kesempatan masih ada, tetapi lebih-lebih menanamkan kesadaran tentang arti pentingnya bercocok tanam. Bahwa hidup harus diperjuangkan dengan cara-cara mengikuti proses yang benar. Kita harus mengolah tanah, menanam dan merawat, sebelum pada akhirnya menikmati hasil panennya.
”Kita tidak boleh langsung panen,” kata Bapak suatu hari ketika kami menyiangi padi-padi kami di sawah. Perkataan Bapak terdengar sederhana. Waktu itu, saya memahaminya sebagai ajakan agar saya tak hanya bermain, sebaiknya membantu mengolah sawah. Setelah beranjak dewasa, saya akhirnya mengerti bahwa panen hanya didapat kalau kita menanam terlebih dahulu. Seseorang yang hanya ingin menikmati panen akan menjadi orang yang culas, curang, dan korup.
Bagaimana mungkin memanen padi jika kita tak pernah menanam dan merawatnya. Bagaimana mungkin memanen ilmu pengetahuan jika kita tidak pernah dengan tekun mempelajarinya. Kini, subak telah menjadi artefak agraris terakhir, yang menyisakan bentangan ilmu pengetahuan tiada tara. Ia bisa dengan segera punah apabila tidak ada upaya-upaya melindunginya. Pengakuan dari UNESCO seharusnya memicu kesadaran tentang pentingnya keberadaan subak di tengah-tengah peradaban modern.
Sekali lagi, subak bukan hanya soal air dan padi, melainkan ini soal bentangan peradaban manusia yang nyaris punah akibat desakan tak terkendali dari kerakusan manusianya sendiri.
Putu Fajar Arcana, Jurnalis Kompas 1994-2022; Redaktur Tamu Sastra Kompas 2022-Sekarang; Sastrawan, Sutradara, dan Kurator Bentara Budaya