Kenapa pers Barat buru-buru menyebut Islam. Seolah-olah ada kontradiksi antara kepausan dan Islam.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
”Sri Paus di Indonesia”. Berita ini dapat dibaca di beberapa tajuk pers negara Barat, di mana saya kini berada. Namun segera ditambah oleh pers itu: ”Sri Paus mengunjungi negara berpenduduk Islam terbesar di dunia”. Tepat, tetapi penekanan yang aneh, bukan?
Kenapa pers (Barat) buru-buru menyebut Islam. Seolah-olah ada kontradiksi, bahkan seolah-olah HARUS atau INGIN ada kontradiksi antara ke-Paus-an dan Islam. Seolah-olah sang pembaca lebih diajak menekankan ”yang berbeda” dan ”yang membedakan”, daripada ”yang sama” dan ”yang menyamakan” antara Islam dan Katolik.
Ya, di Barat nun di sana, di negeri-negeri Eropa, tetapi, sayangnya juga, di Timur Tengah dan bahkan kini di India dan di Burma tidak sedikit orang-orang yang mengungkap asas identitas agamanya dengan meremehkan atau membenci ”sang lain”. Apakah disebabkan oleh pengajaran kitab-kitab suci yang salah?
Apakah hal ini dipicu pula gelombang-gelombang migrasi global yang, alih-alih menciptakan kebersamaan, justru memunculkan rasa identitas yang lebih dan rasisme gaya baru itu. Tetapi memang begitulah dunia: dikoyak-koyak politik identitas. Bahkan benih patologi sosial ini mulai terlihat muncul di sana-sini di Indonesia.
Indonesia, untungnya, patologi ”pembedaan” ini belum begitu merebak. Masih berlaku luas suatu ”kebiasaan sosial” yang elok, yaitu kebiasaan untuk menutup mata terhadap ”perbedaan” demi mengutamakan ”persamaan”.
Sejak dulu, berkali-kali, di pelosok Jawa dan Bali saya memang kerap bertemu dengan orang yang berkata ”semua agama itu sama ”.
Sejak dulu, berkali-kali, di pelosok Jawa dan Bali saya memang kerap bertemu dengan orang yang berkata ”semua agama itu sama”. Bahkan ada yang berkata: ”agama-agama semua tujuannya sama. Semua bak aliran sungai, yang semuanya berasal dari gunung, untuk semua bermuara di lautan yang sama. Hanyalah aliranair dari gunung ke laut yang membedakannya”. Indah, kan?
Orang tipe macam apa berkata demikian? Pada umumnya orang petani biasa, berpendidikan sederhana, atau bahkan buta huruf, yang sumber kearifan berasal dari lapis budaya lama, namun tetap berpegang teguh pada keluguan yang diyakininya bijak.
Para petani tahu dengan sendirinya asal kesucian ”air” serta tujuan ”muaranya”. Mereka kadang-kadang lebih insyaf dan lebih manusiawi pikiran agamisnya daripada sarjana-sarjana berpikiran sempit yang hanya sibuk mempelajari kekhasan-kekhasan ”aliran” setiap sungai/agamanya.
Sri Paus baru saja berkunjung ke Indonesia. Beliau tidak berpamrih apa pun. Apabila mengunjungi warga-warga bangsa besar ini ialah mengacu pada perumpamaan si petani di atas, dengan tujuan akhir yang satu: mencari dan berbagi dengan warga Indonesia Air Suci dari Gunung Asal yang sama; Amerta Sumber ilham dan keyakinan kita semua.
Mumpung di Indonesia, beliau tentu saja telah mengurus hal-ihwal aliran sungai Katoliknya. Beliau bertemu dengan uskup, romo, suster, dan umat Katolik pada umumnya. Itu wajar. Beliau tidak mengurus pernik-pernik aliran sungai yang lain.
Namun, di pengujung kunjungannya, ketika di lautan bermuara semua aliran sungai di sana, Sri Paus telah bersilaturahmi dengan semua pimpinan yang sepadan dengannya, para kiai dan ulama Islam, para pendeta Protestan dan Khonghucu, para biku Buddha dan sulinggih Hindu.
Lalu, di dalam kedalaman lautan yang memaducampurkan aliran-aliran sungainya masing-masing, mereka telah mencarikan secara bersama-sama, kendi air suci Amerta yang mampu menunggalkan mereka.
Pikir-pikir dengan Pak tani di atas: bukankah Sang Garuda konon telah berhasil mencuri tetesan amerta yang lalu dibawa ke Nusantara.