Kaum beragama, khususnya para pemuka agama, berada di garis depan dalam membangun budaya toleransi.
Oleh
IDI SUBANDY IBRAHIM
·2 menit baca
Kunjungan pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus (87), ke Indonesia, sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, 3-6 September 2024, memancarkan pesan dan makna toleransi serta persaudaraan kemanusiaan yang mendalam. Dengan senyum ketulusan, kebersahajaan, kerendahhatian, dan kesantunan, seperti dipancarkan dari bahasa tubuhnya yang penuh hormat dan belas kasih, Paus menjadi simbol kebalikan dari para pendukung budaya pameran arogansi dan gaya hidup bermewah-mewah.
Di tengah keprihatinan akan dunia yang kelam, yang disebut oleh Paus Fransiskus sebagai ”kultur kematian” (perang, konflik, perpecahan, pembunuhan, bunuh diri, dan aneka perundungan), generasi muda memerlukan cahaya optimisme akan kebaikan yang selalu menyala dan hidup dalam batin manusia yang berbudaya dan beragama.
Menarik ketika pada pertengahan Juni 2024, Paus Fransiskus mengundang 100 pelawak dari 15 negara. Ia memandang pentingnya profesi pelawak sebagai jalan memberi semangat dan menebar keajaiban. Ditekankannya bahwa dengan membuat orang-orang tersenyum, melawak memberi secercah kebahagiaan. Dengan cara demikian, pelawak menularkan harapan dan ikut menyatukan dunia. Dengan selera humor membuat orang bisa lebih peka terhadap sekitarnya sehingga membangun empati. Empati adalah jalan menumbuhkan bela rasa dan kebaikan yang melampau diri seseorang.
Ruang-ruang kebaikan dan toleransi yang dicontohkan oleh para tokoh agama terdahulu di Indonesia, seperti KH Abdurrahman Wahid, Buya KH Ahmad Syafi’i Ma’arif, atau Romo YB Mangunwijaya, dan diajarkan dengan terang oleh agama-agama besar, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu, sangat dibutuhkan bagi para pemeluk agama sehingga generasi kini perlu berlomba membangun jaringan kebaikan menghadapi jaringan kejahatan guna memperluas kemaslahatan umat menjadi kemaslahatan bersama.
Kaum beragama dan khususnya para pemuka agama berada di garis depan dalam membangun budaya toleransi yang menghargai perbedaan, menebarkan pesan perdamaian, serta membangun ruang-ruang pemahaman wacana dan kerja sama jaringan kebaikan antaragama, yang memungkinkan komunikasi intens dan energi umat beragama dialihkan dari mentalitas-spiritualitas untuk berperang dan bergaya hidup mewah menjadi mentalitas-spiritualitas untuk berdialog dan bergaya hidup bersahaja, dari permusuhan dan prasangka ke saling pengertian dan persaudaraan sejati.
Energi negatif dan destruktif yang menjadi watak manusia mungkin sebagian bisa dialihkan menjadi energi positif dan konstruktif dengan terus-menerus membangun kesadaran dan pendidikan sejak dini bagi pemeluk agama bahwa setiap agama saat ini dan jauh ke depan sedang dan akan menghadapi tantangan berat bersama. Karena itu, kerja sama antaragama kian dibutuhkan untuk mengatasi masalah teramat besar tersebut. Di tengah krisis lingkungan hidup yang drastis akibat perubahan iklim dan pemanasan global dan dalam sebuah negara-bangsa yang masih sarat korupsi, manipulasi, kesenjangan, dan kemiskinan dalam berbagai sendi kehidupannya, tumbuhnya jaringan kebaikan antaragama mungkin akan menyemai benih bela rasa, toleransi, dan persaudaraan sejati bagi generasi muda dari berbagai agama di negeri yang kita cintai ini untuk mengangankan dan membangun sebuah dunia yang lebih baik di masa datang.
Tentu saja, komunikasi tidak akan menyelesaikan semua masalah kemanusiaan yang kompleks, tetapi setidaknya akan membantu membuka jalan saling pengertian antaragama ketimbang tidak sama sekali.
Dalam sebuah dunia di mana perang dan kekerasan, kekejian dan kebencian, perpecahan dan pertikaian, serta permusuhan dan prasangka setiap waktu bisa muncul dan untuk saling menghancurkan, komunikasi menjadi jembatan yang menyambungkan persaudaraan, merekatkan saling pengertian, mempertemukan kepentingan bersama, mengurangi prasangka, serta membukakan terang hati akan perbedaan sebagai pelangi, mosaik, dan kekayaan dalam dunia multikultur dan multikeyakinan seperti Indonesia.
Revolusi dunia digital menjadi tantangan dan peluang bagi generasi baru umat beragama untuk menjadikan ruang digital terus meluas menjadi ruang pemerkaya budaya toleransi. Digitalisasi toleransi sejatinya menjadikan ruang religius digital sebagai bagian dari ekspresi keagamaan yang memperkaya bahasa cinta melawan bahasa kebencian, bahasa inklusi melawan bahasa eksklusi, bahasa persaudaraan melawan bahasa permusuhan, bahasa empati melawan bahasa antipati, bahasa kerukunan melawan bahasa perpecahan, bahasa saling pengertian melawan bahasa prasangka, serta bahasa perdamaian melawan bahasa konflik dan peperangan.
* Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Pasundan (Unpas) Bandung dan Pengajar Luar Biasa di Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) Malang.