Baru-baru ini saya mengikuti polemik di media sosial X (Twitter) yang melibatkan seorang politikus sekaligus pengurus partai dengan komedian (komika) terkait politik dan humor (lawak). Inti dari polemik tersebut kira-kira isinya menyarankan komedian tersebut fokus ”ngelawak” saja alih-alih mengurus politik. Pernyataan itu lantas membuat beberapa komika lainnya ikut-ikutan dalam pusaran polemik tersebut.
Tulisan ini hendak mencoba mengulas tentang humor dan politik. Apakah humor dan politik merupakan dua entitas yang berbeda dan sejauh mana relasi antara humor dan politik?
Politik Indonesia erat kaitannya dengan humor. Tidak semata-mata karena mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan sosok yang humoris. Faktanya, konstelasi politik dan iklim demokrasi di Indonesia selalu dibumbui dengan lelucon dan sejenisnya.
Baca juga: Humor Politik, antara Resistensi Publik dan Superioritas Elite
Hingga era teknologi digital saat ini, kita bisa dengan mudah mengakses humor-humor politik yang melibatkan para politikus hingga presiden sebagai kepala negara. Sebagai contoh kita gampang menemukan berbagai meme, gift, sticker, ataupun tagar, dan video pendek, yang mengolok-olok presiden dan aparat sebagai bagian dari humor politik.
Kita jangan lupa seorang komedian kondang, yakni Komeng, mendapat suara terbanyak dari Daerah Pemilihan Jawa Barat di Pemilihan DPD pada Pemilu 2024 yang rumornya melalui cara-cara khas komedian. Kasus Komeng bisa disebut sebagai kemenangan telak komedian versus politikus dalam polemik tersebut. Uhuyy…!
Humor dan komunikasi politik
Karya Morreall (2005) mengungkap bahwa kelahiran demokrasi di Athena bersamaan dengan kemunculan komedi pada abad ke-5 Masehi. Bahkan, tidak hanya itu, menurut dia para kaum cerdik pandai, filsuf, dan agamawan yang mengawali hal-hal yang lucu.
Sejak saat itu, humor politik mengalami evolusi seiring dengan perkembangan media. Di era yang katanya postmodern dengan masifnya pemanfaatan media sosial sekarang ini, humor lebih bersifat visual dan divisualisasikan dibandingkan dengan media sebelumnya.
Jika mengacu pada pandangan Tsakoni dan Popa (2011) terkait dengan politik, humor disebut memiliki dua fungsi. Pertama, humor dimanfaatkan untuk menyampaikan kritik melawan status quo. Dalam hal ini humor diproduksi dan direproduksi untuk menguatkan nilai-nilai dan pandangan yang dominan dalam politik.
Kedua, humor menguatkan pandangan-pandangan umum (publik) terkait dengan urusan politik. Kritik berarti melekat dalam sebuah humor dan dijadikan sebagai instrumen untuk melawan penguasa.
Humor juga merupakan ekspresi protes melawan irasionalitas yang dominan dari sebuah otoritas politik.
Humor politik menguatkan adanya relasi kuasa dalam humor. Lelucon-lelucon yang seksis, rasis, dan diskriminatif seperti dalam dark jokes adalah gambaran dari ketimpangan relasi kuasa yang terselip dalam humor (Lavenia, Remotivi.or.id, 2021).
Humor dengan demikian adalah bagian dari komunikasi politik. Komunikasi politik dengan lelucon yang sarat dengan kritik dan perlawanan terhadap realitas sosial politik. Kelebihan komunikasi humor politik adalah lelucon yang melekat di dalamnya.
Bayangkan seorang presiden dikritik sambil diolok-olok dan ditertawakan oleh rakyatnya, menurut saya adalah jauh lebih menyakitkan daripada kritik yang disampaikan secara formal dalam forum-forum resmi atau demonstrasi di jalanan sekalipun. Kreasi humor yang sedemikian rupa tidak hanya membutuhkan mental baja, tetapi juga kecerdasan di atas rata-rata politikus.
Davies (2012) mengingatkan kita bahwa humor di satu sisi merupakan ekspresi nilai-nilai rasionalitas dan kegelisahan manusia. Namun, selain itu, humor juga merupakan ekspresi protes melawan irasionalitas yang dominan dari sebuah otoritas politik.
Medsos: masa depan humor politik
Keberadaan media sosial (medsos) niscaya akan menyuburkan humor politik. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat medsos berbasis pada visual yang akan menguatkan humor-humor politik yang disampaikan secara substansial.
Sebagaimana Nicholas Mirzoeff (1999) percaya bahwa sekarang ini kita lebih visual dan tervisualisasikan daripada sebelumnya. Kebudayaan populer menurut dia menjadikan visual atau tampilan (gambar) sebagai yang utama.
Humor politik yang dikreasikan dengan memanfaatkan visualisasi medsos memiliki gaung yang sangat masif untuk diterima dan didiseminasikan kembali oleh khalayak. Dengan demikian, nilai-nilai dan pesan yang terdapat dalam humor politik dapat dimengerti dengan mudah oleh publik.
Baca juga: Politik dan Humor
Kreasi humor politik yang dikemas sedemikian rupa tidak hanya berisi hiburan untuk melepaskan diri dari kondisi sedih dan keterpurukan. Selain itu, ia bisa berupa ungkapan frustrasi atas realitas sosial politik yang mendorong perlawanan atas rezim dan kroni-kroninya yang dianggap menjadi biang keroknya. Kondisi serupa masih kita saksikan bersama bagaimana presiden dan keluarganya, serta aparat, dibuat olok-olokan dengan berbagai bentuk visualisasi kreasi humor.
Meskipun demikian, kreator humor politik perlu mewaspadai kekerasan negara dalam wujud undang-undang (Informasi dan Transaksi Elektronik/ITE) atau produk hukum sejenis yang tidak segan dipraktikkan oleh penguasa untuk menjerat siapa pun yang dianggap melecehkan penguasa (aparatur negara). Humor adalah bagian dari aktivitas (komunikasi) politik. Komunikasi merupakan politik atau esensi dari aksi politik menurut Hannah Arendt.
Penguasa dan aparat pemerintah tidak seharusnya melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun kepada warga negara yang menyelipkan humor dalam aktivitas politiknya. Saya yakin pemerintah tidak mau dicap irasional (thoughtlessness) alias tidak mampu berpikir jernih oleh rakyatnya. Namun, kenyataannya demikian. What a comedy!
Akhriyadi Sofian, Dosen FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang