Wacana kenaikan tarif KRL Jabodetabek picu keramaian sesaat. Pembangunan angkutan umum belum sesuai kebutuhan publik.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Wacana subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK menuai polemik tanpa kepastian hasil yang berarti bagi para pengguna angkutan umum. Keramaian ini mengungkap pembangunan angkutan umum yang belum menjawab kebutuhan publik.
Isu kenaikan tarif angkutan umum, termasuk kereta komuter Jabodetabek, secara berkala selalu muncul di permukaan. Tahun ini isu tersebut berkembang seiring munculnya rencana skema subsidi yang tercantum dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 mengenai belanja negara.
Dalam dokumen itu tertulis, total subsidi kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO) tahun depan direncanakan Rp 7,96 triliun. Angka ini naik 0,9 persen dibandingkan dengan outlook 2024.
Pada 2025, PSO untuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebesar Rp 4,8 triliun. PSO ini untuk beragam hal yang dikelola oleh KAI, termasuk kereta jarak jauh, kereta komuter di luar Jabodetabek, dan KRL Jabodetabek. Dari Rp 4,8 triliun itu, belum ada informasi berapa porsi PSO untuk KRL Jabodetabek. Pada 2023, kontrak PSO KRL Jabodetabek Rp 1,63 triliun atau 65,2 persen dari total subsidi PSO untuk PT KAI yang mencapai Rp 2,5 triliun.
Persoalan integrasi fisik dan tarif inilah yang seharusnya didiskusikan secara serius dan mencari solusi cepat di Jabodetabek.
Yang justru mengemuka adalah wacana menerapkan tarif tiket berdasarkan NIK pada transportasi KRL Jabodetabek. Sebenarnya tidak ada masalah menggunakan NIK sebagai cara menentukan sasaran subsidi.
Namun, jika NIK penerima bantuan sosial menjadi sasaran subsidi KRL, dinilai tidak tepat. Membedakan kelas pengguna KRL berdasarkan kaum berpunya dan miskin, menyalahi prinsip dasar angkutan umum yang bersifat inklusif melayani semua kalangan dengan standar layanan yang sama.
Jika NIK untuk mengetahui usia komuter, status sebagai pekerja atau pelajar mungkin lebih tepat. Di berbagai negara, seperti di Singapura, tarif dibedakan untuk anak-anak, dewasa, orang lanjut usia, difabel, karyawan, atau pekerja aktif.
Tarif angkutan umum di Singapura sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya hidup di sana yang dikenal sebagai salah satu kota termahal di dunia. Perjalanan singkat kurang dari 3,2 kilometer sekitar Rp 13.000 dan tarif paling mahal adalah untuk perjalanan 40 km atau lebih dari Rp 27.000.
Tarif itu untuk mengakses semua moda, baik bus, LRT, maupun MRT. Perjalanan dari titik berangkat (first mile) dan titik tujuan (last mile) nyaris tak butuh biaya karena hampir semua orang dapat mengakses stasiun atau halte dengan berjalan kaki sebentar dari rumah, tempat kerja, dan lainnya.
Di Jabodetabek, biaya first-last mile masih tinggi. Pengguna kendaraan pribadi harus membayar parkir dan bahan bakar, pengguna angkutan daring dikenai biaya yang terkadang lebih besar dari tarif angkutan umumnya. Pergantian antarmoda angkutan massal belum terfasilitasi dengan baik.
Persoalan integrasi fisik dan tarif inilah yang seharusnya didiskusikan secara serius dan mencari solusi cepat di Jabodetabek. Pembangunan angkutan umum massal dan pengumpan di aglomerasi Jabodetabek perlu dilakukan secara utuh, bukan parsial, apalagi sekadar keramaian sesaat tanpa hasil berarti.