Reformasi hukum keluarga melalui legislasi menempuh jalan terjal. Kebijakan SPTJM menjadikan akta nikah tak berarti.
Oleh
MUHAMMAD LATIF FAUZI
·3 menit baca
Tulisan Dyah Wirastri di harian Kompas pada 20 Agustus 2024 yang berjudul ”Ke Mana Reformasi Hukum Keluarga Melangkah” membuka mata kita tentang sulitnya perubahan aturan keluarga melalui jalan legislasi atau undang-undang.
Satu-satunya perubahan yang terjadi setelah 45 tahun Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah dikeluarkannya UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang batas usia minimum perkawinan bagi perempuan yang disamakan dengan laki-laki, yaitu 19 tahun.
Perubahan tersebut didorong oleh putusan Mahkamah Konstitusi No 22/PUU-XV/2017 tentang batas usia pernikahan bagi perempuan. Putusan tersebut memerintahkan kepada pembuat UU untuk melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Di tengah alotnya reformasi aturan perkawinan, kita justru melihat progresivitas yang dilakukan oleh Kamar Agama Mahkamah Agung (MA) yang secara intens melakukan rapat pleno tahunan. Hasil rapat tersebut didiseminasikan melalui surat edaran Mahkamah Agung (SEMA).
SEMA tersebut sebenarnya merupakan peraturan internal yang berlaku di pengadilan agama (PA), tetapi memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi hakim dalam mengadili perkara keluarga. Sejak tahun 2012, tercatat ada 13 SEMA terkait perkawinan.
Judisialisasi dan birokratisasi
Pendekatan SEMA tersebut oleh sebagian kalangan disebut dengan istilah judisialisasi (Fauzi, 2022; Farabi, 2023). Pengaruh SEMA sangat jelas terlihat dalam praktik hukum di PA. Kita dapat menyebut beberapa contoh di sini.
SEMA Nomor 7 Tahun 2012 mengatur bahwa pada prinsipnya nikah tidak tercatat (nikah siri) dapat diisbatkan sepanjang tidak melanggar undang-undang. Ketentuan hukum penetapan isbat nikah sama dengan kekuatan hukum akta nikah sesuai Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Padahal, secara aturan dalam Pasal 7 KHI, itsbat nikah diberlakukan hanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan.
Selain itu, dampak dari SEMA Nomor 3 Tahun 2018 mengakibatkan alasan perceraian dalam UU Perkawinan tidak lagi relevan. Dalam SEMA tersebut diatur tentang broken marriage (perkawinan pecah) sebagai alasan perceraian. Jauh sebelum SEMA ini, hakim di PA cukup kreatif dalam menerapkan konsep perceraian menurut fikih, seperti khulu, syiqoq, dan fasakh (Van Huis, 2018).
SEMA tersebut mengatur bahwa perceraian hanya dapat dikabulkan jika broken marriage secara nyata telah terbukti.
Selain itu, Kemenag juga melakukan formalisasi terhadap perjanjian perceraian (taklik-talak) yang sudah ada sejak era Prakolonial.
Selain melalui judisialisasi, pemerintah juga melakukan perubahan hukum keluarga melalui tangan birokrasi. Pendekatan ini saya sebut dengan birokratisasi. Hal ini terjadi terutama pada aspek perkawinan.
Sejak berdiri pada 1946, Kementerian Agama (Kemenag) bertanggung jawab atas pencatatan nikah, cerai, talak, dan rujuk. Kemenag kemudian menggunakan kantor urusan agama di tiap kecamatan untuk melakukan kontrol terhadap perkawinan Muslim. Penghulu ditunjuk menjadi pengawas.
Selain itu, Kemenag juga melakukan formalisasi terhadap perjanjian perceraian (taklik-talak) yang sudah ada sejak era Prakolonial. Bedanya, taklik-talak saat ini mengandung kondisi yang tetap dan wajib disepakati seorang suami. Dengan cara ini, taklik-talak yang ada telah berubah dari kesepakatan di antara pasangan menjadi perjanjian wajib antara negara dan suami (Nakamura, 2006).
Sekarang, pelanggaran terhadap taklik-talak menjadi alasan perceraian yang cukup populer bagi para istri di PA, terutama bagi mereka yang diabaikan oleh suami.
Selain Kemenag, birokratisasi juga terjadi pada perkawinan yang tidak tercatat. Alih-alih menggunakan instrumen isbat nikah ke PA, Kementeri Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016 justru mengeluarkan kebijakan baru, yaitu surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) untuk pencatatan kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya. SPTJM ini dibagi menjadi dua: SPTJM kebenaran data kelahiran dan SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami istri.
Kebijakan ini diambil dalam rangka percepatan peningkatan cakupan kepemilikan akta kelahiran bagi anak, terutama yang lahir dari nikah siri. SPTJM ini dapat menggantikan akta nikah. Sekarang orangtua dapat mendapatkan akta kelahiran anaknya hanya dengan menunjukkan SPTJM ke kantor catatan sipil.
Di sini, kita melihat benang kusut reformasi hukum keluarga di Indonesia. Judisialisasi melalui kebijakan isbat nikah dan broken marriage merupakan penyederhanaan dari ketentuan materiil dalam UU Perkawinan dan KHI.
Birokratisasi melalui taklik-talak terbukti sangat efektif dalam menyelesaikan sengketa perkawinan. Melalui SPTJM, kita melihat bagaimana kebijakan ini telah menjadikan akta nikah tidak lagi memiliki arti.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa, di satu sisi, judisialisasi dan birokratisasi, baik oleh MA, Kemenag, maupun Kemendagri, merupakan bagian integral dari perkembangan hukum keluarga di Indonesia yang tidak dapat diabaikan. Di sisi lain, reformasi hukum keluarga melalui legislasi sayangnya menempuh jalan terjal. Kepada siapa kita berharap?
Muhammad Latif Fauzi, Ketua LP2M dan Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta