Mengapa Etika dan Sumpah Jadi Teks Mati?
Apakah situasi kebangsaan yang dirasakan tahun 1998 masih dirasakan juga di tahun 2024.
”Gerakan Protes” 22 Agustus 2024 mengejutkan bangsa ini. Elemen masyarakat sipil yang selama ini terlelap tiba-tiba terbangun dan protes atas putusan semua perwakilan politik Badan Legislasi DPR minus PDI Perjuangan.
Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan untuk mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tetap meloloskan salah satu tokoh ikut dalam pilkada maupun kesepakatan koalisi besar untuk menguasai Indonesia.
Ketua Majelis Kehormatan MK I Gede Dewa Palguna menyebut, keputusan Baleg DPR adalah upaya pembangkangan terhadap konstitusi (constitutional disobedience). Langkah itu amat membahayakan eksistensi negara ini sebagai negara hukum. Beruntung kesepakatan politik di Baleg DPR itu tidak diteruskan karena Rapat Paripurna DPR tidak kuorum.
Ingatan reformasi
Mencermati dan berada di lapangan, Gerakan Protes 22 Agustus 2024 mengingatkan pada Gerakan Reformasi 1998 dengan aktor berbeda. Gerakan Reformasi 1998 mengakhiri kekuasaan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Jenderal Besar Soeharto memutuskan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998 atas desakan rakyat. Merespons dinamika sosial-politik, di Jakarta, MPR menggelar Sidang Istimewa (SI) MPR 1998 dan 2001.
Bangsa ini kehilangan ’muazin’, tetapi belum mampu memunculkan ’muazin’ bangsa yang baru.
Gerakan Reformasi 1998 meneriakkan enam tuntutan reformasi. Tuntutan itu adalah (1) pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto dan kroninya; (2) pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (3) penegakan supremasi hukum; (4) amendemen konstitusi; (5) otonomi daerah seluas-luasnya; dan (6) cabut dwifungsi ABRI.
Enam tuntutan reformasi itu saatnya direfleksikan dalam situasi sekarang ini. Dari enam tuntutan itu, yang berhasil adalah amendemen konstitusi. Tuntutan lain sedang digoyang untuk dinormalkan. KKN menjadi NKK (narik keluarga dan konco-konco). Nepotisme dipraktikkan secara terbuka. Itulah yang dilihat dalam politik kontemporer belakangan ini.
Politik kembali ke definisi yang sangat kuno: siapa mendapat, apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya. Dwifungsi ABRI malah diklaim akan menjadi multifungsi. Supremasi hukum ditengarai menjadi autocratic legalism.
Ambruknya Orde Baru 1998 direspons MPR dalam SI MPR 2001. SI MPR 2001 melakukan introspeksi diri dan mencari latar belakang mengapa Orde Baru ambruk. MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
MPR merespons situasi kebangsaan pada 2001 dengan merumuskan jatuhnya Orde Baru karena faktor dalam negeri, mencakup: (1) lemahnya penghayatan dan pengamalan agama; (2) sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di pusat dan pengabaian kepentingan daerah; (3) tak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan.
Selain itu, (4) terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial; (5) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin; (6) tidak berjalannya penegakan hukum dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika, (7) meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyelundupan obat-obat terlarang dan faktor internasional.
Rasanya, 23 tahun kemudian saatnya elite politik perlu berhenti sejenak, melakukan introspeksi diri apakah identifikasi MPR tahun 2001 dan enam tuntutan Reformasi tahun 1998 masih relevan dengan kondisi kekinian. Apakah situasi kebangsaan yang dirasakan tahun 1998 masih dirasakan juga di tahun 2024.
Soal ketidakadilan ekonomi; soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum; soal perjudian. Rasanya belum ada perubahan signifikan. Mengutip data Dekan FEB-UI Teguh Dartanto yang disampaikan Sukidi dalam orasi Haul Ke-19 Cak Nur, ada ketimpangan ekstrem dalam aset finansial aset tanah.
Apakah situasi kebangsaan yang dirasakan tahun 1998 masih dirasakan juga di tahun 2024.
Sebanyak 98,2 persen pemilik rekening di bawah Rp 100 juta rupiah menguasai 13,9 persen total tabungan, sedangkan 0,003 persen pemilik tabungan sampai Rp 5 miliar menguasai 47,9 persen total tabungan.
Dari sisi penguasaan tanah, sebanyak 56,8 persen petani gurem menguasai 12 persen tanah pertanian. Adapun 6 persen petani terkaya menguasai 38 persen tanah pertanian.
Soal krisis keteladanan, rasanya itulah kenyataan yang ada. Bangsa ini kehilangan ”muazin”, tetapi belum mampu memunculkan ”muazin” bangsa yang baru. Kita kehilangan Hatta, kita kehilangan Agus Salim, kita kehilangan Nurcholish Madjid, kita kehilangan Buya Ahmad Syafii Maarif, kita kehilangan Gus Dur, kita kehilangan IJ Kasimo dengan politik bermartabat.
Kita belum berhasil menemukan kembali muazin bangsa. Sosok muazin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, mau berada di tengah masyarakat, menjadi payung kebangsaan dan membangun jembatan. Sosok muazin yang satu antara kata dan perbuatan.
Etika berbangsa bernegara
Pada 2001, MPR merumuskan perlunya etika berbangsa dan bernegara. Ada beberapa etika yang digariskan MPR.
Pertama, etika sosial budaya, ”…perlu menumbuhkembangkan budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan. Budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal di setiap lapisan masyarakat”. Apakah etika itu diterapkan? Apakah budaya malu dan siap mundur sudah tertanam dalam elite penyelenggara negara? Rasanya, belum.
Kedua, etika politik dan pemerintahan. ”…Setiap pejabat dan elite politik bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Perilaku politik toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Apakah etika itu dijalankan? Rasanya juga tidak.
Kerapuhan etika penyelenggara negara terjadi karena bangsa ini krisis keteladanan.
Ketiga, etika bisnis dan ekonomi, ”…mencegah monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah pada perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi…”. Bukankah nepotisme kini dipraktikkan terbuka lewat mekanisme yang seolah-olah demokratis?
Keempat, etika penegakan hukum berkeadilan. ”…Penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan…”.
Bukankah sekarang, hukum dipakai sebagai alat sandera politik? Publik samar-samar mendengar apa yang terjadi dengan mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar.
Saya meminjam esai Sukidi (Kompas, 13/6/2024), yang mengutip Oscar Benavides (1933-1939), diktator Peru yang mengatakan, ”For my friends, everything. For my enemies, the law.” Untuk teman-teman saya, segalanya. Untuk musuhku, hukum. Perusakan dan pembunuhan demokrasi ditempuh, antara lain, melalui ”penggunaan hukum sebagai senjata politik”.
Perihal hukum yang digunakan oleh dan untuk kepentingan politik menandai karakteristik utama kepemimpinan populisme otoritarian. Jika tak sesuai dengan kepentingan dirinya, ia mengubah hukum dengan cara yang secara teknis legal, tetapi sebenarnya bentuk tindakan eksploitasi konstitusional secara kasar.
”Frase menghindarkan penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan”, yang digariskan MPR tahun 2001, bukan itu yang terjadi sekarang ini. Hukum telah dijadikan alat sandera politik.
Sebagaimana dalam focus group discussion yang diadakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), ”Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara”, saya mengatakan, ”sumpah, etika telah menjadi teks mati yang tak punya makna.”
Tap MPR No VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara telah menjadi ”trigger mechanism” lahirnya kode etik atau code of conduct.
Hakim konstitusi punya kode etik, DPR punya kode etik, KPK punya kode etik, wartawan punya kode etik. Namun, pelanggaran etik tetap terjadi dan sepertinya dibiarkan saja.
Esensi pokok dari pelanggaran etik adalah benturan kepentingan (conflict of interest).
Benturan kepentingan itu membahayakan. Kerapuhan etika penyelenggara negara terjadi karena bangsa ini krisis keteladanan. Krisis keteladanan terjadi karena banyaknya benturan kepentingan. Penyelenggara negara yang seharusnya membuat kebijakan, tetapi juga punya usaha sejenis. Penyelenggara berteriak soal pentingnya mobil listrik, ternyata dia punya kerja sama usaha soal mobil listrik. Yang mengurus tambang, punya usaha tambang.
Tren Indonesia saat ini mengarah pada menyatunya kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pengusaha/media dalam satu genggaman.
Coba lihat sumpah anggota DPR: ”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili…”.
Jika sumpah itu dihayati anggota DPR, tak mungkin ada keputusan cepat Baleg DPR.
Tren Indonesia saat ini mengarah pada menyatunya kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pengusaha/media dalam satu genggaman. Itu digambarkan dalam buku Oligarki dan Totalitarianisme Baru yang ditulis Jimly Asshiddiqie.
Itu perkembangan yang mengkhawatirkan.
Mahkamah Etika Nasional
Lalu bagaimana? Ada usulan dibuatkan Mahkamah Etika Nasional sebagaimana diusulkan Hakim Konstitusi Arif Hidayat dalam dissenting opinion-nya. Hal itu juga beberapa kali diusulkan Jimly Asshiddiqie.
Saya sendiri, dalam curah gagasan yang diadakan BPIP, mengusulkan perlunya disegerakan UU Lembaga Kepresidenan. Dan, lembaga etik kepresidenan untuk menghindarkan konflik kepentingan serta office government ethics.
Pada cabang kekuasaan legislatif, itu diatur dengan UU MPR/DPR/DPD. Di cabang kekuasaan yudikatif, ada UU Mahkamah Agung, UU MK, dan UU Komisi Yudisial. Di cabang kekuasaan eksekutif, ada UU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden, UU Polri, UU TNI, UU Pemerintahan Daerah.
Namun, mengapa tidak ada UU Lembaga Kepresidenan? Padahal, pada diri seorang presiden, melekat sejumlah atribusi sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, penguasa tertinggi atas angkatan bersenjata, sebagai ketua umum parpol, dan juga kepala keluarga.
Apakah kita memandang the president can do no wrong sehingga tak perlu undang-undang yang mengaturnya, cukup dengan konstitusi? Tapi, bukankah sejarah mengajarkan, presiden bisa saja mengambil langkah yang salah?
Budiman TanuredjoPemimpin Redaksi Kompas (2014-2018), ”Host” Satu Meja The Forum