Paradoks Secangkir Kopi
Masa depan bisnis kedai kopi masih menjanjikan. Tinggal bagaimana para pemilik kedai kopi dapat menawarkan keunikan.
Seluk beluk kopi sebagai tanaman dan bisnis sudah sering diulas media arus utama. Salah satunya adalah tabloid Kontan, 15-21 Mei 2023, yang memuat tajuk ”Harga Kopi Bener Meriah Semakin Wangi”. Harian Kompas pun sekitar sebulan lalu berturut-turut mewartakan tentang kopi, baik dari sisi petani, pelaku bisnis kafe, maupun pedagang.
Pada pagi itu di awal Mei, sejauh mata memandang panorama hijau perkebunan kopi rakyat terbentang rapi di perbukitan Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Udara dingin menyergap tanaman kopi yang terkenal dengan julukan kopi gayo. Anugerah Tuhan atas kontur alam Bener Meriah ini menghasilkan biji kopi gayo yang tersohor hingga ke berbagai negara.
Kopi adalah salah satu komoditas penting global, nomor dua yang paling banyak diperdagangkan setelah minyak bumi. Hingga saat ini, telah teridentifikasi 130 spesies yang termasuk dalam genus Coffea. Setiap hari di seluruh dunia diminum 2-3 miliar cangkir kopi.
Menurut data Kementan RI, secara nasional perkiraan produksi kopi 2020-2024 tumbuh 1,36 persen, sedangkan konsumsi di periode yang sama mencapai 3,07 persen. Kopi Arabika merupakan bagian terbesar dari produksi kopi dunia, sekitar 60 persen, sedangkan Robusta menyumbangkan sisanya sekitar 40 persen.
Indonesia adalah negara penghasil kopi terbesar ketiga. Urutan pertama dipegang Brasil dan disusul Vietnam. Produksi kopi di Indonesia meningkat dalam lima tahun terakhir dengan kontribusi terbesar dari daerah di Sumatera. Banyak daerah di Indonesia, seperti NAD (Gayo atau Bener Meriah), Toraja, Flores, Jawa Barat, dan Papua, kesemuanya dikenal sebagai daerah penghasil kopi bermutu.
Paradoks Kopi
Saat ini, kopi sebagai bagian dari gaya hidup menyimpan beberapa paradoks. Kini penikmat kopi tidak lagi orang-orang tua, tetapi juga dari kalangan anak muda, termasuk generasi milenial. Penggerak industri kopi pun di tangan anak muda.
Selain itu, harga secangkir kopi yang layak bisa naik begitu tinggi, sementara para produsen (khususnya petani skala kecil yang merupakan pemasok utama kopi di banyak negara) semakin terpuruk ke dalam kemiskinan. Jutaan petani kopi di negara berkembang, termasuk Indonesia, menggantungkan hidupnya dari menanam kopi sebagai mata pencarian utama. Di Tanah Air, tanaman kopi dibudidayakan turun temurun secara tradisional, sedangkan di Vietnam perkebunan kopi dikelola dengan dukungan teknologi pertanian.
Daviron dan Ponte (2005) telah mengungkapkan dalam studinya di Institut Kopenhagen untuk Hubungan Internasional yang mengeksplorasi apa yang mereka sebut dalam hal ini sebagai paradoks kopi. Paradoks ini membingkai studi yang sangat bagus tentang perdagangan komoditas kopi dan dampaknya terhadap pembangunan.
Melalui studi rantai nilai global kopi, keduanya merangkai kembali masalah pembangunan bagi negara-negara yang mengandalkan ekspor komoditas ini. Mereka menganalisis paradoks kopi terkait antara ”ledakan kopi” di negara-negara konsumen dan ”krisis kopi” di negara-negara produsen. Dalam kajiannya, ada tiga isu yang mencuat, yaitu: pola konsumsi baru dengan semakin pentingnya peran kopi spesial (specialty coffee), perdagangan yang adil (fair trade), dan prinsip kopi berkelanjutan (sustainable coffee).
Di negara konsumen, kopi telah menjadi minuman favorit dan jejaring kafe kopi yang modern menjamur serta berkembang amat pesat. Pada saat yang sama, harga kopi internasional telah turun drastis dan produsen menerima harga terendah dalam beberapa dekade. Konkretnya, harga yang dibayarkan kepada petani sebenarnya telah turun sejalan dengan anjloknya pangsa pasar negara produsen dari 20 persen menjadi di bawah 10 persen. Petani kopi beruntung jika mendapatkan 1 sen untuk secangkir kopi yang dibebankan kepada konsumen akhir sebesar satu dolar, tidak termasuk pajak penjualan. Dengan kata lain, paradoks kopi terjadi akibat makin melebarnya kesenjangan atau margin antara harga kopi yang dibayarkan oleh konsumen dan harga kopi yang diterima petani sebagai produsen kopi.
Mengembangkan Produksi Kopi
Belakangan ini, Kementan RI telah berinisiatif meningkatkan produksi kopi di Tanah Air. Upaya mendukung peningkatan produksi komoditas kopi adalah memberikan benih kopi unggul untuk lokasi pembibitan, membina petani dalam memberantas organisme pengganggu tanaman kopi, menyalurkan pupuk sesuai dengan kondisi tanah, meremajakan tanaman kopi di berbagai daerah, serta menyediakan fasilitas pengolahan berupa pengemasan dan pemanggangan kopi untuk kelompok petani. Dalam praktik, kesemuanya ini perlu dijaga konsistensi dan kesinambungannya.
Kebijakan pengembangan kopi nasional harus diarahkan pada upaya menyinergikan seluruh potensi sumber daya tanaman kopi dalam rangka peningkatan daya saing, nilai tambah, produktivitas, dan mutu komoditas ini. Peran serta para pemangku kepentingan harus didukung wawasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan tata kelola yang baik. Kebijakan umum ini perlu diikuti dengan kebijakan teknis berupa pengembangan budidaya tanaman kopi, peningkatan kemampuan modal insani, pengembangan kelembagaan dan kemitraan, perbaikan iklim investasi, serta adopsi teknologi digital.
Mengatasi paradoks kopi
Indonesia sejatinya tertantang untuk mengatasi berbagai persoalan paradoks kopi. Semua lini industri ini perlu dibenahi, mulai dari hulu hingga ke hilir. Di sisi hulu, kesulitan para petani dalam mendistribusikan hasil panen kopi perlu dicarikan jalan keluar. Karena umumnya lokasi kebun kopi berada jauh di pegunungan di mana akses jalan menjadi kendala. Indonesia pun belum mempunyai sekolah/akademi kopi formal dan mumpuni yang akan menelurkan pencicip (cupper), roaster, barista unggulan, serta profesional di bidang perkopian lainnya.
Selain menciptakan para ahli kopi yang andal, pemerintah juga harus membuka peluang bagi para pemangku kepentingan industri ini melakukan pengembangan, kemudahan berusaha dan perizinan, serta inovasi baru.Hal ini guna mendongkrak jenama dan nilai kopi Indonesia agar lebih tinggi dan mampu bersaing di pasar dunia.
Di sisi hilir, menjamurnya kedai kopi baik yang berjejaring maupun nirjejaring mendorong para pengelolanya berlomba mencari ceruk pasar tertentu demi mendapatkan kunjungan penyeruput kopi.
Sebenarnya, di masa depan bisnis kedai kopi masih menjanjikan. Tinggal bagaimana para pemilik kedai kopi dapat menawarkan keunikan dan mengemasnya menjadi semakin menarik. Kedai kopi dapat meningkatkan keunggulan daya saing yang membedakan kedainya dengan gerai-gerai lain. Kedai kopi dapat menyuguhkan specialty coffee, menawarkan peluang bagi konsumen bereksperimen meracik sendiri kopi yang akan diminumnya dengan bimbingan barista, desain interior gerai yang membuat betah pengunjung, layanan antar, dan inovasi layanan baru lainnya.
Prospek komoditas kopi di Tanah Air sangat besar karena dukungan ketersediaan lahan untuk budidaya, varian, dan penge bangan kopi. Indonesia memiliki keunggulan geografis dan iklim yang menghasilkan kopi dengan cita rasa serta aroma khas yang digemari penikmat kopi dunia. Tinggal bagaimana para pemangku kepentingan industri ini duduk bersama mengatasi berbagai kendala untuk memajukannya. Bila perlu pengembangannya didukung teknologi pertanian dan digitalisasi layanan yang berorientasi pada keinginan konsumen.
Mohammad Hamsal adalahGuru Besar Ketangkasan Strategis pada Program Doktor Ilmu Manajemen dan BINUS Business School dan Pengurus Indonesia Strategic Management Society.
E-mail: [email protected].