Sampah Plastik: Berkah atau Kutukan?
Tanpa kerja sama yang erat para pemangku kepentingan, jangan harap kita bisa mencapai target pengurangan sampah plastik.
Teknologi plastik ditemukan oleh Leo Baekeland pada 1907 dan mulai diproduksi masal pada 1920-an dengan ditemukannya polyvinyl (PVC) dan polystyrene (PS). Pada 1930-1940-an ditemukan polyethylene (PE), nylon, dan Teflon (PTFE) yang merupakan bahan utama untuk pembuatan parasut sampai bahan insulasi radar yang sangat dibutuhkan selama Perang Dunia II.
Setelah Perang Dunia II, plastik merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Plastik membuat hidup lebih nyaman, mulai dari sebagai alat pembungkus, produk mainan, tempat buang sampah, sampai bahan body mobil dan sepeda motor. Sepertinya kita tidak bisa hidup nyaman tanpa plastik.
Pada awal 1970-an muncul kekhawatiran akan bahaya plastik, terutama plastik sekali pakai (single used plastic/SUP). Plastik tidak segera dapat terurai, bahkan butuh ratusan hingga seribu tahun, khususnya plastik konvensional, untuk bisa diserap oleh tanah.
Baca juga: Banjir Plastik Mencapai Kutub Utara
Menurut MIPOL Educational, pada 2019 dunia memproduksi sekitar 390 juta ton sampah plastik per tahun dan jumlahnya akan menjadi dua kali lipat setiap 20 tahun. Asia, khususnya China, memproduksi sekitar 50 persen sampah plastik dunia, disusul Eropa sekitar 15-20 persen dan Amerika Utara, khususnya Amerika Serikat, 18-20 persen. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 9 persen yang didaur ulang, selebihnya dibuang ke laut, ditanam di tanah atau dibakar.
Sekitar 60 persen konsumsi plastik dipakai oleh tiga sektor, yaitu pengepakan (packaging) mencapai 154 juta ton per tahun, diikuti bangunan dan konstruksi 63 juta ton, dan otomotif 60 juta ton.
Indonesia diperkirakan memproduksi sekitar 7,8 juta ton plastik setiap tahun dengan 4,9 juta ton tidak dikelola dengan baik. Parahnya sekitar 58 persen sampah tidak pernah dikumpulkan dan 9 persen yang dibuang ke laut (Jakarta Globe, 18April 2023).
Hanya 10 persen sampah plastik yang didaur ulang. Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik sampai 70 persen pada 2025. Walaupun target itu tidak terpenuhi karena saat ini, menurut Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, angkanya baru mencapai 41 persen, tetapi komitmen ke sana semakin besar.
Bahayanya sampah plastik
World Economic Forum (WEF) memperkirakan pada 2050 akan terdapat lebih banyak plastik daripada ikan di laut, jika kita tidak berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Ini artinya anak dan cucu kita akan makan ikan yang mengandung zat-zat berbahaya terhadap tubuh yang dihasilkan dari sampah plastik.
Sampah plastik menghasilkan partikel berbahaya seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang dapat menyebabkan kanker, endocrine disruption (gangguan kelenjar hormon) dan masalah reproduksi. Mikropastik dapat masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air.
Dalam tayangan sebuah televisi swasta di Indonesia, dengan mengutip sumber riset yang dilakukan oleh Cornell University, orang Indonesia makan 15 gram mikroplastik per bulan dari makanan laut, atau yang kedua terbesar di dunia. Ini mengerikan.
Atas dasar ini, Lembaga PBB yang menangani masalah lingkungan hidup (United Nations Environment Assembly/UNEA) mengeluarkan Resolusi PBB Nomor 5 Tahun 14 yang membidani berdirinya Intergovernmental Negotiating Committee (INC). INC ditugaskan untuk membentuk sebuah perjanjian yang mengikat anggotanya (International Legally Binding Instrument/ILBI) dalam bentuk Global Plastic Treaty.
Diharapkan draf pertama perjanjian tersebut sudah difinalisasi dalam sidang INC ke-5 di Busan, Korea Selatan, akhir tahun ini. Pemerintah Indonesia bersama NPAP memperjuangkan perjanjian yang bakal mengikat dunia untuk menangani masalah sampah plastik.
World Economic Forum (WEF) memperkirakan pada 2050 akan terdapat lebih banyak plastik daripada ikan di laut, jika kita tidak berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Simposium tentang sampah plastik
Pada 6-8 Agustus 2024 diselenggarakan sebuah simposium dengan tema “Ending the Plastic Waste” di Melbourne, Australia oleh Indo Pacific Plastic Innovation Network (IPPIN) yang disponsori Centre for Scientific and Innovation Research Center (CSIRO) Australia. Simposium dihadiri sekitar 270 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, seperti LSM Lingkungan, akademis/universitas, industri, praktisi dari kawasan Indo Pasifik. Dari ASEAN hadir NPAP Indonesia, Vietnam, dan Thailand serta kalangan dari lembaga pemerintah terkait.
Indonesia diwakili oleh National Plastic Action Partnership (NAP) Indonesia, Bappenas, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). NPAP Indonesia didirikan pada 2019, yang pertama di ASEAN, yang merupakan platform multistakeholder yang menjembatani kepentingan pembuat kebijakan (pemerintah), akademis, para ahli, dan masyarakat madani untuk mengurangi polusi plastik.
NPAP merupakan bagian dari Global Plastic Action Partnership (GPAP). Saat ini NPAP memiliki anggota lebih dari 100, terdiri dari kementerian dan lembaga terkait, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), industri, inovator, dan masyakat madani.
Selama tiga hari dibahas berbagai masalah tentang sampah plastik dan bagaimana mengatasinya. Hampir semua negara di dunia saat ini mengalami krisis sampah plastik, baik dari negara maju maupun berkembang. Beberapa permasalahan besar yang saat ini dihadapi adalah bahan alternatif plastik yang ramah lingkungan dan teknologi untuk mengubah sampah plastik mudah terurai (degradable).
Bahan alternatif sebenarnya sudah ada teknologinya, dengan menggunakan bahan alami, tetapi oleh kalangan industri dinilai belum bernilai ekonomis. Hal yang menarik adalah temuan dari Australian National University (ANU) yang bekerja sama dengan lembaga riset SAMSARA, yang berhasil memanfaatkan enzim untuk mengurai sampah plastik. Teknologi ini sudah mendapatkan paten dan akan segera diproduksi. Jika berhasil, ini merupakan teknologi terobosan yang dapat mengurangi masalah sampah plastik secara signifikan.
Masalah lain adalah perubahan perilaku (behavioral change). Dahulu, sebelum kita mengenal plastik ada sebuah lagu yang sangat populer di kalangan anak-anak di Jawa, yaitu ”jika anjingnya mati, buanglah di sungai”. Ketika itu yang ada hanya sampah organik yang mudah larut di tanah. Kita harus mengubah sikap ini. Tidak mudah. Kita harus mulai dari anak usia dini, sebagaimana dilakukan di negara-negara maju.
Juga dibahas tentang bahaya sampah plastik bagi kesehatan manusia, tentang bagaimana menjawab tantangan agar terjadi penurunan penggunaan sampah plastik sampai 80 persen pada 2030, penggunaan plastik untuk tujuan pertanian, penggunaan bioplastik, manajemen sampah, daur ulang dan lain-lain.
Tugas mengatasi sampah plastik adalah tugas kita semua, termasuk kalangan industri baik yang memproduksi sampah plastik maupun sebagai pengguna. Melalui skema extended producers responsibility (EPR), produsen (pabrik, importir, distributor, dan pengecer) memiliki tanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari plastik yang mereka hasilkan.
Baca juga: Daur Ulang Plastik di Era Ekonomi Sirkular
Masalah ini biasanya menjadi tarik ulur antara kepentingan untuk menjaga lingkungan di satu sisi dan menjaga keuntungan di lain pihak. Beberapa Perusahaan besar telah memiliki divisi yang menangani masalah pengolahan sampah plastik, sementara yang lain masih sebatas mengurangi tebalnya plastik sampai batas toleransi.
Kesimpulan
Masalah sampah plastik ini adalah tanggung jawab kita bersama demi masa depan anak dan cucu kita. Tanpa kerja sama yang erat para pemangku kepentingan, jangan harap kita bisa memenuhi target pengurangan sampah plastik pada 2025.
Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan tiga peraturan yang mengatur tentang sampah plastik, yaitu Peraturan Presiden No 83/2018 tentang Penanganan Sampah Laut, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, dan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No 5/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Plastik di Destinasi Wisata Bahari. Namun, peraturan ini tidak ada artinya jika kita tidak melaksanakannya dan tanpa adanya penegakan hukum bagi para pelanggar.
M Wahid Supriyadi, Chairman, National Plastic Action Partnership (NPAP) 2024-2026; Dubes RI untuk UAE 2008-2022; Dubes RI untuk Federasi Rusia Merangkap Republik Belarus 2016-2020