Dalam pidatonya, Paus Fransiskus juga memuji semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh
SIDARTO DANUSUBROTO
·3 menit baca
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September 2024 memberi begitu banyak pelajaran penting bagi kita. Mulai dari kesederhanaan, kerendahan hati, ketulusan, menghargai sesama, hingga sikap toleran yang sangat tinggi terhadap perbedaan.
Sebagai Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik sekaligus Kepala Negara Takhta Suci Vatikan, beliau memiliki begitu banyak fasilitas yang dapat dipergunakan dalam setiap aktivitasataupun kegiatan beliau.
Namun, alih-alih menggunakan pesawat pribadi, beliau justru memilih penerbangan komersial. Padahal, penerbangan dari Roma ke Jakarta membutuhkan waktu yang panjang, sekitar 18 jam. Selama di Jakarta beliau juga menginap di Kedubes Vatikan dan memilih kendaraan yang sederhana.
Kesederhanaan beliau mendapat apresiasi dari berbagai kalangan di Indonesia. Ketua Umum Muhammadiyah mengatakan, itulah bentuk keteladanan bagi pemimpin bangsa yang dapat menjadi inspirasi penting bagi para pemimpin bangsa lainnya di tingkat nasional dan ranah global.
Bukan hanya dari umat Katolik, berbagai kalangan juga mengapresiasi kunjungan Paus ke Indonesia sebagai simbol persahabatan dan dialog antarumat beragama di Indonesia.
Kunjungan ini dimaknai sebagai penghormatan kepada bangsa Indonesia yang bisa menjaga persaudaraan dan keberagaman agama, suku, ras, dan budaya.
Kegiatan beliau selama di Indonesia juga menunjukkan sikap yang sangat menjunjung tinggi toleransi serta menghargai kemajemukan Indonesia.
Dalam tulisan di buku tamu ketika diterima Presiden di Istana, beliau menulis, ”Terpesona dalam keindahan negeri ini, tempat perjumpaan dan dialog antara budaya dan agama-agama yang berbeda, saya berharap rakyat Indonesia bertumbuh dalam Iman, Persaudaraan, dan Bela Rasa. Tuhan memberkati Indonesia.”
Dalam pidatonya, Paus Fransiskus juga memuji semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Paus mengatakan semboyan itu menggambarkan persatuan di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan oleh founding fathers memang untuk semua suku, etnis, agama, dan golongan yang ada di Indonesia. Bangsa dan negara Indonesia bukan hanya untuk kalangan tertentu.
Untuk semua
Ditegaskan Bung Karno, ”Satu untuk semua, semua untuk satu, dan semua untuk semua.” Pemikiran Bung Karno ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia sebagai bangsa yang pluralistik, multikultural, multietnik, dan multiagama.
Ketika mengunjungi Masjid Istiqlal untuk bertemu dan berdialog dengan tokoh lintas agama, Paus Fransiskus yang merupakan pemimpin tertinggi umat Katolik tanpa ada rasa sungkan atau dibatasi oleh sekat-sekat aturan duniawi mencium tangan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar.
Hal itu dapat dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap sesama walaupun berbeda agama. Sebaliknya, tindakan Nasaruddin Umar yang tanpa canggung mencium kening Paus Fransiskus di depan banyak orang dan sorotan media merupakan pancaran nilai-nilai ajaran Islam, yaitu mewujudkan rahmatan lil alamin.
Sikap yang diperlihatkan oleh kedua tokoh tersebut merupakan bentuk toleransiyang sesungguhnya.
Nilai-nilai Pancasila harus dipraktikkan dengan menghargai seluruh agama yang diakui oleh negara.
Dalam misa akbar di kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, yang diperkirakan dihadiri oleh hampir 100.000 umat Katolik dari seluruh Indonesia, Paus Fransiskus berpesan soal perdamaian dan menjadi umat yang taat.
Kunjungan Paus Fransiskus ini juga dapat menjadi momen penting untuk menjaga kebinekaan dan merawat toleransi di Indonesia yang sangat majemuk.
Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik adat-istiadat tertentu.
Akan tetapi, negeri ini milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Sehubungan dengan hal tersebut, seharusnya tidak boleh lagi ada tindakan dari pihak-pihak tertentu untuk menghalangi umat agama lain untuk menjalankan ibadahnya atau untuk mendirikan rumah ibadah dengan alasan apa pun.
Nilai-nilai Pancasila harus dipraktikkan dengan menghargai seluruh agama yang diakui oleh negara. Hal ini harus dimulai dari lembaga pendidikan sebagai wadah membentuk pemimpin bangsa.
Untuk itu, semua perguruan tinggi utama di setiap provinsi harus membangun rumah ibadah semua agama yang diakui negara, seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Pancasila.