Gelar ”Sri Paus” pada Paus Fransiskus bernilai tinggi. Gelar itu memberi ciri pada orang yang dihargai dan dihormati.
Oleh
NUR ADJI
·2 menit baca
Akhir-akhir ini beredar (lagi) penggunaan kata sri yang disematkan pada paus sebagai pemimpin umat Katolik dunia. Sementara itu, Presiden Jokowi menyebut pemimpin tertinggi umat Katolik itu dengan sebutan ”Yang Teramat Mulia” Paus Fransiskus. ”Sri Paus”, demikian sebutan yang beredar itu untuk Paus Fransiskus, sama nilainya dengan sebutan ”Yang Teramat Mulia” oleh Presiden Jokowi. Kedua sebutan itu bernilai rasa tinggi.
Sri, juga kata sandang (artikula) lain seperti si, sang, dan yang, adalah kata yang dipakai di depan nama diri. Dulu kita sering mendengar kata sri ini melekat pada Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Alih-alih Sultan HB, beliau juga kerap dipanggil Sri Sultan. Jauh sebelum itu, dalam sejarah terdapat nama Sri Baduga Maharaja. Raja yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi ini memerintah Kerajaan Galuh (Pajajaran) pada 1482-1521.
Berbeda dengan si dan sang yang dipakai untuk nama diri yang lebih umum, bahkan kerap dipakai pula untuk tumbuhan dan binatang, kata sri lebih spesifik disematkan pada tokoh yang sangat dihormati, seperti bangsawan, raja, ratu, atau bahkan pemimpin umat seperti Paus Fransiskus. Hal ini sejalan dengan penjelasan yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar memaknai sri sebagai gelar kehormatan untuk raja atau orang besar dan sebagainya.
Dalam kurun 1965 hingga 2024, kata sri kerap dijumpai pada pemberitaan media, baik untuk Sri Paus maupun Sri Sultan. Pada 25 Juni 1965, misalnya, di Kompas ditemukan berita terkait dengan Sri Paus. Sebutan ini disematkan pada Paus Paulus VI. Sebutan itu pun disematkan pada paus-paus berikutnya, seperti Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI. Jadi, penyebutan Sri Paus pada pemimpin umat Katolik dunia itu tidak sekonyong-konyong muncul. Sebutan ini sudah ada sejak dulu.
Hal yang sama terjadi pada sebutan Sri Sultan, baik untuk Sultan Hamengku Buwono IX maupun Sultan Hamengku Buwono X, bahkan untuk pemimpin Kesunanan Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono X (Sunan Pakubuwono X).
Gelar kehormatan sri ini—paling tidak sampai hari ini—belum pernah kita temukan lagi pada tokoh lain. Agak mengherankan bahwa Siddhartha Gautama, penemu ajaran Buddha, dijuluki ”Sang Buddha”, bukan ”Sri Buddha” atau ”Sri Gautama”, misalnya. Bung Karno, sebagai tokoh pemersatu bangsa Indonesia, dijuluki ”Putra Sang Fajar”. Ia kerap juga disebut ”Sang Proklamator”, bukan ”Sri Fajar” atau ”Sri Proklamator”. Padahal, keduanya merupakan tokoh yang sangat dihormati.
Ada pula sebutan ”Si Kutu” untuk Lionel Messi, ”Si Mulut Besar” untuk Muhammad Ali, dan ”Si Burung Merak” untuk WS Rendra. Di zaman dulu ada sebutan ”Yang Agung” untuk pemimpin kerajaan di Yunani Kuno, Alexander The Great (Alexander yang Agung).
Di Inggris Raya, kita mengenal gelar lord dan sir. Lord adalah gelar bangsawan yang digunakan untuk merujuk pada berbagai tingkatan dalam sistem kebangsawanan Inggris. Contoh penyandang gelar ini adalah Lord Baden Powell, Bapak Pandu Dunia. Gelar kehormatan ini diberikan kepada Powell oleh Raja George V karena jasa Powell dalam bidang kepanduan.
Adapun gelar sir adalah gelar yang diberikan raja sebagai pengakuan atas prestasi pribadi, layanan publik, atau pekerjaan amal yang luar biasa dari seorang warga negara Inggris. Contoh yang terkenal adalah Pelatih Manchester United Sir Alex Ferguson. Istana Buckhingham memberikan gelar ini karena Ferguson membawa Manchester United memenangi tiga gelar bergengsi dalam tahun yang sama, yakni Piala FA, Liga Inggris, dan Liga Champions.
Tampaknya penyematan si, sang, yang, sri, atau lord dan sir lebih bersifat manasuka dari si pemberi gelar. Ada unsur nilai rasa, cocok-cocokan, berperan di situ. Apa pun itu, penyematan tersebut ditujukan untuk memberi ciri kepada orang yang mereka hargai dan hormati.