Siapa Bisa Bantu Korban Pinjaman dan Judi Daring?
Korban pinjol dan judol adalah bagian masalah sosial yang kompleks dan butuh solusi yang melibatkan berbagai sektor.
Indonesia tengah menghadapi dua ancaman besar yang semakin meresahkan: pinjaman daring atau pinjaman online dan judi daring atau judi online. Kedua fenomena ini tidak hanya berkembang dengan cepat, tetapi juga berhubungan erat.
Paparan iklan digital yang mempromosikan pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol) menyasar kelompok masyarakat rentan, khususnya generasi muda, yang minim literasi keuangan. Iklan-iklan yang sama muncul secara agresif dan berulang kali di berbagai platform online, membuat orang yang terjerat pinjol beralih ke judol sebagai solusi dan sebaliknya.
Namun, di tengah permasalahan ini, muncul pertanyaan penting: siapa yang bisa membantu korban pinjol dan judol? Saat ini, sumber daya untuk menolong mereka sangat terbatas, sementara masyarakat sering kali memandang korban sebagai pesakitan, bukan orang yang membutuhkan pertolongan. Padahal, korban pinjol dan judol adalah bagian dari masalah sosial yang kompleks serta membutuhkan solusi yang melibatkan berbagai sektor, termasuk psikologi, keuangan, dan kebijakan.
Baca juga: Duet Maut Pinjaman dan Judi Daring
Kerentanan dan dampak sosial
Tidak bisa dimungkiri, pinjol dan judol telah menciptakan lingkaran masalah finansial yang serius. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), transaksi pinjol mencapai Rp 50,3 triliun pada November 2022. Adapun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan transaksi judol tahun 2017-2022 mencapai Rp 190 triliun. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga merusak stabilitas sosial dan psikologis masyarakat.
Kasus seorang guru yang diberhentikan karena terjerat pinjol dan judol dapat menjadi contoh nyata. Guru tersebut meminjam uang dari aplikasi pinjol untuk membiayai kebutuhan mendesak. Namun, karena bunga tinggi dan cicilan yang terus menumpuk, ia mencari pelarian ke judol dengan harapan bisa melunasi utangnya. Alih-alih keluar dari masalah, ia justru terjebak dalam utang yang semakin membengkak dan kehilangan pekerjaan.
Kasus ini bukanlah anomali, tetapi gambaran nyata dari situasi banyak orang di Indonesia yang terjebak dalam lingkaran ”gali lubang, tutup lubang”. Ketiadaan akses terhadap edukasi keuangan dan bantuan psikologis membuat korban pinjol dan judol semakin terpuruk.
Minimnya kanal bantuan
Sayangnya, saat ini belum ada kanal yang memadai untuk membantu korban pinjol dan judol keluar dari masalah mereka. Meskipun OJK telah mengatur sektor pinjol, tidak ada dukungan yang cukup dalam hal bantuan psikologis, konseling keuangan, atau program rehabilitasi untuk mereka yang terjerat.
Lembaga seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan OJK memang berfokus pada regulasi. Namun, tanggung jawab untuk membantu korban tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada mereka.
Korban sering kali tidak tahu harus mencari bantuan ke mana. Mereka terisolasi, mengalami tekanan mental, bahkan stigma sosial. Alih-alih dipandang sebagai korban yang membutuhkan bantuan, mereka sering kali diperlakukan sebagai pesakitan. Padahal, stigma ini hanya akan memperburuk keadaan dan mencegah mereka mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan.
B elum ada strategi nasional yang komprehensif untuk mengatasi dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan.
Pentingnya kolaborasi dan edukasi
Masalah pinjol dan judol tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Dibutuhkan kolaborasi antara berbagai sektor: pemerintah, akademisi, psikolog, ahli keuangan, dan organisasi non-pemerintah.
Program-program rehabilitasi harus dikembangkan untuk membantu korban memahami dan mengatasi masalah psikologis yang mereka hadapi sekaligus memberikan solusi finansial yang sehat. Misalnya, program konseling keuangan bisa membantu korban merencanakan strategi pembayaran utang yang realistis, sementara terapi psikologis dapat membantu mereka pulih dari kecanduan judol.
Selain itu, edukasi keuangan juga harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda. Fakta bahwa 60 persen pengguna pinjol di Indonesia berusia 19-34 tahun menunjukkan betapa pentingnya literasi keuangan untuk mencegah mereka terjerat lebih dalam. Edukasi yang komprehensif harus mencakup informasi mengenai risiko pinjol dan judol serta bagaimana mengelola keuangan secara bijak.
Strategi dan dukungan
Di banyak negara, sudah tersedia kanal-kanal bantuan khusus yang dirancang untuk membantu korban pinjol dan judol. Layanan seperti konseling keuangan, terapi psikologis, dan program rehabilitasi kecanduan sudah menjadi bagian dari upaya sistematis untuk menolong mereka yang terjerat masalah ini.
Misalnya, di beberapa negara, ada organisasi yang menyediakan hotline bantuan 24 jam bagi individu yang mengalami kesulitan keuangan akibat pinjol dan klinik khusus untuk menangani kecanduan judol.
Namun, di Indonesia, kita masih jauh dari memiliki infrastruktur semacam ini. Meskipun ancaman pinjol dan judol semakin mengkhawatirkan, belum ada strategi nasional yang komprehensif untuk mengatasi dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan.
Korban dibiarkan berjuang sendiri tanpa adanya dukungan yang memadai dari pemerintah atau organisasi non-pemerintah. Tidak ada layanan konseling yang terstruktur atau pusat rehabilitasi yang dirancang khusus untuk membantu mereka yang terjebak dalam lingkaran pinjol dan judol.
Baca juga: Mengurai Aspek Sosiokultural Judi Daring
Strategi dan dukungan untuk rehabilitasi korban harus menjadi prioritas. Penting untuk menciptakan program rehabilitasi yang komprehensif, termasuk penyediaan akses mudah ke konseling keuangan dan terapi psikologis.
Misalnya, korban dapat diberi akses ke layanan konseling yang membantu mereka mengelola utang dengan lebih baik dan memahami risiko dari keputusan keuangan yang mereka ambil. Selain itu, terapi psikologis juga dapat membantu mereka pulih dari kecanduan judol dan membangun kembali kepercayaan diri yang hilang akibat utang.
Tanpa strategi dan dukungan yang memadai, korban pinjol dan judol akan terus terjerat dalam siklus masalah yang semakin dalam. Sudah saatnya Indonesia mengikuti jejak negara-negara lain dalam menyediakan kanal bantuan yang efektif untuk mereka yang membutuhkan. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, kita bisa benar-benar membantu mereka yang terperangkap dalam jeratan pinjol dan judol.
Korban pinjol dan judol tidak boleh diperlakukan sebagai pesakitan. Mereka adalah individu yang membutuhkan dukungan untuk kembali ke jalur yang benar.
Kesimpulan
Pada akhirnya, pertanyaan ”siapa bisa bantu korban pinjol dan judol?” harus dijawab dengan tindakan nyata. Korban pinjol dan judol tidak bisa dibiarkan berjuang sendirian.
Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk memberikan bantuan yang mereka butuhkan, mulai dari konseling keuangan hingga dukungan psikologis. Tanpa sumber daya yang tepat, korban akan terus terjerat dalam siklus utang dan kecanduan.
Dengan regulasi yang lebih ketat, edukasi yang ditingkatkan, serta kanal bantuan yang lebih luas, kita bisa membantu mereka keluar dari masalah yang kompleks ini. Korban pinjol dan judol tidak boleh diperlakukan sebagai pesakitan. Mereka adalah individu yang membutuhkan dukungan untuk kembali ke jalur yang benar.
Imam Salehudin, Ketua Program Studi S-1 Reguler Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Instagram: uqisaleh