Reformasi Regulasi Rekrutmen Tenaga Kerja di Tengah Masyarakat Risiko
Perlu ada reformasi regulasi yang bisa melindungi para pekerja dari jerat penipuan lowongan kerja.
”Lowongan pekerjaan: Gaji Rp 15 juta, fasilitas lengkap, jenjang karier terjamin!”
Iklan seperti itu akhir-akhir ini marak beredar di media sosial dan situs lowongan kerja. Pasti, bagi siapa pun yang pertama kali melihatnya, saya rasa akan merasa tergiur. Bagaimana tidak, iklan yang mencolok itu secara perlahan telah memasuki sisi psikologis manusia, terutama bagi para pencari kerja angkatan muda.
Namun, tentu saja, ada hal yang perlu diwaspadai. Sebab, di balik janji yang amat manis itu, ada jerat tersembunyi yang banyak menjerat pencari kerja di Indonesia.
Paradoks regulasi ketenagakerjaan
Menyoroti hal itu, fenomena penipuan lowongan kerja yang masif ini secara finansial memang sangat merugikan. Sebab, penawaran kerja dengan embel-embel gaji yang selangit dan jenjang karier yang melejit tentu menghipnotis siapa pun. Tak hanya itu, fenomena ini juga secara mendalam dapat menghancurkan harapan dan kepercayaan para pencari kerja, terutama bagi kaum muda yang baru memasuki dunia kerja.
Kasus penipuan lowongan kerja yang marak terjadi belakangan ini jelas menggambarkan apa yang disebut Ulrich Beck sebagai fenomena yang lumrah terjadi di masyarakat risiko (risk society). Sederhananya, masyarakat risiko yang digambarkan di sini merupakan cerminan dari kondisi masyarakat modern. Suatu kondisi masyarakat yang serba kompleks dan cepat, yakni di mana risiko, ironisnya, justru meningkat seiring dengan kemajuan teknologi dan kompleksitas sosial.
Baca juga: Sindikat Penipu Lowongan Kerja Beroperasi bagai Gurita
Dalam konteks ini, pemanfaatan teknologi yang seharusnya mempermudah segala kebutuhan manusia modern malah menciptakan arena baru bagi pelaku kejahatan untuk beraksi. Situasi ini pastinya akan menimbulkan satu pertanyaan. Mengapa dengan maraknya kasus penipuan lowongan pekerjaan, regulasi yang ada belum mampu melindungi para pencari kerja dari jerat penipuan ini?
Negara kita sebetulnya sudah memiliki sejumlah regulasi ketenagakerjaan yang cukup komprehensif. Kelengkapan tentang regulasi itu telah gamblang terlihat dari beberapa undang-undang. Sebagai contoh, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang sangat terang mengatur hak dan kewajiban serta pemberi kerja.
Kemudian, UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap hak berorganisasi pekerja. Bahkan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 39/2016 secara jelas dan spesifik mengatur tentang penempatan tenaga kerja.
Namun, di sinilah sebenarnya letak paradoksnya. Regulasi yang seharusnya melindungi itu justru menciptakan sebuah celah bagi praktik-praktik penipuan yang saat ini tengah beredar.
Peraturan yang rumit dan tumpang tindih membuat pengawasan di segala sektor menjadi sulit. Jika pengawasan dalam hal ini menjadi sulit, penegakan hukum sudah pasti akan melemah. Melemahnya penegakan hukum ini membuat para pelaku penipuan semakin berani.
Teknologi, pedang bermata dua
Secara kasatmata, kondisi yang sedang terjadi ini, menurut Beck, merupakan bentuk cerminan dari organised irresponsibillity. Sebab, Beck (1992) mengemukakan dalam karyanya bahwa ”Organised irresponsibility explains the inability of institutions to manage risk, and their tendency to become involved in the deflection of risk causation”. Hal ini menyoroti bahwa di mana sistem yang terlalu kompleks justru mempersulit penentuan tanggung jawab ketika terjadi masalah.
Hal ini terlihat di dalam PP No 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan hubungan Kerja. PP yang semestinya memberikan kejelasan ini malah menambah kebingungan dengan beberapa terminologi yang ambigu.
Selain itu, juga terdapat di UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski hadirnya undang-undang ini dimaksudkan untuk mengatasi kejahatan siber, pada kenyataannya masih belum cukup spesifik dalam menangani kasus penipuan lowongan kerja daring (online).
Lebih dari 7 juta orang Indonesia itu menjadi orang aktif mencari kerja. Ini target empuk bagi para penipu.
Guna memahaminya, kita perlu menengok kembali data statistik terkini. Angka-angka statistik memberikan kita gambaran lebih jelas tentang besarnya masalah ini. Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa per Februari 2024, angka pengangguran di Indonesia masih 7,2 juta orang.
Angka pengangguran ini jika dilihat mungkin terkesan melandai dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, di balik melandainya angka pengangguran, jumlah penduduk usia kerja, diikuti dengan jumlah angkatan kerja, malah semakin bertambah.
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan kepada kita bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih stuck di angka 5,2 persen. Yang berarti, dengan banyaknya angka ini, lebih dari 7 juta orang Indonesia itu menjadi orang aktif mencari kerja. Ini target empuk bagi para penipu.
Tak kalah mengkhawatirkan, data dari Identity Theft Resource Center (ITRC) melaporkan bahwa penipuan lowongan kerja meningkat 118 persen pada 2023 dari tahun sebelumnya. Laporan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa sudah terdapat 823 orang menjadi korban online scam jaringan internasional dengan modus lowongan kerja. Jika ditaksir, jumlah ratusan korban dari tahun 2022 hingga 2024 itu mengalami kerugian mencapai Rp 59 miliar.
Penjelasan data di atas kembali menegaskan bahwa tesis Beck dalam risk society pada dasarnya membuat risiko yang terjadi di masyarakat modern semakin meningkat dan sulit dikelola.
Baca juga: Dunia Tipu-tipu Lowongan Kerja Palsu
Beralih ke lain sisi, paradoks terbesar mungkin terletak pada peran teknologi yang saat ini kita gunakan. Sebab, di satu sisi, platform pencarian kerja online telah membuka akses yang luas bagi pencari kerja. Namun, di sisi lain, kemudahan ini juga dimanfaatkan oleh para penipu.
Kita ambil contoh kasus ”Ghost Company” yang juga marak belakangan ini. Penipu dapat menciptakan situs web dan profil perusahaan palsu yang sangat meyakinkan. Lengkap dengan testimoni, foto lokasi, dan portofolio fiktif. Gawatnya lagi, mereka juga menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk melakukan wawancara video dan menciptakan ilusi keabsahan yang nyaris terlihat sempurna.
Tentu, jika kita tarik kembali pada pemikiran Beck, hal ini memanglah sejalan lurus. Sebab, semakin canggih teknologi yang kita aplikasikan tiap hari, maka semakin sulit pula membedakan antara yang asli dan yang palsu.
Apa yang bisa dilakukan?
Pasal 492 UU No 1/2023 yang baru disahkan ini mungkin memberikan secercah harapan. Pasal ini secara spesifik mengatur sanksi bagi pelaku penipuan, tak terkecuali penipuan lowongan kerja.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa praktik penipuan, walaupun penyerahan dapat dilakukan di tempat lain, tetap terhitung sebagai tindak pidana. Meski begitu, implementasi dari pasal ini perlu diawasi secara ketat.
Langkah konkret yang dapat diambil untuk pencegahan penipuan lowongan kerja ini meliputi beberapa poin. Pertama, harmonisasi regulasi. Sinkronisasi antara UU Ketenagakerjaan, UU ITE, dan regulasi terkait lainnya harus dilakukan guna menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh para penipu.
Kedua, penguatan sistem verifikasi. Hal ini menjadi krusial lantaran sistem verifikasi terpadu oleh Kementerian Ketenagakerjaan untuk perusahaan dan lowongan kerja dapat mengetahui validitas setiap tawaran pekerjaan. Ketiga, kerja sama lintas sektor harus digalakkan. Perlu ada kolaborasi erat antara pemerintah, platform teknologi, dan masyarakat sipil dalam mengawasi praktik rekrutmen.
Baca juga: Tantangan Pasar Kerja Masa Depan Indonesia
Terakhir, dan mungkin yang paling penting, adalah edukasi publik. Yakni dengan kampanye masif tentang cara aman mencari kerja dan mengenali tanda-tanda penipuan, harus dilakukan secara konsisten dan meluas.
Sebagaimana Beck, ia menyebut langkah-langkah ini sebagai reflexive modernization. Sebuah proses modernisasi yang merupakan ciri khas masyarakat risiko di mana kemajuan dicapai melalui reorganisasi dan reformasi (Beck et al, 1994)
Namun, yang terpenting lagi, kita perlu mengubah paradigma. Pencarian kerja yang sedang kita awasi ini pada kenyataannya bukan sekadar transaksi ekonomi semata. Proses ini merupakan bagian dari proses sosial yang melibatkan harapan dan masa depan seseorang. Tentu, regulasi yang kita bangun ini harus mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.
Coba kita renungkan, dalam dunia yang semakin berisiko ini, apakah kita akan membiarkan mimpi anak-anak muda hancur di tangan penipu? Atau, kita akan bersama-sama membangun sistem yang lebih aman dan adil?
Membenahi regulasi rekrutmen bukan sekadar urusan hukum semata. Kondisi ini adalah tentang melindungi harapan dan masa depan generasi kita.
Adhitiya Prasta Pratama, Peneliti di SocioLab Universitas Negeri Surabaya