Subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK bisa jadi preseden buruk. Kota-kota besar bisa tidak subsidi transportasi publik.
Oleh
RAMA PERMANA
·3 menit baca
Tujuh puluh sembilan tahun Indonesia merdeka dinodai dengan merosotnya kelas menengah pada awal Agustus lalu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Masih di bulan yang sama, pengeluaran bulanan kelas menengah, khususnya di Jabodetabek, kembali terancam membengkak. Ancaman ini disebabkan rencana pemerintah memberlakukan subsidi kereta rel listrik Jabodetabek berbasis nomor induk kependudukan.
Rencana skema tiket berbasis nomor induk kependudukan (NIK) tentu akan menyubsidi masyarakat kelas bawah. Di sisi lain, kelas atas masih bisa menikmati kendaraan pribadinya. Namun, kelas menengah berpotensi menjadi pihak yang paling dirugikan dan terjepit karena dianggap lebih mampu membayar tiket kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek.
Pemerintah terkesan kurang serius dalam mengatasi kemacetan metropolitan. Padahal, ada insentif lain yang bisa dialihkan untuk tetap melanjutkan subsidi transportasi publik.
Insentif yang telah berjalan cukup lama adalah aturan rasio uang muka kredit dan pembiayaan kendaraan bermotor. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK 010/2012 menetapkan uang muka minimum untuk sepeda motor dan mobil pribadi sebesar 20 persen dan 25 persen. Aturan ini kemudian beberapa kali diubah dengan rasio uang muka yang terus diturunkan.
Terakhir, Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/2/PBI/2021 menetapkan uang muka 0 persen untuk semua jenis kendaraan, termasuk kendaraan komersial dan rendah emisi. Akibatnya, masyarakat dapat membeli kendaraan bermotor pribadi tanpa uang muka. Kemudahan pembelian ini kontradiktif dengan agenda mereduksi kemacetan.
Insentif paling baru terkait dengan Kendaraan Bermotor Listrik Bertenaga Baterai (KBLBB). Contohnya, insentif pajak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 hingga subsidi pembelian mobil dan sepeda motor listrik. Subsidi pembelian sepeda motor listrik tahun ini mencapai lebih dari Rp 7 triliun. Ironisnya, nilai tersebut jauh di atas rencana subsidi KRL Jabodetabek 2025 yang sebesar Rp 4,79 triliun.
Atas nama pengurangan emisi, subsidi tersebut hanya dinikmati masyarakat kelas atas tanpa mengurangi kemacetan secara signifikan. Padahal, transisi energi di sisi hulu masih lambat untuk beralih dari dominasi pembangkit batubara. Mengurangi emisi hanya di sisi hilir dan berpihak pada masyarakat kelas atas saja membuat program elektrifikasi kendaraan pribadi kurang masuk akal.
Fokus manusia
Suka tidak suka, Belanda merupakan pionir dalam solusi kemacetan. Kemacetan mobil di tahun 1960-1970-an ”disulap” menjadi dominasi sepeda kayuh. Insentif bersepeda digelontorkan besar-besaran berbanding lurus dengan disinsentif mobil.
Di Jakarta, jalur trem peninggalan Belanda justru dibongkar pada masa Orde Lama. Sangat disayangkan rencana jalur trem di kota-kota besar lain kini hanya berupa artefak di perpustakaan Leiden University.
Memperbaiki transportasi dengan berfokus pada manusianya sudah diamini oleh banyak akademisi terkemuka. Contoh terbaru, University of Leeds akan melibatkan warga berkolaborasi merancang alternatif kota tanpa mobil dalam proyek penelitian Infuze. Ide ini didasari salah satunya karena inefisiensi mobil di Inggris yang hanya diam terparkir selama 23 jam sehari.
Negara-negara Eropa Barat mengadopsi pembangunan kota dengan transportasi yang berkelanjutan: berdampak positif bagi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Transportasi berkelanjutan mensyaratkan pejalan kaki dan pesepeda menjadi prioritas, lalu transportasi publik, dan diikuti kendaraan pribadi sebagai prioritas terakhir, bukan sebaliknya.
Idealnya, layanan angkot di Bodetabek juga dimodernisasi dengan skema pembelian layanan seperti Jaklingko karena dapat menjangkau pelosok kota.
Kualitas pendukung
Alih-alih menyiasati efektivitas subsidi, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pendukung transportasi publik. Trotoar dengan lebar memadai disertai fasilitas penyeberangan jalan yang aman merupakan fasilitas mendasar bagi pejalan kaki.
Untuk mengurangi panasnya iklim tropis, pepohonan sepanjang trotoar dapat menurunkan suhu beberapa derajat celsius. Trotoar yang sibuk bisa dilengkapi kanopi untuk melindungi pejalan kaki dari hujan. Dua inisiatif ini sudah dicontohkan Singapura.
Kualitas infrastruktur yang mendukung pesepeda juga wajib ditingkatkan. Parkir sepeda diperbanyak. Jalur sepeda hendaknya disediakan serta tersambung dari Bodetabek hingga Jakarta. Kendala kewenangan lintas provinsi dapat dijembatani oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Layanan pengumpan perlu ditingkatkan. Jabodetabek diuntungkan kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi atau ride-hailing yang saat ini diandalkan masyarakat menuju stasiun (Sunitiyoso dkk, 2022). Idealnya, layanan angkutan kota di Bodetabek juga dimodernisasi dengan skema pembelian layanan seperti Jaklingko karena dapat menjangkau pelosok kota.
Kemudian, kemudahan pembayaran adalah kunci utama. Opsi pembayaran tiket dibuka seluas-luasnya dan terintegrasi dengan seluruh moda transportasi publik di Jabodetabek.
Preseden buruk
Sebagai barometer transportasi nasional, otak-atik subsidi transportasi publik di Jabodetabek menjadi preseden buruk bagi kota-kota besar. Ini bisa menjadi dalih banyak pemerintah kota lain untuk turut tidak menyubsidi transportasi publiknya.
Masih segar dalam ingatan kita, program Teman Bus digulirkan di beberapa kota besar. Namun, banyak pemerintah daerah ragu mengambil alih pengelolaannya karena terkendala kemampuan fiskal untuk melanjutkan subsidi. Jika Teman Bus tidak diteruskan, kemacetan di kota-kota besar akan kembali lebih parah dan lagi-lagi mengorbankan kelas menengah. Semoga tidak terjadi.
Rama Permana, PhD Candidate Bidang Sustainable Travel, Bournemouth University, Inggris