Merawat Harta Persaudaraan Bersama Paus Fransiskus
Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia menjadi ajakan untuk bersama-sama merawat persaudaraan sebagai harta bersama.
Menyambut Paus Fransiskus berarti menyambut berbagai ajakannya untuk bekerja sama demi dunia yang lebih baik. Paus yang digelari sebagai Man of the Year oleh majalah Times pada 2013 ini memiliki kemampuan melibatkan banyak pihak untuk bekerja sama dalam misi kemanusiaan.
Dengan caranya, ia membuka jalan-jalan baru bagi lahirnya kerja sama lintas identitas. Gerakan ekologis lintas identitas yang lahir dari ensikliknya yang berjudul Laudato Si dan Hari Persaudaraan Umat Manusia yang lahir dari dokumen yang ditandatanganinya bersama Imam Besar Al-Azhar Ahmed al-Tayeb menjadi bukti nyata kemampuannya memengaruhi banyak pihak.
Ia memenuhi ajakan besar yang sering diulanginya untuk menjadi komunitas sinodal, sebuah komunitas yang berjalan bersama. Baginya, bangsa manusia harus kembali belajar untuk berjalan bersama demi misi bersama, yaitu misi kemanusiaan. Ia adalah seorang pribadi yang ingin melibatkan banyak pribadi untuk berbagi keprihatinan dan misi hingga akhirnya melahirkan gerakan di banyak tempat dan bentuk.
Baca juga: Politik Jembatan Paus Fransiskus
”Laudato Si”
Pada 24 Mei 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik berjudul Laudato Si (Terpujilah Engkau), sebuah surat ajakan bagi umat Katolik dan juga mereka yang berkehendak baik untuk merawat Bumi sebagai ”rumah kita bersama”. Pemilihan ungkapan ”rumah kita bersama” sudah mencerminkan adanya kehendak untuk melibatkan banyak pihak dalam upaya bersama menjaga kelestarian negeri ini.
Ia mengundang sejumlah pihak untuk memikirkan etika dan tindakan hidup yang penting untuk merawat rumah kita bersama. Dia tidak mengecualikan siapa pun untuk terlibat dalam menjaga rumah bersama.
Selain kepedulian kepada lingkungan, melalui ungkapan tersebut Paus mengajak banyak pihak untuk kembali berjalan sebagai saudara. Ajakan ini kian bermakna di tengah berbagai tragedi yang melanda dunia yang semakin memisahkan ”aku dan engkau,” ”kita dan mereka” sebagai entitas yang terpisah dan seakan tidak terhubung.
Terjadinya perang di sejumlah tempat dan munculnya ketidakpedulian sosial di banyak masyarakat kapitalis menunjukkan kian merosotnya semangat persaudaraan. Ia menyadarkan kembali bahwa kita hidup di Bumi yang sama yang menyatukan kita sebagai saudara. Dalam kesatuan sebagai saudara itu, orang juga didorong untuk menyadari pentingnya melihat alam sebagai pihak yang perlu dihormati.
Ia mengundang sejumlah pihak untuk memikirkan etika dan tindakan hidup yang penting untuk merawat rumah kita bersama.
Paus mengungkapkan, ”Jika kita mendekati alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk merasa kagum dan takjub, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, penguras sumber daya saja, tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan mendesaknya” (LS, art 11).
Ajakan Paus ini lalu mewujud dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah kembali dibicarakannya kepedulian pada lingkungan sebagai gerakan bersama. Pembicaraan publik mengenai ekologi integral yang memperhatikan kelestarian alam ciptaan bergema di banyak tempat.
Kalau kita mencari artikel ilmiah yang membicarakan tema ekologi, akan ditemukan banyak sekali artikel yang merujuk pada ajakan Paus ini. Tidak sedikit pula para pemikir di luar Katolik yang menggunakan ajakan ini sebagai rujukan ketika mereka membincangkan alam.
Kedua, ajakan ini menjelma dalam berbagai gerakan kembali ke alam. Berbagai gerakan muncul di banyak tempat. Salah satunya adalah gerakan yang dikenal sebagai Laudato Si Movement, sebuah gerakan internasional melibatkan 1.000 organisasi yang bergerak untuk membuat penyadaran dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan. Melalui ajakannya, Paus menggerakkan banyak orang untuk memiliki misi dan kepedulian yang sama.
Persaudaraan manusia
Kunjungan Paus Fransiskus ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada 3-5 Februari 2019 merupakan kunjungan yang bersejarah. Pada 4 Februari 2019 itu terjadilah pertemuan dua pemimpin agama besar, yaitu Katolik dan Islam, Paus Fransiskus dan Imam Besar Universitas Al-Azhar Ahmed al-Tayeb.
Meski tidak bisa mewakili keseluruhan umat Islam, Universitas Al-Azhar di Mesir adalah pusat pengetahuan Islam yang diacu oleh Islam dari berbagai belahan dunia. Dalam pertemuan tersebut, keduanya menandatangani surat bersama yang diberi nama Dokumen untuk Persaudaraan Umat Manusia (The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together) yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Abu Dhabi.
Di dalam dokumen itu, kedua pemimpin agama mengecam segala bentuk ekstremisme agama, penggunaan agama untuk kekerasan, dan berbagai perang yang menghancurkan persaudaraan dan kehidupan banyak orang. Di dalamnya, mereka berdua juga menyetujui pentingnya menyampaikan pesan perdamaian kepada umat masing-masing dan kepada seluruh dunia. Tujuannya adalah agar pesan perdamaian itu menjadi milik banyak pihak.
Baca juga: Agama dan Spirit Kemanusiaan
Rupanya ajakan ini lalu menjadi guliran pemikiran yang berkembang seperti bola salju. Ajakan mereka berdua ditindaklanjuti dengan pemberian Zayed Award for Human Fraternity, sebuah penghargaan global yang diberikan oleh Komite Tinggi untuk Persaudaraan Umat Manusia. Penghargaan ini diberikan kepada individu, organisasi, ataupun entitas lain yang berkontribusi untuk persaudaraan manusia.
Penghargaan tersebut diberikan setiap tanggal 4 Februari untuk memperingati pertemuan Paus Fransiskus dan Imam Besar Ahmed al-Tayeb. Pada 2024, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mendapatkan penghargaan sebagai organisasi yang berperan penting menjaga persaudaraan umat manusia. Selain itu, tanggal 4 Februari juga kini diperingati sebagai Hari Persaudaraan Umat Manusia sejak ditetapkan PBB pada 21 Desember 2021.
Persaudaraan umat manusia kini dianggap sebagai harta berharga yang layak untuk dirayakan umat manusia. Peran penting Paus Fransiskus amat kuat dalam hal ini.
Di Tanah Air, pada 13 Februari 2023, UIN Sunan Kalijaga menganugerahkan gelar honoris causa kepada Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot MCJJ, prefek dikasteri untuk Dialog Agama Vatikan, atas jasanya membangun persaudaraan. Dia adalah salah satu tokoh penting di balik terjadinya Dokumen Persaudaraan Umat Manusia. Artinya, pesan yang digaungkan di Abu Dhabi mendapatkan gemanya sampai di dalam sanubari masyarakat Indonesia kepada orang-orang yang berbeda keyakinan.
Menindaklanjuti dokumen persaudaraan tersebut, Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Fratelli Tutti, sebuah ensiklik tentang persaudaraan bagi semua. Di dalamnya ia mengingatkan kembali akan pentingnya memperhatikan semua orang. Ia mengecam budaya menyingkirkan orang dan sikap membiarkan orang-orang yang dianggap tidak berguna, terutama dalam diri mereka yang miskin dan difabel.
Orang semakin berpikir bahwa ada orang-orang yang bisa dikorbankan untuk kepentingan sekelompok orang pilihan yang layak untuk hidup tanpa batas (FT art 18). Ajakan Paus Fransiskus ini pun mendapatkan sambutan di banyak tempat sebagai ajakan untuk bersaudara.
Ia kembali menyadarkan banyak pihak akan pentingnya harta persaudaraan yang bagi sebagian orang dianggap sebagai hal yang tidak lagi berguna. Paus seakan ingin mengatakan, ”Kalau kita kehilangan hasrat bersaudara, maka hancurlah dunia.”
Berjalan bersama
Paus Fransiskus menjadi pribadi yang mampu mengartikulasikan kegelisahan-kegelisahan manusiawi yang sering kali sudah dilupakan orang. Kenyataan bahwa kita hidup di masyarakat yang serba praktis dan pragmatis memungkinkan masyarakat ini kehilangan harta-harta kemanusiaan yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Paus tidak melihat banyak hal dari untung dan rugi, tidak menimbang banyak hal dari pertimbangan yang kaya dan miskin, tetapi ia melihat dari sudut pandang kemanusiaan.
Ajakannya yang menggerakkan banyak pihak mengingatkan kita bahwa harta kemanusiaan memanglah milik banyak pihak. Ia mengajak banyak pihak kembali mendengarkan bisikan di dalam hatinya untuk kembali berjuang demi sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar keuntungan bagi diri sendiri.
Baca juga: Matahari Pagi di Abu Dhabi
Dalam Fratelli Tutti, ia mengatakan, ”Kita melihat bagaimana ketidakpedulian yang nyaman, dingin, dan mengglobal menjadi dominan, lahir dari kekecewaan mendalam yang bersembunyi di balik tipu daya ilusi: percaya bahwa kita bisa menjadi mahakuasa dan melupakan bahwa kita semua berada dalam perahu yang sama. Kekecewaan yang meninggalkan nilai-nilai luhur persaudaraan, mengarah pada semacam sinisme. Inilah godaan yang kita hadapi jika kita mengambil jalan kekecewaan atau ketidakpuasan ini” (FT art 30).
Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia yang bertemakan ”Iman-Persaudaraan-Bela Rasa” menjadi ajakan untuk bersama-sama bergandengan tangan untuk merawat persaudaraan sebagai harta bersama. Menyambut Paus Fransiskus artinya menyambut mimpi dan cita-citanya. Semoga kehadirannya menjadi seperti pupuk yang menyuburkan cita-cita kemanusiaan yang sebenarnya sudah tumbuh dan berkembang di dalam sanubari banyak pribadi di negeri ini.
Martinus Joko Lelono, Imam Katolik; Pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta