Paus dan Krisis Bumi
Dalam kedua ensikliknya, Paus Fransiskus mengingatkan kita akan krisis iklim dengan segala dampaknya yang mengerikan.
Saat terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013, Jorge Mario Bergoglio memilih nama Fransiskus.
Karena ia seorang Jesuit, saya mengira ia memilih Fransiskus Xaverius untuk namanya, tetapi ternyata ia memilih nama Fransiskus Asisi, seorang Santo, pendiri Ordo Fratrum Minorum (Ordo Sahabat-sahabat Dina).
Dengan memilih nama ini, sesuai dengan teladan Fransiskus Asisi, visi dan spiritualitas Gereja Katolik di bawah kepemimpinannya akan sangat peduli pada lingkungan hidup, bahkan menjadi arah dasar pelayanan dan misi Gereja Katolik untuk dunia.
Tentu dipadukan dengan sisi spiritualitas Fransiskus Asisi yang lain: kepedulian akan kemanusiaan, bela rasa dengan yang miskin dan menderita, serta menyelamatkan kehidupan manusia, termasuk dari ancaman krisis ekologi.
Baca juga: "Laudato Si", Bertobatlah Kerusakan Alam Sudah di Depan Mata
Visi dan spiritualitas ekologi ditunjukkannya dengan ensikliknya yang monumental, Laudato Si’ (24 Mei 2015). Dalam ensiklik ini, ia secara lebih umum membahas krisis lingkungan hidup global yang menggelisahkannya. Melalui ensiklik ini, ia mengajak umat Katolik dan semua manusia bergerak ikut ambil bagian menyelamatkan kehidupan dari krisis lingkungan hidup global.
Bahkan, karena sedemikian gelisahnya, Paus Fransiskus akan krisis iklim yang mengancam kelangsungan Bumi, ia kemudian mengeluarkan lagi ensiklik yang lebih fokus pada krisis iklim, Laudate Deum (4 Oktober 2023).
Krisis iklim dan penyebabnya
Secara khusus, dalam kedua ensikliknya, Paus Fransiskus mengingatkan kita pada krisis iklim dengan segala dampak ikutannya yang mengerikan.
Misalnya, naiknya permukaan laut karena mencairnya es di kutub dengan dampak lebih lanjut akan terjadi pengungsian penduduk pesisir dengan segala masalah sosial ikutannya.
Terjadi pula badai beserta kekeringan yang mengancam pasokan air bersih. Krisis iklim menyebabkan tidak hanya gagal panen, tetapi juga badai, kekeringan dan kelangkaan air, curah hujan berlebih, serta banjir. Perubahan iklim menyebabkan gagal tanam yang memicu krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, dan rendahnya kualitas hidup manusia.
Dengan gambaran tersebut, menurut Paus Fransiskus, ”Tidak dapat dimungkiri bahwa dampak perubahan iklim akan semakin merugikan kehidupan banyak orang dan keluarga. Kita akan merasakan dampaknya di bidang layanan kesehatan, lapangan kerja, akses terhadap sumber daya, perumahan, migrasi paksa, dan di bidang lainnya (Laudate Deum).
Dalam analisis Paus Fransiskus, ”Tidak dapat diragukan lagi bahwa penyebab perubahan iklim adalah manusia—’antropik’. Akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali terhadap alam selama dua abad terakhir (Laudate Deum).”
Inilah yang disebut sebagai paradigma antroposentrisme, yaitu ”cara memahami kehidupan dan aktivitas manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia hingga merusakkannya”.
Sebuah cara pandang yang menyebabkan manusia ”tidak lagi merasakan alam sebagai norma yang berlaku atau sebagai tempat perlindungan hidup. Ia melihat alam tanpa asumsi secara obyektif, sebagai ruang dan bahan untuk dikerjakan (dieksploitasi). Dengan demikian, nilai intrinsik (alam) sendiri melemah (Laudato Si’, Laudate Deum)”.
Paus pun mengakui, ”Masalah ini diperparah oleh model pembangunan yang didasarkan pada penggunaan intensif bahan bakar fosil, yang merupakan sumber energi utama di seluruh dunia. Faktor lain yang menentukan adalah banyaknya perubahan dalam penggunaan lahan, terutama deforestasi untuk keperluan pertanian (Laudato Si’).”
Bumi tempat tinggal kita adalah satu dengan menyelamatkan kehidupan manusia dan sebaliknya.
Karena itu, bagi Paus Fransiskus, ”Akan tidak berguna menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis,” termasuk krisis iklim, ”tanpa mengenali akarnya dalam manusia (Laudato Si’).”
Paus Fransiskus menekankan betapa berbahayanya pendekatan teknokratis yang mendominasi ekonomi dan politik, yang memengaruhi semua model pembangunan kapitalistik.
Sebagai konsekuensi logisnya, ”dari sini orang dengan mudah beralih ke gagasan pertumbuhan yang tidak terhingga atau tidak terbatas, yang telah begitu menggairahkan para ekonom, pakar keuangan, dan pakar teknologi”.
”Ekonomi menerima setiap kemajuan teknologi yang membawa keuntungan, tanpa memperhatikan kemungkinan dampak negatifnya bagi manusia” (Laudate Deum, Laudato Si’).
Ini semua menjadi semakin parah karena di pihak lain, menurut Paus Fransiskus, ”Manusia modern belum menerima pendidikan untuk menggunakan kekuasaannya dengan baik, sementara kemajuan besar teknologi belum disertai dengan pengembangan manusia dalam hal tanggung jawab, nilai-nilai, dan hati nurani (Laudato Si’, Laudate Deum).”
Paus Fransiskus bahkan menekankan bahwa ”manusia saat ini tidak mempunyai etika yang cukup kuat, budaya, dan spiritualitas yang benar-benar menetapkan batasan-batasan dan mengajarkan pengendalian diri yang jernih”.
Karena itu, ”Tidak aneh jika kekuasaan yang begitu besar di tangan seperti itu mampu menghancurkan kehidupan, sementara pola pikir paradigma teknokratis membuat kita tidak mampu melihat permasalahan kemanusiaan yang sangat serius saat ini (Laudato Si’).”
Akibatnya, kata Paus Fransiskus, ”Segala sesuatu yang ada tidak lagi menjadi anugerah yang patut dihormati, dihargai, dan dirawat; malah menjadi budak, menjadi korban dari segala ambisi benak manusia dan kemampuannya.”
”Bersamaan dengan itu, kekaguman kita terhadap kemajuan membuat kita tidak mampu melihat kengerian dampaknya. Kita telah mencapai kemajuan teknologi yang mengesankan dan mengagumkan, dan kita tidak menyadari bahwa pada saat yang sama kita telah menjadi makhluk yang sangat berbahaya, yang mampu mengancam kehidupan banyak makhluk dan kelangsungan hidup kita sendiri.”
Itu sebabnya, bersama para uskup Afrika, Paus Fransiskus menyatakan bahwa perubahan iklim memanifestasikan ”suatu contoh mengejutkan dosa struktural” (Laudate Deum).
Solusi krisis iklim
Dengan latar belakang ancaman perubahan iklim yang sedemikian menggelisahkan, Paus dalam nada agak keras menyayangkan alotnya berbagai negosiasi perubahan iklim. Bahkan, ketika sudah tercapai kesepakatan perubahan iklim, tak ada keseriusan untuk menepati komitmen masing-masing.
Ini semakin menggelisahkan karena laju pemanasan global dan perubahan iklim semakin tidak terkendali.
Paus Fransiskus mengamati, ”Banyak hal yang masih belum jelas, terutama tanggung jawab konkret negara-negara yang harus berkontribusi.”
Dengan dasar analisis di atas, Paus menyodorkan beberapa solusi guna mengatasi krisis ekologi dan krisis iklim.
Melalui ensiklik ini, ia mengajak umat Katolik dan semua manusia bergerak ikut ambil bagian menyelamatkan kehidupan dari krisis lingkungan hidup global.
Pertama, karena salah satu sebab, bahkan sebab utama dari krisis ekologi dan krisis iklim adalah paradigma antroposentrisme, Paus menyodorkan salah satu solusi krisis iklim berupa ”antroposentrisme bersyarat”. Dalam pemikiran Paus, bagaimanapun, kehidupan dan kebutuhan manusia tetap penting. Namun, bukan dengan menganggap, memperlakukan, dan menempatkan kepentingan manusia di luar dan di atas alam semesta seluruhnya.
Dengan kata lain, paradigma antroposentrisme tetap dipertahankan asalkan tak mengabaikan alam semesta. Dengan paradigma antroposentrisme bersyarat, manusia harus dipandang sebagai satu kesatuan dengan alam sehingga menyelamatkan alam, Bumi tempat tinggal kita, adalah satu dengan menyelamatkan kehidupan manusia dan sebaliknya.
Dalam pemikiran Paus Fransiskus, ”Jika krisis ekologi merupakan sinyal atau manifestasi lahiriah dari krisis etis, spiritual, dan kultural zaman modern, kita tidak dapat berpura-pura memulihkan hubungan kita dengan alam dan lingkungan tanpa menyembuhkan semua hubungan mendasar manusia.”
Kedua, karena penyebab utama pemanasan global dan krisis iklim adalah penggunaan energi fosil, Paus sepakat bahwa salah satu solusinya adalah keharusan beralih menggunakan energi terbarukan dipadukan dengan penghematan penggunaan energi di semua sektor dan bidang kehidupan.
Ketiga, karena akar terdalam dari krisis ekologi dan krisis iklim adalah perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab atas pengaruh cara berpikir antroposentris, dibutuhkan perubahan perilaku dan gaya hidup manusia untuk keluar dari krisis iklim dan krisis ekologi pada umumnya. Perubahan gaya hidup itu harus melibatkan tidak hanya individu, tetapi juga seluruh komunitas.
Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi konsumen akan berpengaruh dan berdampak besar dalam mengubah politik dan bisnis terkait krisis ekologi.
Paus sangat menekankan pentingnya perubahan gaya hidup dan budaya ini. Hal ini karena ia tidak yakin pendekatan formal command and control berupa aturan hukum dan penindakan akan efektif mengubah perilaku kita.
Menurut Paus, ”Kesadaran akan kegentingan krisis budaya dan ekologis harus diterjemahkan ke dalam adat kebiasaan baru.”
Untuk itu, perilaku dan logika, seperti ”pakai dan buang” yang menghasilkan begitu banyak sampah, hanya karena keinginan untuk mengonsumsi lebih banyak daripada yang sebenarnya dibutuhkan, hanya mungkin berubah dengan mengubah budaya dan gaya hidup, dan bukan menggantungkannya pada politik dan hukum (Laudato Si’). Apalagi kalau politik dan hukum sudah penuh dengan penyimpangan dan korupsi.
Perubahan gaya hidup itu harus melibatkan tidak hanya individu, tetapi juga seluruh komunitas.
Keempat, terkait perubahan gaya hidup, Paus berbicara sangat panjang dan komprehensif tentang pendidikan ekologis dan sebuah pertobatan ekologis.
Karena akar dan penyebab utama krisis ekologis dan krisis iklim adalah kesalahan perilaku manusia (antroposentrik), ”krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam”. ”Pertobatan ini juga menyiratkan kesadaran penuh kasih bahwa kita tidak terpisahkan dari makhluk lainnya, tetapi dengan seluruh jagat raya tergabung dalam suatu persekutuan universal yang indah.”
Keadilan iklim
Yang juga menarik, Paus Fransiskus secara khusus mengingatkan kita tentang keadilan iklim dalam rangka membela dan melindungi pihak-pihak yang rentan, entah kelompok masyarakat miskin ataupun negara-negara sedang berkembang. Demi keadilan, Paus mengingatkan tanggung jawab negara maju untuk berperan dominan dalam mengatasi krisis iklim.
Negara-negara maju telah mengotori Bumi dengan emisi gas rumah kaca demi kemajuan ekonominya, maka mereka juga yang harus pertama berada di depan menyelamatkan Bumi ini dari krisis iklim. Ini hal yang adil.
Jangan sampai kelompok miskin dan negara-negara sedang berkembang—yang dalam krisis iklim bisa lebih rentan terkena dampak perubahan iklim paling parah—justru didesak untuk ikut menanggung beban yang sama untuk mengatasi krisis iklim.
Apalagi, kelompok miskin lemah dan negara berkembang tak punya kapabilitas memadai menghadapi krisis iklim. Mereka jangan dibebani tanggung jawab berlebih, sementara negara maju terus menghindar dari tanggung jawab mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Karena alasan yang sama, Paus tidak sepenuhnya mendukung skema perdagangan karbon. Alasannya, skema perdagangan karbon hanya akan membuat negara maju terus menghindar dari tanggung jawabnya yang lebih besar untuk mengatasi krisis iklim, terus saja memacu perkembangan dan kemajuan ekonominya, bahkan dengan tetap membakar energi fosil.
Dalam perdagangan karbon, negara berkembang dituntut melestarikan dan mengonservasi hutannya dan beralih ke energi terbarukan dengan segala daya upayanya hanya dengan iming-iming memperoleh kompensasi pembayaran dari negara maju pengemisi karbon.
Menurut Paus, ”Strategi jual-beli ’kredit karbon’ dapat menimbulkan bentuk baru spekulasi yang tidak akan membantu mengurangi emisi gas polutan secara global.”
Sejalan dengan itu pula, Paus tidak setuju dengan konsep internalisasi pengerukan sumber daya alam (SDA) dan dampak lingkungan hidup ke dalam proses produksi dan bisnis.
Kendati ide mengenai internalisasi ini akan memaksa dunia bisnis mempertimbangkan dengan saksama dampak deplesi SDA dan dampak lingkungan hidup dalam akuntansi bisnisnya, tetap pada akhirnya, menurut Paus Fransiskus, akan membebani dan merugikan kelompok miskin. Ini tidak adil.
Karena alasan yang sama, Paus tidak sepenuhnya mendukung skema perdagangan karbon.
Dengan tegas Paus mengatakan, ”Beberapa strategi untuk mengurangi emisi gas polutan mengupayakan internalisasi biaya lingkungan dengan risiko bahwa negara-negara yang kekurangan sumber daya harus menanggung kewajiban pengurangan emisi yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara industri. Memaksakan tindakan pencegahan itu merugikan negara-negara yang paling membutuhkan pembangunan.”
Dengan demikian, bertambah ketidakadilan baru dengan kedok perlindungan lingkungan hidup. Orang miskin yang membayar ongkosnya.
”Karena dampak perubahan iklim akan dirasakan untuk waktu yang lama, bahkan jika sekarang diambil tindakan tegas, beberapa negara yang kekurangan sumber daya akan membutuhkan bantuan untuk beradaptasi terhadap dampak yang sudah terjadi dan memengaruhi ekonomi mereka (Laudato Si’).”
Sekali lagi, berhadapan dengan krisis Bumi, Paus mengingatkan, ”Yang diminta dari kita tidak lain adalah tanggung jawab tertentu atas warisan yang akan kita tinggalkan setelah perjalanan kita di dunia ini (Laudate Deum).” Yakni melalui aksi nyata perwujudan budaya ekologis, etika ekologis, dan spiritualitas ekologis.
A Sonny Keraf, Pemerhati Lingkungan Hidup