Kombinasi baterai dan energi surya nantinya akan menjadi solusi total bagi kebutuhan listrik masyarakat.
Oleh
ZAINAL ARIFIN
·6 menit baca
Tahun 2015-2016 yang lalu, beberapa lembaga riset memprediksi adanya teknologi disruptif di sektor energi, yaitu pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan baterai (Black & Veath, 2015; E&Y, 2016). Dalam rentang waktu 10 tahun energi surya tumbuh 21 kali atau 200 persen per tahun, dari hanya 23 GW pada tahun 2008 menjadi 505 MW pada tahun 2018. Kapasitas energi surya terus meningkat tiga kali atau setara dengan tambahan 1.500 GW, sehingga jumlah kumulatifnya akan melampaui kapasitas pembangkit berbahan bakar gas di tahun 2026 dan PLTU baru bara pada 2027 (IEA, 2022).
Di satu sisi, pertumbuhan baterai khususnya jenis litium ion juga melonjak tajam, yang awalnya hanya tumbuh 1 persen di tahun 2000 menjadi lebih dari 15 persen pada lima belas tahun terakhir (Bloomberg, 2020). Pasar terbesar baterai tentunya kendaraan listrik yang saat ini populasinya sudah lebih dari 40 juta unit dan mendominasi dengan pangsa lebih dari 85 persen. Namun kebutuhan baterai untuk sistem energi atau yang dikenal dengan BESS (battery energy storage system) juga terus melejit naik dengan rata-rata 79 persen pertahun (IHS Markit, 2020).
Kombinasi energi surya dan baterai menjadi ancaman serius bagi teknologi dan pasar energi yang sudah mapan. Tahun 2019, pembangkitlistrik turbin gas berkapasitas 740 MW milik General Electric di Inland Empire Energy Centre, California, terpaksa dimatikan 20 tahun lebih awal. Pembangkit yang baru beroperasi 5 tahun itu tidak berdaya melawan keekonomian harga listrik dari kombinasi energi surya dan baterai. GE harus menelan kerugian satu miliar dollar AS. Fenomena matinya pembangkit-pembangkit berbahan fosil seperti ini juga terjadi di Australia dan banyak negara Eropa lainnya. Seiring dengan makin turunnya harga baterai, kombinasi energi surya dan baterai ini juga berpotensi membunuh teknologi berbahan bakar fosil lainnya, seperti diesel, mesin gas, dan turbin gas di Indonesia.
Intermitensi energi terbarukan
Makin banyaknya energi surya yang memasok energi ke dalam sistem kelistrikan membutuhkan fleksibilitas yang tinggi di jaringan karena sifatnya yang intermiten dan fluktuatif. Kelemahan terbesar energi surya tentunya tidak bisa berproduksi menghasilkan listrik saat matahari mulai tenggelam sampai terbit kembali esok paginya. Sesuai kondisi alam, energi surya juga tidak dapat diatur (undispatchable) sehingga membutuhkan teknologi penyimpan energi agar luarannya bisa diatur sesuai dengan kebutuhan beban di jaringan dan pasar energi listrik.
Peran baterai dalam sistem dan pasar energi listrik tidak hanya untuk meredam fluktuasi energi surya—dan angin—agar bisa dikendalikan, tetapi juga berfungsi untuk meningkatkan keandalan sistem, menaikkan efisiensi serta menciptakan pasar baru: ancillary service.
Dalam konteks Indonesia, fungsi baterai bisa dipetakan menjadi lima (IBC, 2020). Pertama, sebagai sumber energi sementara bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil, khususnya pulau-pulau kecil yang terisolasi. Sulitnya membangun infrastruktur kelistrikan membuat banyak masyarakat di daerah tersebut tidak bisa dipasok kebutuhan listriknya melalui jaringan listrik yang energinya berasal dari pusat-pusat pembangkit listrik berbasis energi terbarukan khususnya energi surya. Maka ”tabung-tabung listrik” (baterai portabel) bisa menjadi sumber energi yang bisa dibawa ke mana-mana, termasuk ke rumah-rumah terpencil untuk memenuhi kebutuhan listriknya selama beberapa hari. Jika sudah habis, tabung-tabung listrik tersebut dapat diantar untuk diisi kembali pada stasiun pengisian yang berupa PLTS.
Kedua, baterai untuk menyimpan dan memindahkan energi dari kondisi surplus di satu waktu dan kemudian merilis energinya saat kondisi minus di waktu lainnya. Contohnya pada saat siang hari saat energi surya melimpah dan tidak bisa diserap oleh pasar, maka alih-alih energinya terbuang percuma, energi tersebut disimpan di dalam baterai. Kemudian saat malam hari, saat Matahari tenggelam sehingga tidak bisa memproduksi energi, energi yang tersimpan di baterai akan dimanfaatkan.
Ketiga, baterai juga bisa dimanfaatkan untuk menyimpan energi saat harganya murah dan menjualnya kembali ke pasar saat harganya tinggi. Tumbuhnya produk energi yang inovatif seperti Power Wall-nya Tesla didorong oleh disparitas harga energi yang kemudian dimonetisasi melalui teknologi penyimpan energi ini.
Keempat, baterai sebagai produk pendukung layanan keandalan energi listrik untuk pelanggan-pelanggan komersial/bisnis dan industri. Pelanggan premium tersebut tidak cukup mendapatkan layanan pasokan listrik biasa, tapi memerlukan layanan berkualitas tinggi. Mereka tak hanya butuh listrik yang tidak boleh mati, tapi juga listrik yang tidak boleh kedip sama sekali (free flicker). Maka baterai akan menjadi teknologi utama untuk menyediakan layanan premium antikedip kepada pelanggan-pelanggan tersebut. Dalam skala kecil, jenis teknologi baterai seperti UPS telah umum dipakai masyarakat dan institusi layanan publik, seperti rumah sakit dan pusat data, untuk menjaga keandalan pasokan listriknya.
Kelima, baterai menjadi pasangan ideal bagi pembangkit listrik energi terbarukan yang fluktuatif. Dengan baterai, pasokan energi surya dan angin bisa distabilkan dan diatur sehingga penetrasinya ke jaringan dan pasar listrik menjadi mudah. Maka pertumbuhannya terus meningkat dan baterai akan signifikan mendukung pengembangan energi terbarukan.
Peluang Indonesia
Peran baterai menjadi vital untuk menciptakan fleksibilitas dalam sistem dan pasar energi sehingga penetrasi energi terbarukan menjadi makin kencang. Sistem pasar yang dinamis dan melibatkan peran publik serta konsumen akan makin meningkatkan manfaat penggunaan teknologi baterai (IRENA, 2020).
Meskipun demikian, dalam konteks pasar dan sistem kelistrikan yang rigid dan sarat dengan peraturan (highly regulated) seperti di Indonesia, peran baterai tetap dapat dimanfaatkan setidaknya untuk meningkatkan fleksibilitas sistem kelistrikan yang dikelola oleh PLN.
PLN dapat menggunakan baterai untuk memanfaatkan pasar yang over supply saat ini, terutama dari pasokan PLTU-PLTU batubara milik swasta. Alih-alih harus membayar puluhan triliunan rupiah per tahun untuk energi yang tidak terpakai, PLN dapat menaikkan faktor kapasitas PLTU-PLTU tersebut dengan menyimpan produksi listriknya dalam baterai-baterai raksasa saat siang hari dan beban rendah. Selanjutnya energi dalam baterai bisa dipakai pada saat jam-jam puncak antara 18.00-22.00 sehingga tidak perlu mengoperasikan pembangkit-pembangkit fleksibel yang berbahan bakas fosil (gas dan minyak). Apalagi biaya produksi listrik saat beban puncak ini harganya bisa berlipat kali dibandingkan saat beban dasar di siang hari.
PLN juga bisa memanfaatkan baterai ini—dikombinasikan dengan energi surya—untuk mengurangi pembangkit listrik diesel yang masih banyak dipakai di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Dengan demikian, risiko volatilitas harga dan tantangan logistik memasok BBM ke daerah-daerah tersebut bisa teratasi sekaligus dapat meningkatkan penetrasi energi terbarukan dan mengurangi polusi karbon dioksida serta mengurangi konsumsi BBM yang sebagian besar diimpor tersebut.
Baterai juga dapat dimanfaatkan untuk mendorong maraknya pengembangan energi terbarukan di Indonesia, tak hanya oleh PLN, tapi juga oleh masyarakat maupun industri. Dengan makin murahnya harga panel surya, pemanfaatan PLTS bisa dilakukan dalam skala kecil oleh publik dalam bentuk PLTS atap. Tentu saja bagi pemerintah, fenomena ini menggembirakan karena pengembangan energi terbarukan bisa didukung oleh peran langsung masyarakat dan kalangan industri.
Seiring dengan masih akan terus turunnya harga panel surya dan baterai, pada titik tertentu, kombinasi baterai dan energi surya tersebut nantinya akan menjadi solusi total bagi kebutuhan listrik masyarakat. Jika harga listrik dari energi surya dan baterai bisa lebih murah dari tarif langganan PLN, saat itulah pelanggan bisa bebas dan bahkan berhenti berlangganan listrik dari perusahaan utilitas. Dan, ini mulai terjadi di Australia Selatan, Jerman, dan sebagian negara bagian di Amerika Serikat. Merujuk pada creative desctructive-nya Schumpeter (1942) dan disruptiveinnovation-nya Christensen (1995,) baterai sebenarnya telah menjadi game changer dan mendisruptif bisnis energi.
Zainal Arifin, Dosen Program Studi Pascasarjana di Institut Teknologi PLN dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society.