Angka partisipasi kerja perempuan Indonesia masih rendah. Meningkatkan partisipasi kerja perempuan akan mengungkit perekonomian nasional.
Laporan Bank Dunia bahwa Indonesia telah mencapai pertumbuhan dan pengurangan angka kemiskinan yang signifikan dalam dua dekade terakhir membangun optimisme. Namun, angka partisipasi kerja perempuan Indonesia yang tidak berubah, hanya sekitar 53 persen dibandingkan laki-laki yang sekitar 81 persen, menjadi tantangan (Kompas.id, 3/9/2024).
Peningkatan pencapaian pendidikan dan tingkat kesuburan perempuan serta peluang ekonomi belum mampu meningkatkan angka partisipasi kerja perempuan Indonesia. Di kawasan Asia Tenggara, berdasarkan laporan Bank Dunia, angka partisipasi kerja perempuan Indonesia hanya lebih tinggi dari Filipina (46 persen) dan Myanmar (43 persen). Indonesia tertinggal jauh dibandingkan Timor Leste (61 persen), Singapura (63 persen), Vietnam (69 persen), dan Kamboja (70 persen).
Baca juga: Selama 20 Tahun Terakhir, Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Tak Berubah
Tanggung jawab pengasuhan dan keluarga menjadi hambatan terbesar dalam partisipasi kerja perempuan dalam perekonomian. Norma sosial di masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai pengasuh utama dan laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Besarnya beban kerja perawatan tidak berbayar yang ditanggung perempuan ini membatasi kemampuan perempuan berpartisipasi di dunia kerja.
Kebijakan di tempat kerja yang tidak peka terhadap peran perempuan dalam bidang sosial dan ekonomi juga mempunyai andil. Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga menjadi salah satu penghambat kesetaraan penghasilan antara laki-laki dan perempuan. Terbatasnya masa cuti hamil dan melahirkan membuat tak sedikit perempuan meninggalkan dunia kerja.
Karena itu, guna meningkatkan angka partisipasi kerja perempuan, pemerintah perlu berinvestasi lebih besar pada ekonomi perawatan. Apalagi, pemerintah mengakui pentingnya menguatkan ekonomi perawatan sebagai jalan menuju peningkatan angka partisipasi perempuan dalam perekonomian (Bank Dunia, 2024). Perlu perubahan regulasi, kebijakan, dan undang-undang untuk mendukung upaya tersebut.
Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, yang ditetapkan menjadi salah satu bagian dari upaya integrasi kebijakan untuk memperkuat ekonomi perawatan, misalnya, masih jauh dari harapan. Cuti bagi ibu hamil dan melahirkan tetap tiga bulan. Cuti enam bulan masih dibebani syarat surat keterangan dokter. Ketentuan cuti bagi ayah yang juga belum berubah sama halnya menempatkan ibu sebagai pengasuh utama.
Baca juga: Mengakui Kontribusi Kerja Perawatan
Kita perlu belajar dari negara-negara lain seperti Swedia yang menerapkan cuti berbayar bagi orangtua (ayah dan ibu) hingga 16 bulan. Sementara itu, Norwegia memberikan hak cuti berbayar khusus bagi ayah.
Kita juga bisa belajar dari Vietnam yang membangun sistem kesehatannya dengan baik, menjangkau seluruh rakyat hingga daerah-daerah pelosok dan terpencil. Kebijakan ini dapat mengurangi beban perawatan orangtua oleh anggota keluarga, terutama perempuan.
Pada akhirnya, perlu komitmen yang kuat untuk berinvestasi dalam ekonomi perawatan agar target 70 persen angka partisipasi kerja perempuan dalam RPJMN 2025-2029 tercapai. Jika target ini tercapai, potensi ekonomi yang dihasilkan perempuan bekerja dapat mendongkrak perekonomian nasional. Mengutip kajian McKinsey Global Institute, kenaikan angka partisipasi kerja perempuan sebesar 3 persen dapat menambah 135 miliar dollar AS pada perekonomian Indonesia pada 2025.
Pertambahan tersebut setara Rp 2.065,5 triliun dengan nilai tukar rupiah Rp 15.300 per dollar AS. Pada tahun 2022, besar ekonomi Indonesia Rp 19.588,4 triliun. Pertumbuhan ini diperlukan apabila Indonesia ingin menjadi negara kaya pada 2045 (Kompas.id, 19/9/2023).