Politik Jembatan Paus Fransiskus
Upaya membangun politik jembatan Paus Fransiskus tampaknya menjadi sebuah model yang utuh dengan mengunjungi Indonesia.
Paus Fransiskus berkunjung ke Indonesia pada 3-6 September 2024. Ini bagian dari rangkaian visitasi ke Timur Jauh pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu. Paus adalah pemimpin Gereja Universal. Namun, inheren di dalam dirinya, ia juga adalah pemain politik di panggung global. Paus juga seorang politisi. Benarkah demikian?
Seorang Paus adalah juga seorang uskup Roma. Selalu ada momen, di mana ia berbicara ke kota abadi itu sebagai uskup Roma. Di momen itu, tak jarang kata-kata Paus sering kali menimbulkan gonjang-ganjing politik di kota abadi itu (CNA 2017).
Untuk alasan itulah, sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap wali kota Roma atau pemimpin di wilayah regional Lazio, ”wajib” menjalin hubungan baik dengan ”Raja yang melampaui Sungai Tiber”. Tiber adalah sungai ketiga terpanjang di Italia, yang mengalir dari pegunungan Apennine dan membelah kota Roma.
Baca juga: Menyimak Seruan Paus Fransiskus
Gelar itu menunjukkan pengaruh seorang Paus. Jika di Roma ia adalah uskup yang bisa menentukan dalam arus politik kota abadi, sebagai pemimpin Gereja Universal, ia adalah pemain besar di panggung global. Maka tak heran, pada isu-isu global kontemporer; hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, perang dan perdamaian, dunia selalu menunggu seruan seorang paus.
Benar saja, setahun lebih setelah ia naik takhta, ia mendamaikan Kuba dengan Amerika Serikat yang bersitegang lebih dari setengah abad. Masing-masing Barak Obama dan Raul Castro dalam pidato normalisasi hubungan kedua negara terang menyatakan bahwa pemulihan hubungan baik Washington-Havana (2014) terjadi karena peran penting Paus Fransiskus.
Politik jembatan
Ketika kelompok Islamic State meluluhlantakkan Timur Tengah, dunia menghadapi arus pengungsi yang besar. Paus Fransiskus menyerukan negara-negara, khususnya Eropa, untuk merentangkan tangan bagi para imigran korban perang.
Seruan itu tidak hanya seruan kemanusiaan, tetapi terutama seruan iman Kristiani, yaitu untuk menerima pengungsi, yang lapar, telanjang, dan menjadi orang asing sebagai wajah Kristus (Bdk Mat 25:35-36). Vatikan yang kecil secara geografis menjamu beberapa korban perang itu.
Negara Eropa, seperti Italia hingga Jerman, membuka pintu, tetapi Amerika Serikat di bawah administrasi Donald Trump menolak. Bahkan, pemerintahan Trump secara terang-terangan mau membangun tembok panjang di perbatasan Meksiko-AS untuk membatasi para imigran.
Paus Fransiskus mengkritik keras Trump. Ia menyerang iman Kristiani Trump. Seorang beriman Kristiani, kata Paus, membangun jembatan bukan tembok, merentangkan tangan pertolongan bukan berdiam diri.
Jembatan yang dibuat Fransiskus adalah jembatan persaudaraan manusia yang melampaui batas politik, budaya, dan agama.
Pascaduel komentar di media massa, Trump mengunjungi Takhta Suci (Mei 2017). Presiden negara adidaya pun harus mendengarkan seorang Paus. Gestur Trump menunjukkan bahwa suara seorang Paus memang bisa menggetarkan. Trump tidak hanya mempertimbangkan pemilih Katolik AS yang berkisar 20 persen, tetapi juga para elite dan korporat Katolik yang memainkan peran strategis dalam politik Amerika Serikat.
Tantangan Paus Fransiskus tidak hanya datang dari Trump, tetapi juga beberapa pemimpin Uni Eropa. Dalam dua tahun terakhir, negara-negara Eropa tujuan para migran mesti mengalami masalah sosial dan ekonomi baru sebagai konsekuensi membeludaknya para migran.
Paus pun dikritik. Berapa negara, seperti Polandia dan Italia, mulai mengambil kebijakan ekstrem dengan menutup pintu-pintu bagi para imigran. Sebab, imigran memang telah menghadirkan ”guncangan” sosial yang baru bagi peradaban Eropa.
Namun, jembatan yang dibuat Fransiskus adalah jembatan persaudaraan manusia yang melampaui batas politik, budaya, dan agama. Ia adalah Paus pertama yang mengunjungi Jazirah Arab. Kunjungan Paus ke Uni Emirat Arab pada Februari 2019 tidak hanya perihal hubungan diplomatik Takhta Suci dengan Abu Dhabi, tetapi hubungan baik dua agama besar dunia. Terutama simbol bahwa dalam keberbedaan, perjumpaan, dan komunikasi menjadi vital.
Di Abu Dhabi, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Ahmad el-Tayeb menandatangani dokumen Human Brotherhood for World Peace and Living Together. Peristiwa ini seakan mengulang secara persis di mana St Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al Khamil bertemu dalam dialog persaudaraan di tengah suasana perang salib pada 1912.
Setahun berselang pascamomen sejarah di Abu Dhabi, Paus meluncurkan ensiklik Fratelli Tutti (2020). Ensiklik ini adalah tentang persaudaraan manusia dan persahabatan sosial. Sebuah ajakan supaya dialog lintas agama tidak hanya terjadi pada tataran para pemuka, tetapi juga di tingkat akar rumput.
Keberbedaan adalah keniscayaan dalam peradaban manusia. Karena itulah, perlu jembatan-jembatan untuk menghubungi keberbedaan itu satu sama lain. Pada 2022, Paus melakukan lawatan berikutnya ke Jazirah Arab. Kali ini Paus juga mengunjungi Bahrain. Dua kunjungan ke jazirah Arab itu bisa kita baca sebagai fondasi baru dialog antarperadaban.
Baca juga: Paus, Migrasi, dan Perdagangan Orang
Ia juga menunjuk kardinal dari wilayah gerejawi yang populasinya kecil sekalipun seperti penunjukan Patrick De’ Rozario, Uskup Agung Dhaka, sebagai Kardinal. Padahal, populasi Katolik Bangladesh hanya sekitar 400.000 umat.
Hal yang sama ia lakukan dengan menunjuk Kardinal Jean Zerbo di Mali dan Louis-Marie Ling Mangkhanekhoun, vikaris apostolik sebagai Kardinal Laos. Kardinal adalah posisi besar dan strategis dalam hierarki Gereja Katolik yang ketat. Dalam situasi genting, yang bisa membangunkan Paus kalau lagi tertidur hanyalah seorang Kardinal.
Tentu, penunjukan kardinal yang tidak lazim itu adalah bentuk langkah politik Paus Fransiskus untuk memastikan suara perdamaian, keadilan, HAM, hingga lingkungan hidup menyentuh seluruh penjuru bumi. Membangun jembatan bagi Fransiskus bermakna vital supaya keberbedaan itu dirasakan dalam sudut pandang yang utuh melalui perjumpaan dan dialog yang berkelanjutan.
Hadiah untuk Indonesia
Bagi Paus Fransiskus, Indonesia adalah negara yang mengagumkan. Tak jarang ia menyambut para tokoh agama dan pemerintah dari Indonesia yang berkunjung ke Vatikan. Pada 2019, Paus menunjuk Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo, menjadi Kardinal. Untuk pertama kali, Indonesia memiliki dua Kardinal dalam waktu yang bersamaan (bersama Kardinal Julius Darmaatmadja).
Kardinal Suharyo menyebut bahwa penunjukan dirinya menjadi Kardinal merupakan hadiah Paus Fransiskus bagi bangsa Indonesia. Takhta Suci pada 1946 mengakui kemerdekaan Indonesia dan saling menempatkan kedutaan resmi. Takhta Suci sering kali melihat Indonesia sebagai model toleransi kehidupan beragama bagi dunia.
Maka tak heran, jika dalam rangkaian visitasi ke Timur Jauh, Indonesia mendapat porsi waktu terbanyak dibandingkan dengan Singapura, Papua Niugini, atau bahkan Timor Leste yang mayoritas Katolik itu. Itu, tidak mungkin tidak, karena Indonesia bermakna spesial bagi Paus Fransiskus. Indonesia bagi Takhta Suci dan Paus Fransiskus memang memiliki tempat tersendiri.
Baca juga: Selamat Datang, Paus Fransiskus
Upaya membangun politik jembatan Paus Fransiskus tampaknya menjadi sebuah model yang utuh dengan mengunjungi Indonesia. Bangsa ini adalah bangsa yang bineka suku, bahasa, budaya, dan agamanya. Barangkali kunjungan sang politisi ”pembangun jembatan” ini ke Indonesia semakin memperteguh keyakinan kita sebagai anak bangsa bahwa kemajemukan kita adalah rahmat Tuhan yang mengagumkan.
Sebagai anak bangsa dan umat manusia, kita memang perlu membangun jembatan antara keberbedaan, persis seperti yang dilakukan Paus Fransiskus; seorang pemimpin Gereja Katolik Universal; juga seorang politisi untuk perdamaian, persaudaraan antarumat manusia dan penjaga bumi sebagai rumah bersama (Laudato Si 2015). Pada akhirnya, kunjungan Paus tidak hanya hadiah untuk Indonesia; sebaliknya Indonesia adalah model ideal juga hadiah bagi peradaban manusia untuk berjumpa dalam jembatan persaudaraan.
Edward Wirawan, Analis Politik/Peneliti Teranusa Indonesia